Sabtu

Tugas Di Gereja MKK

Senin, 31 Maret 2008


Hari Minggu kemarin, aku mendapat tugas dari Laetitia untuk mengisi di Gereja MKK Meruya sebanyak 3 kali pada 3 kali Misa.

Misa pukul 6.00 pagi, aku bertugas menyanyi pada saat Komuni.
Misa kedua pada pukul 8.00, aku bertugas sebagai lektor untuk bacaan 1 dan 2. dan,
Misa ketiga pukul 10.30, aku bertugas menyanyi lagi pada saat Komuni.

Seneng juga sih, bisa dapet tugas menyanyi. Soalnya selama ini aku udah latihan menyanyi sendirian. kadang di dalam kamar mandi, kadang di dalam hati. tapi yang pasti, bukan di dalam air, tanpa pemusik dan tanpa pengajar!
Cukup berhasil juga sih, terlebih dalam hal menggetarkan pita suara, sehingga terasa vibrasi yang bergelombang di setiap ujung bait lagu yang kunyanyikan, seperti layaknya para penyanyi provesional! hehehe...
Dan lagu yang kubawakan pada tugas kemarin, adalah "Karya Terbesar" dan "Tersalib di Bukit Golgota" (untuk lagu yang kedua ini aku nggak tahu pasti judulnya).
Aku menyanyi diiringi oleh Suryo (temen tunanetraku), dengan menggunakan gitar.


Ada aneka kejadian yang cukup membuatku panik, jengkel, dan malu sendiri saat tugas kemarin.

Dimulai saat pergi ke gereja yang belum pernah aku dan ko Wiria datangin, sehingga kita muter-muter cari alamat, dan pada detik-detik terakhir, waktu itu jam sudah menunjukan pukul 6 kurang 10 menit, sementara kita masih kelimpungan cari jalan ke gereja tersebut.

Mobil terus meluncur dengan patuhnya, dan tiba-tiba kami dihadapkan dengan jalan tol. Akhirnya, ko Wiria menghentikan mobil dan bertanya kepada seseorang tentang letak gereja tersebut. Ternyata kami harus memutar balik. dan karena panik dikejar-kejar oleh waktu yang nggak kenal kompromi, ko Wiria pun pasang sen dan langsung ambil arah memutar, baru saja mobil bergerak sedikit, tiba-tiba,

brak!!!

sebuah motor menabrak sebelah kanan mobil kami dan jatuh.

Kami sempet bersi tegang dengan si pengendara motor. kami bilang bahwa kami sudah pasang sen, tapi bapak itu -- yang ternyata baru kuketahui sesudahnya dari ko Wiria, bahwa pengendara motor tersebut adalah polisi! -- ngotot kalo kami salah, ia bilang kalo mau muter seharusnya di sebelah depan.
Aku yang nggak tahu kalo bapak itu polisi, ikut-ikutan ngotot, sementara ko Wiria terus-terusan minta maaf. Dan akhirnya, dengan kesepakatan yang menurutku sangat menyebalkan dan tidak adil -- karena mobil kami juga lecet! -- polisi itu minta 50000, dan tanpa ba-bi-bu ko Wiria memberikan uang yang dimintanya. emang sih, kaca spion dia juga pecah.

Kami pun melanjutkan pencarian kami, dan akhirnya tepat jam 6.00 pagi, kami sampe juga di Gereja MKK.

Aku berkali-kali minta ampun sama Tuhan karena sudah marah-marah sama orang yang katanya polisi itu, tapi tetap saja hatiku kesel banget!

Nah, itu kejadian yang bikin panik dan jengkel. sekarang kejadian yang bikin malu:

Pas Misa kedua, aku bertugas sebagai Lektor (bacaan 1 dan 2), aku diminta untuk memakai jubah. Karena saat itu mbak Dian dan mbak Yanti harus membantu koor,sehingga aku didampingi ko Wiria yang sudah tentu harus menggunakan jubah juga.

Kami disuruh berbaris lurus ke belakang untuk memasuki gereja dan naik ke Altar.
Aku dan ko Wiria berdiri di belakang para putri Altar, dan di belakang kami berderet para diakon dan Romo. Hanya aku yang tunanetra.
Tiba-tiba salah satu diakon menegur kami karena berdiri menyamping dan saling bergandengan tangan seperti sepasang mempelai yang mau menuju ke pelaminan. Aku hanya diam saja, tapi ko Wiria langsung memberitahu diakon itu kalo aku tunanetra. Muka diakon itu seketika langsung berubah, seperti habis tersengat aliran listrik bertegangan tinggi!

Aku mendengar sebuah pintu digeser terbuka, dan kami pun berjalan memasuki gereja yang sudah penuh dengan umat, yang pastinya juga bingung melihat sepasang muda-mudi yang berjalan saling bergandengan tangan.
Kami berhenti ditengah-tengah menghadap ke Altar. Dan ketika kurasakan tubuh ko Wiria menurun ke bawah, sementara tangannya sedikit menarik tanganku, aku cepat-cepat melepaskan pegangan, karena kusangka ko Wiria akan berlutut seperti yang biasa dilakukannya setiap masuk ke Gereja.
Ternyata, semua orang dibarisan itu termasuk Romo, berlutut. jadi bisa dibayangkan, diantara para orang-orang berjubah yang berlutut dengan khitmatnya, hanya aku sendiri yang berdiri dengan tegaknya, seperti hendak menantang Altar!!!


CK CK CK CK CK CK.....!

Jumat

Yesus, Engkaulah Andalanku

YESUS, ENGKAULAH ANDALANKU



Dalam gelap aku menatap;
Dalam terang aku merasa.


Dalam pekat malam aku melangkah;
Dalam kemilau siang aku berpikir.


Hanya karena kasih Tuhanku yang besar,
aku mampu berkarya.
Dan,
hanya oleh bimbingan-Nya yang membawaku kepada kemenangan,
aku mampu ada sebagaimana aku ada.


Yesus, Engkaulah andalanku!

Minggu

Di Tengah Keterbatasanku

HaiDiary, kamu tahu nggak, kalau aku senang sekali bisa berbagi cerita hidupku sebagai seorang tunanetra. Bagaimana Tuhan tetap baik buatku meski aku harus menjalani hari-hariku dengan mata yang remang-remang, nyaris redup. Aku berdoa agar ceritaku ini bisa menjadi berkat dan semangat bagi teman-teman semua, terlebih buat teman-teman yang memiliki keterbatasan seperti yang aku alami. Tapi lebih dari semuanya itu, biarlah ceritaku ini semata-mata hanya untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Sebab aku ada hingga saat ini, bukan karena kuat dan gagahku, melainkan semua hanyalah karena kasih karunia Tuhan yang teramat besar, yang telah dengan setia menemani hari-hariku dan siap sedia kapan saja untuk menolongku.



Dari lahir sampai SMU, aku tinggal dengan kedua orang tuaku di Sukabumi. Baru setelah kuliah, aku pindah ke Jakarta,nggak bareng lagi sama orang tua.

Nah, sekarang aku akan mulai bercerita apa adanya. Kalau bisa siapin secangkir kopi aja dulu biar tetap segar saat membaca ceritaku yang puanjang kayak gerbong kereta api ini, hehehehe..!! Oh ya, sebelumnya aku mau jelaskan dulu kalau aku mengetik cerita ini menggunakan laptop yang sudah di install sebuah program pembaca layar (JAWS). Dialah yang selalu setia membantuku membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang aku ketik akan dia bacakan , sehingga teman-teman tunanetra sepertiku bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya.



Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, kakakku laki-laki dan adikku perempuan. Aku dilahirkan sebagai bayi yang sehat tak kekurangan suatu apapun, mataku jernih dan bersinar seperti bayi-bayi lainnya. Seturut bergulirnya waktu, aku pun bertumbuh menjadi seorang gadis kecil yang lincah, berlarian ke sana ke mari, merasakan indahnya dunia bermainku. Tetapi ketika aku hendak masuk ke kelas satu SD, kira-kira usiaku saat itu belum genap 6 tahun, aku mulai menampakkan tingkah laku yang ganjil. Aku mulai sering menabrak barang-barang kecil yang ada di depanku, saat menonton TV pun mataku begitu dekat dengan layar televisi. Mamiku mencoba mengajariku membaca, tapi yang kulihat hanyalah gumpalan-gumpalan hitam yang bergaris-garis. Lantas saja orang tuaku heran tidak karuan. Akhirnya mereka membawaku ke dokter mata di Sukabumi. Semua ukuran kacamata mulai dari yang tipis hingga yang tebal dicobakan ke mataku, tapi semuanya itu tidak berpengaruh bagi penglihatanku, hingga membuat dokter itu jadi ikut-ikutan bingung. Tidak putus asa , orang tuaku pun terus membawaku berobat ke Jakarta, tujuh dokter kami datangi, tapi semua angkat tangan dengan kasus mataku. Hingga akhirnya kami sampai pada dokter terakhir yang mengatakan kepada orang tuaku bahwa mataku lambat-laun akan buta dan menyarankan agar mereka segera mengirimku ke SLBA (Sekolah Luar Biasa untuk penyandang tunanetra). Mendengar itu, orang tuaku menjadi shock berat, tak pernah disangkanya kalau anak kedua mereka akan menjadi seorang penyandang tunanetra. Setelah hari itu, mamiku sering menemukan papi sedang membenturkan kepalanya ke tembok, seakan begitu putus asa dan tidak punya lagi pengharapan. Karena itu mami yang senantiasa menaruh pengharapannya hanya kepada Tuhan, terus mendampingi dan memberikan kekuatan kepada papi.



Memang, terkadang pikiran Tuhan begitu dalam hingga tak dapat terselami, jalan-NYA bukanlah jalan kita, rencana-NYA bukanlah rencana kita, tapi satu yang aku tahu dan yakini bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk bagi anak-anak-NYA, melainkan rancangan yang penuh damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh pengharapan.



Ketika itu, papi yang belum mempercayai Tuhan sepenuhnya, menantang mami dengan mengatakan :
“Jika Tuhan benar ada, biarlah Dia membuktikannya lewat anak ini. Saya tidak mau jika sampai anak ini masuk ke SLBA!”



Akhirnya, dengan berbekal iman yang teguh, mami mendaftarkanku ke salah satu sekolah swasta terbaik di Sukabumi. Kebetulan kakaku juga bersekolah di sana, sehingga selain lebih memudahkan mami untuk menghantar jemput kami, kakaku juga bisa membantu menjagaku. Awalnya tidak mudah buatku untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru dengan keterbatasan penglihatan yang kumiliki. Aku di tempatkan di deretan bangku paling depan, tetapi untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, aku harus tetap berlari ke dekat papan tulis itu dan kemudian kembali ke tempat dudukku untuk menuliskannya ke dalam buku catatanku. Begitulah yang terus kulakukan sampai semua tulisan yang ada di papan tulis selesai kucatat. Sementara untuk membaca tulisan yang ada di buku, aku menggunakan alat bantu kaca pembesar, sehingga membacaku menjadi lambat. Sering kali saat pulang sekolah mami menemukanku sedang menangis di dekat papan tulis karena belum bisa menyelesaikan catatanku sementara teman-temanku yang lain sudah pulang.



Banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus kulalui, baik dari teman-teman yang sering mengejekku, bermainpun tidak lagi selincah anak-anak lain, maupun dari sistem pengajaran yang memang tidak di khususkan buat anak tunanetra sepertiku, jadi mau tidak mau aku harus berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pengajaran mereka agar tidak ketinggalan pelajaran. Tidak jarang nilai-nilai pelajaranku pun menjadi buruk, karena saat ujian, aku sering tidak bisa menyelesaikannya karena lambatnya aku membaca sementara waktu yang di sediakan sangat terbatas. Sering aku merasa sedih dan malu dengan keadaan mataku yang berbeda dengan anak-anak lainnya, sehingga sering aku mencoba menutupi keterbatasan penglihatanku itu dengan menyembunyikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada dihadapanku, aku tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman-teman, jadi aku berusaha sekuatnya agar aku tetap sama dengan kondisi mereka, jika temanku bermain lompat tali atau benteng-bentengan, atau petak umpet, aku akan tetap ikut walaupun akhirnya aku harus juga mengalah untuk hanya menjadi anak bawang. Kalau mereka disuruh membaca bergiliran oleh guru, aku pun harus membaca seperti mereka, walaupun akhirnya aku menjadi bahan tertawaan teman-teman karena bacaku sangat lambat dan sering salah-salah, sehingga sering tanganku menjadi gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Buatku membaca adalah kegiatan yang sangat menakutkan dan melelahkan. Tapi Tuhan begitu baik, tidak pernah sedetikpun Ia meninggalkanku. Meski berat hari-hari yang harus kujalani, tapi tangan Tuhan selalu menopangku sehingga membuat kakiku tetap kuat untuk berpijak dan melanjutkan langkah hidupku bersama dengan Dia yang dengan setia menggendongku. Tahun demi tahun aku lalui tanpa aku harus tinggal kelas. Melihat itu, papi semakin yakin akan penyertaan Tuhan dan semakin mengasihi-Nya. Itulah mujizat pertama yang keluargaku terima.



Ketika aku harus mengikuti EBTANAS di kelas 6, tiba-tiba kepala sekolah melarangku untuk mengikutinya, dengan alasan takut kalau-kalau NEM sekolah menjadi NEM terendah di antara sekolah-sekolah lainnya hanya gara-gara anak tunanetra yang satu ini. Tapi orang tuaku tidak mengalah begitu saja, akhirnya dengan doa dan kegigihan mereka, aku diijinkan mengikuti EBTANAS. Dipikiranku saat itu, yang penting lulus saja, aku sudah sangat bersyukur. Tapi Tuhan tidak berpikiran seperti itu, Dia tidak pernah mempermalukan anak-anakNYA. Setelah NEM keluar, aku sangat tercengang, ternyata Tuhan memberikanku NEM yang sama sekali tidak pernah kupikirkan, apalagi kudoakan sebelumnya. Aku hanya meminta NEM dengan rata-rata 6, karena itu sudah memenuhi syarat kelulusan. Tapi ternyata yang kuterima NEM dengan rata-rata 8.



Aku pun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatanku makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri tidak perlu di tuntun orang lain. Proteksiku terhadap keterbatasanku pun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja aku juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaanku pun menjadi lebih sensitif.


Aku sering menangis sendirian di dalam kamar, bertanya-tanya mengapa Tuhan tega memberikan mata seperti ini kepadaku, sementara kakak dan adikku tidak perlu mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang kualami. Sering aku marah pada Tuhan karena ketidakadilan-NYA ini. Sering aku berpikir tentang masa depanku, bagaimana aku bisa bekerja, apakah aku akan terus bergantung pada orang tuaku, tidak mampu hidup mandiri, dan apa mungkin ada cowok yang mau menikahi seorang gadis tunanetra sepertiku. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuatku merasa sedih dan frustasi. Tapi biasanya aku tidak mau membiarkan diriku berlarut-larut dalam kesedihanku, secepat aku memikirkannya secepat itu pula aku berusaha melupakannya. Aku sadar kalau bukan karena turut campur tangan Tuhan, aku tidak mungkin kuat menghadapi semuanya ini sendiri. Aku tahu ada Tuhan yang selalu menolong, menghibur, dan memberikan kekuatan kepadaku.



Waktu SMP, mamiku membelikanku sebuah kacamata berteropong, mirip seperti yang ada di film Startreck. Kaca mata itu memang dirancang untuk anak-anak tunanetra yang masih memiliki sedikit penglihatan sepertiku. Kacamata berteropong itu bisa membantuku melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya sudah di berikan kaca pembesar, sehingga setiap objek yang ditangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Aku gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, sehingga aku tidak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar, sahingga membuat mataku cepat lelah dan tentu saja memaksaku untuk menahan malu di depan teman-temanku, apalagi di depan cowok incaranku. Tetapi kemampuanku membaca dengan alat itu pun tidak bertahan lama, penglihatanku terus menurun. Aku mengandalkan teman-temanku untuk membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis. Meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan "sedang malas". Kegiatan menangis sendiri di dalam kamarpun semakin padat dan intonasi nada menangisnya pun semakin bervariasi. Aku tidak mau kalau hobiku menangis sampai diketahui orang lain apalagi orang tuaku. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hatiku pun hanya kutujukan pada Tuhan. Tapi semakin aku menjerit dalam hati, aku semakin merasakan Tuhan dekat denganku, semakin aku sering protes sama Tuhan, semakin hatiku merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah padaku, malah aku semakin merasakan Tuhan tambah sayang padaku. Karenanya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan, aku menganggap kalau sampai aku melakukan hal itu lagi berarti aku termasuk orang yang tidak tahu terimakasih.



Orang tuaku mencoba mengajakku lagi berobat ke luar negeri, ke Singapura dan ke Belanda. Tapi tidak satupun dokter atau profesor mata yang sanggup menolongku. Mulai saat itu aku memastikan pada diri sendiri bahwa tidak ada satu pun orang yang dapat menolongku selain Tuhan. Karena itu, aku mulai belajar untuk berserah penuh pada keputusan-Nya.



Lulus SMP, aku mendaftarkan diri ke SMU. Tapi belum apa-apa kepala sekolah SMU sudah menolakku dengan alasan belum pernah punya pengalaman menerima murid cacat. Tapi waktu Tuhan selalu tepat. Calon kepala sekolah baru yang akan menggantikan kepala sekolah yang menolakku itu di tahun ajaran baru, lebih optimis terhadapku sehingga dialah yang memperjuangkanku di depan kepala sekolah yang lama. Akhirnya aku pun masuk ke SMU itu, belajar seperti anak-anak lainnya. Aku senang bersekolah di sana, karena selain teman-temannya yang baik-baik, mereka juga senang menolongku. Mereka mengatakan kalau aku adalah seorang gadis yang cantik, tentu saja hal itu membuatku menjadi lebih percaya diri, apalagi dalam hal mencari pacar seperti teman-teman perempuan yang lain. Aku pun semakin bisa menerima diri apa adanya dengan segala keterbatasan yang kumiliki, aku tidak malu lagi mengatakan kalau mataku tidak bisa melihat. Aku meminta ijin kepada mami untuk belajar huruf braille, dan mami pun segera mencarikanku seorang guru SLBA untuk mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku. Aku mulai mengenal banyak teman-teman tunanetra di SLBA. Hatiku begitu senang seakan aku sudah menemukan duniaku sendiri. Ternyata banyak sekali teman-teman yang juga mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang aku alami. Banyak sekali hal-hal baru yang kuterima dari mereka, bagaimana cara mereka berjalan sendiri dengan tongkat mereka, bagaimana cara mereka membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka lakukan, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuatku begitu tertarik untuk mempelajarinya. Aku pun menjadi sering bermain ke SLBA itu dengan diantar dan dijemput oleh orang tuaku. Tapi pada suatu hari, orang tuaku tiba-tiba melarangku untuk bermain ke sana, mereka berkata bahwa aku berbeda dengan teman-teman di SLBA itu. Aku benar-benar merasa sedih dan seketika itu juga rasa sepi seakan kembali menyergap hatiku, seolah-olah aku telah kehilangan seorang sahabat terbaik yang sudah lama kucari dan berhasil kutemukan, tapi dengan secepat kilat ia kembali pergi meninggalkanku seorang diri. ternyata orang tuaku belum juga bisa mengakui kalau anaknya adalah seorang tunanetra.



Ketika aku lulus SMU, aku masih kebingungan memilih Universitas. Kebetulan suatu hari, mami melihat seorang tunanetra bergelar S2 sedang diwawancarai di salah satu stasiun televisi perihal PEMILU. Segera saja mami menghubungi stasiun TV itu untuk menanyakan nomor telepon tunanetra tersebut, dengan cara begitu, akhirnya aku dan mami berhasil menemui tunanetra itu yang ternyata seorang dosen honorer di salah satu Universitas Katolik di Jakarta dan juga ketua dari sebuah yayasan tunanetra di bawah Lembaga Daya Darma KAJ, bernama Laetitia (Laetitia berarti ‘Gembira’, berlokasi di Jakarta pusat).


Singkatnya, pada tahun 1999 akupun mendaftar di Universitas Katolik AtmaJaya mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Selain itu, aku juga tergabung dalam keanggotaan Laetitia. Teman-teman tunanetranya lebih banyak dari pada di SLBA Sukabumi, aku pun kembali senang bukan kepalang, dan ternyata orang tuaku pun tidak lagi melarangku untuk bermain dengan mereka, malah orang tuaku terlihat begitu bersimpatik dengan teman-teman tunanetra yang sangat luar biasa itu. Diam-diam orang tuaku mulai bisa menerima keadaanku yang sebenarnya sebagai tunanetra. Merekapun tidak malu lagi untuk mengatakan kepada khalayak umum, bahwa anak kedua mereka adalah seorang tunanetra, tetapi malah mereka bangga dengan anak keduanya yang meski tidak melihat tapi bisa berkuliah dan bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya yang non-tunanetra.



Di kampus, aku belajar seperti mahasiswa lainnya, dalam ruangan yang sama dan sistem pengajaran yang sama pula, tidak ada perlakuan khusus untukku. Aku merekam setiap pengajaran dosen di kelas ke dalam pita kaset dengan menggunakan tape recorder. Demikian juga dengan buku-buku atau catatan-catatan, tapi ada juga yang aku tulis dalam huruf braille. Hanya saat quiz atau ujian, biasanya aku di bantu oleh orang dari sekretariat kampus atau teman-teman dari pastoran kampus untuk membacakan soal-soal, kemudian menuliskan jawaban yang kuberikan dengan lisan ke dalam lembar jawaban. Kesulitannya adalah pada saat membuat gambar atau grafik-grafik, biasanya aku menggambarkannya di telapak tangan mereka dengan jari telunjukku, setelah mereka paham, barulah mereka mencoba untuk menggambarkannya ke lembar jawaban. Aku mengerjakan ujian itu di ruang dosen.


Selain itu, teman-teman dari Legio Maria juga sering membantu aku merekamkan buku-buku atau diktat-diktat ke dalam pita kaset. Jadi aku bisa menyelesaikan setiap tugas-tugas kampus dengan rapi dan tepat waktu. Nilai-nilai mata kuliahku pun cukup memuaskan. Dan pada 15 November 2003 akhirnya aku dapat meraih gelar sarjana S1, sebagai sarjana pendidikan (SPD) dengan IPK 3,05.



Sementara itu aku sedang bergumul dalam doa untuk langkah selanjutnya yaitu pekerjaan, karena banyak sekali teman-teman tunanetra seniorku belum mendapat pekerjaan hanya karena keterbatasan mereka. Sudah banyak perusahaan yang menolak mereka padahal gelar sarjana sudah mereka sandang. Jujur saja aku sempat merasa kuatir tentang yang satu ini. Aku hanya bisa kembali menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan, aku yakin kalau selama ini Tuhan sudah menyertai langkah hidupku sampai menjadi seorang sarjana, masakan sekarang aku meragukan Tuhan hanya karena melihat kenyataan yang pahit dari teman-teman tunanetra yang sulit mendapat pekerjaan.



Pada 19 desember masih di tahun 2003, aku diundang oleh sebuah perusahaan besar di Cikarang untuk membagikan kesaksian hidupku di acara Natal mereka. Tak satupun orang kukenal di sana, hanya yang mengundangku saat itu seorang karyawati yang pernah mendengar kesaksianku sebelumnya di tempat lain.



Saat aku memasuki gedung tempat di mana perayaan Natal itu diselenggarakan, aku mendengar sebuah bisikan di telingaku, tapi seperti juga muncul dari dalam hatiku. Bisikan itu berkata “kamu akan bekerja di sini!”. Aku sempat bingung dengan suara itu, tapi pada saat itu aku hanya berpikir bahwa suara itu datang dari hatiku sendiri yang sedang begitu mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan.



Sesuai susunan acara, aku seharusnya di tempatkan di acara terakhir dari acara perayaan. Tapi Tuhan punya rencana lain, karena pendeta pada saat itu terlambat datang, sehingga aku di minta untuk mengisi di awal acara. Ya sudah, jadilah aku bersaksi dan menutupnya dengan satu lagu ciptaanku sendiri. Setelah aku bersaksi, dilanjutkan dengan acara penyalaan lilin Natal, tiba-tiba owner dari perusahaan tersebut menghampiriku dan bertanya kepadaku:

“Apa kamu sudah bekerja?”

“Belum, pak!”

“Kamu mau kerja?” tanyanya lagi.

“Mau, pak!” Jawabku cepat tanpa sedikitpun keraguan, dan inilah kata-kata yang kudengar dari owner itu

“Ya sudah, kamu bekerja dengan saya!”

Seketika itu juga, suara yang tadi kudengar saat memasuki gedung terngiang kembali di telingaku. begitu senangnya sampai semuanya terasa seperti mimpi, aku mengerti, ternyata suara tadi pasti dari Tuhan, Tuhan telah memberitahuku lebih dulu sebelum owner itu memberitahuku. Tuhan memang benar-benar baik bahkan teramat sangat baik buatku. Aku benar-benar merasakan sebagai anak Raja. Raja telah memerintahkan owner itu untuk menerimaku bekerja di perusahaan yang besar miliknya. Selesai owner itu berbicara denganku, acara di lanjutkan dengan penyampaian khotbah Natal. Selesai khotbah, owner itupun pulang, tidak mengikuti acara sampai akhir. Cara Tuhan dalam menolongku memang sungguh ajaib.



Begitulah, sekarang sudah hampir 5 tahun aku bekerja di perusahaan Mulia keramik. Pertama sebagai resepsionis di mana pekerjaanku selain menerima telepon, menghafalkan ratusan nomor extention, dan juga harus menghadapi tamu-tamu baik dari lokal maupun dari luar negeri, hal itu membuatku semakin berani dalam menghadapi orang banyak.


Walaupun jarak penglihatanku semakin kabur, tapi aku masih mampu melihat bayang-bayang dan cahaya. Jadi kalau ada tamu yang datang ke depan mejaku, aku masih bisa mengetahuinya, meski sering juga teman sekantor yang sedang berdiri di depan mejaku pun, aku sangka tamu. Dan bulan agustus kemarin (tahun 2007), aku baru di mutasi ke bagian HRD Training & Recruitment. Aku bekerja dengan menggunakan laptop yang sudah di-install sebuah program pembaca layar yang bernama JAWS (Job Access With Speech), seperti yang sudah aku jelaskan di atas. Selain komputer, program pembaca layar juga dapat di akses pada ponsel.



Nah, begitulah kira-kira kisah hidupku. Oh ya, ada yang kelupaan, tentang pacar. Waktu kelas 3 SMU, aku pernah punya pacar. Kata temanku, wajah pacarku itu tampan, sehingga banyak teman-teman wanita yang lainpun diam-diam naksir dia. Pacarku bilang kalau dia sangat sayang padaku apapun keadaanku. Tapi selang beberapa waktu, ternyata orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami, mereka berkata kepada pacarku itu kalau "Rachel hanya bisa jadi beban saja!" Sakit rasanya mendengar itu. Akhirnya hubungan kamipun tidak berlangsung lama. Waktu aku sudah kuliah di Jakarta, aku memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan kami. Meski pahit, harus tetap kujalani.

Tapi sekarang, Tuhan sudah memberikan padaku seorang pendamping hidup yang luar biasa. Awalnya dia adalah anggota baru Legio Maria, dan pada suatu hari minggu, teman-teman legio mau mengajakku pergi jalan-jalan, nah, dia ada di antara mereka. Jadilah kami kenalan di depan pintu rumahku. Beberapa hari kemudian, dia meneleponku, dan hubungan kami pun semakin dekat. Dia sangat mengasihi Tuhan dan juga sangat menyayangiku. Dia tidak pernah menganggap kalau keterbatasanku itu sebagai beban atau sesuatu yang memalukan, sehingga harus ditutup-tutupi. Malah dia begitu bangga mengenalkanku pada teman-temannya dengan mengatakan, “Kenalin cewek gue. Dia ini tunanetra!”. Bukan hanya itu, orang tua dan saudara-saudaranya pun sangat baik terhadapku, mereka begitu bisa menerimaku apa adanya. Dan bulan Agustus 2008 kemarin, kami pun melangsungkan pernikahan.



27 tahun sudah aku mengalami begitu banyak kebaikan-kebaikan Tuhan. Meski mataku secara fisik belum sembuh, tapi aku bersyukur, karena Tuhan telah lebih dulu mencelikan mata hatiku, sehingga aku bisa merasakan betapa baiknya Tuhan dan dapat melihat betapa indahnya rencana Tuhan dalam kehidupanku dan keluarga. Kalau Tuhan mau menyembuhkan mataku, detik inipun aku yakin Tuhan sanggup melakukannya, tapi janganlah kehendakku yang terjadi, melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang jadi dalam hidupku. Yang aku inginkan sekarang adalah menggunakan hidup ini untuk menjadi kemuliaan bagi nama Tuhan. Amin!



Aku berharap melalui cerita kehidupanku ini, teman-teman penyandang disabilitas, khususnya penyandang tunanetra sepertiku, yang sampai saat ini belum juga bisa menerima keterbatasannya atau merasa tidak mampu untuk berbuat apa pun, dapat lebih membuka diri dan berkarya sesuai dengan kemampuan yang Tuhan percayakan kepada kita masing-masing. Ingatlah bahwa keterbatasan yang kita miliki bukanlah suatu hambatan untuk kita maju dan berkembang, asalkan kita memiliki kemauan, pasti kita mampu melakukannya dan mencapai keberhasilan seperti yang kita harapkan.



Dan bagi para orang tua yang mungkin merasa malu dan terpukul karena memiliki anak berkebutuhan khusus, janganlah terlampau putus asa atau mengucilkan anak tersebut, karena di dalam dunia ini tidak ada seorangpun yang sempurna. Di mata Tuhan, semua anak sangatlah berharga. Ingatlah bahwa dibalik keterbatasan mereka, Tuhan telah menyimpan suatu kelebihan yang dapat diolah menjadi sebuah kebanggaan. Carilah dan galilah itu, berilah dukungan dan bantulah anakmu dalam menghadapi segala hambatan dan tantangan yang ada di sekililingnya. Janganlah memandang mereka dari sisi keterbatasannya saja, tapi pandanglah mereka sebagai seseorang yang memiliki potensi untuk berkarya bagi Tuhan dan sesama, bahkan akan membawa kebanggaan bagi kalian sebagai orang tua, karena telah berhasil melaksanakan sebuah tugas besar yang dipercayakan Tuhan kepadamu untuk mendidik dan membesarkannya.



Bagi pemerintah, para pengusaha, dan lembaga sosial, hanya satu hal yang ingin aku tekankan di sini, bahwa kami, para penyandang disabilitas, meski tidak sempurna secara fisik, tapi kami juga memiliki kebutuhan yang sama dengan mereka semua yang mungkin secara fisik sempurna. Kami butuh kesempatan, kami butuh pengakuan, dan kami juga butuh persamaan. Tidak ada yang tidak mungkin untuk kami lakukan, asalkan kami diberikan kesempatan untuk mencoba dan membuktikan potensi kami!



Halo, Diary!
Apa kamu masih di situ?

Hehehe..., kepanjangan ya ceritanya?

Sori, deh! Lain kali aku bakal bercerita yang lebih panjang lagi, hehehe, eh, salah ya??

Tapi yang pasti, aku akan berbagi cerita tentang berbagai pengalamanku. Tentang kegembiraanku, kenakalanku, kesedihanku, bahkan, mungkin tentang kebodohanku. Pokoknya apa aja deh, yang aku pernah atau sedang alami, akan coba kuceritakan ke kamu, ok dear??

See you in the next stories!

Muuuaachh!!