Jumat

Burung-Burung Kertas


Burung-Burung Kertas

Oleh : Rachel Stefanie Halim
(Terbit di Majalah Femina 7 November 2012)


Bu Sri melangkah menyusuri selasar panti menuju sebuah kamar kecil yang sangat sederhana, sambil kedua tangannya membawa sebuah nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat. Dengan perlahan dia mendorong pintu kayu yang sudah setengah terbuka, dan melangkah masuk.
"Pagi Din," sapanya lembut pada seorang anak laki-laki yang sedang terduduk lunglai di atas kursi roda.
Din hanya menyunggingkan seulas senyum kecilnya pada wanita setengah tua itu yang sudah dianggap seperti ibu kandungnya.
Ibu Sri menarik kursi lain dan duduk di sebelah Din, sementara sebelah tangannya memegangi mangkuk bubur yang tadi dibawanya. "Mimpimu indah semalam?" tanyanya sambil mulai menyuapi Din makan.
Din membuka mulutnya dengan susah payah, membiarkan bu Sri memasukan sendok bubur itu ke dalam mulutnya yang kaku.

Din adalah anak korban aborsi yang tetap bertahan hidup dalam rahim sang ibu, hingga dia terlahir dengan kondisi tubuh yang cacat. Seluruh tubuhnya tak dapat berfungsi dengan normal: kedua tangannya selalu gemetar jika digerakan atau memegang sesuatu, kedua kakinya lumpuh, bahkan otot-otot rahangnya pun terlampau lemah, menyebabkan dia sulit berbicara dan mengunyah makanan. Dari lahir Din sudah dibuang orang tuanya, dan diletakkan di depan pintu panti Tunawarna. Kini Din sudah berumur lima belas tahun, seorang remaja yang hanya mampu tergolek lemas di atas kursi rodanya.

Setiap hari Din belajar dengan anak-anak panti lainnya yang beraneka ragam jenis kecacatannya. Mereka dibimbing oleh para pengurus panti, atau para kakak-kakak mahasiswa yang terpanggil untuk melayani dan mengajari mereka apa saja, seperti: baca-tulis, menggambar, dan berbagai jenis ketrampilan.

Meski tangan Din sangat lemah dan selalu gemetar, namun semangat Din tak pernah luntur sedikit pun. Setiap kali dia sedang sendirian, Din selalu mengambil kertas warna dan menggerakkan kedua tangannya untuk membuat burung-burungan kertas. Sudah banyak burung yang dia buat dan dia letakkan di dalam kotak sepatu.

"Kenapa burung-burunganmu selalu warna kuning, Din?" tanya bu Sri, ketika memperhatikan kotak sepatu yang ditaruh Din di sudut lantai kamarnya. "Kamu suka warna kuning ya?"
Din menjawab terbata-bata, "A... ta..ha..yi..." seraya sebelah telunjuknya diarahkan keluar jendela kamar.
Bu Sri mengikuti arah telunjuk Din, dan bertanya, "Oh, kamu maksud warna kuning itu seperti sinar matahari?"
Din mengangguk, dan dengan susah payah dia berusaha menjelaskan, "Ce...yi…a... Gem...bi...ya..."
Bu Sri tersenyum, "Memang sinar matahari selalu membawa kegembiraan dan keceriaan." Sebelah tangan bu Sri membelai rambut Din, dan melanjutkan berkata, "Kau tahu, Din? Senyummu juga selalu membawa sinar harapan kepada setiap tamu yang berkunjung ke panti kita, dan menyaksikan wajahmu yang selalu ceria.”
Din tersenyum, sebelah tangannya bergerak perlahan-lahan untuk kemudian menyentuh tangan bu Sri. Bu Sri segera menggenggam tangan Din, dan sesaat lamanya tangan mereka saling terpaut.

Suatu sore, ketika bu Sri lewat di depan kamar Din yang pintunya terbuka, dilihatnya Din sedang membuat sebuah burung lagi. Tapi bu Sri keheranan saat melihat kalau burung itu tidak lagi berwarna kuning, melainkan berwarna ungu. Buru-buru bu Sri menghampiri Din, dan bertanya, "Kenapa burungmu sekarang berwarna ungu, Din?"
Kedua tangan Din yang sedang melipat kertas dengan gemetar itu langsung tersentak, dan burung setengah jadi itu pun terjatuh. Melihat itu, terbersit perasaan menyesal dalam hati bu Sri. "Maafkan ibu ya Din, karena sudah mengejutkan kamu." katanya seraya membungkuk untuk mengambilkan burung kertas Din yang tadi terjatuh.
Din menoleh dan tersenyum pada ibu pengurus panti itu.
Bu Sri semakin terkejut, ketika dilihatnya kedua mata Din yang basah. "Kamu menangis, Din?" tanyanya lembut sambil berlutut di depan Din.
Din segera mengusap air matanya dengan punggung tangan, dan menggeleng.
"Jangan membohongi ibu, Din," kata bu Sri seraya menyentuh tangan Din. "Ayo ceritakan pada ibu, apa yang sudah membuatmu sedih?"
Din menunduk, lalu kembali dia menggeleng.
Bu Sri menghela napas panjang, "Baiklah, kalau memang kamu tidak mau bercerita pada ibu, ibu tidak akan memaksamu." Lalu bu Sri bangkit berdiri dan mengembalikan burung ungu itu ke tangan Din. "Jadi itukah sebabnya kenapa burungmu sekarang berwarna ungu? Kamu ingin mewarnai suasana hatimu yang sedih itu dengan warna ungu?"
Sejenak lamanya Din hanya menengadah memandangi wajah bu Sri, setelah itu dia pun mengangguk.
"Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu," ujar bu Sri seraya tersenyum, sebelah tangannya terulur untuk menyentuh bahu Din. "Ibu berharap, burung kuningmu akan kembali berkicau dan memancarkan cahayanya yang kemilau untuk menyebarkan kegembiraan bagi setiap hati yang beku." Kemudian bu Sri melangkah keluar kamar, meninggalkan Din yang masih termenung sendiri sambil memegangi burung ungunya yang setengah jadi.

Setengah jam kemudian, tamu yang dimaksud bu Sri telah datang. Suara mereka terdengar sampai ke kamar Din. Din melihat seorang temannya yang bernama Lia sedang berjalan dengan tongkat putihnya menuju ke ruang serba guna. Lia adalah seorang tunanetra berusia sepuluh tahun. Sering kali kursi roda Din tanpa sengaja ditabrak oleh anak perempuan itu. Tapi Din sangat senang dengan Lia, karena Lia selalu membuatnya gembira dengan celotehannya yang ramai.
"A!" seru Din sebisanya.
Lia yang baru saja melewati pintu kamar Din, langsung berhenti dan berseru, "Din, kamu di situ?"
"Ya!" kembali Din berseru.
Terdengar tongkat Lia kembali bersuara tak-tuk-tak-tuk, dan sedetik kemudian wajahnya yang berbentuk bulat telur muncul di depan pintu kamar Din.
Din tersenyum. Disodorkannya burung ungu setengah jadi itu ke tangan Lia yang sudah sampai di depannya. Tangan kecil Lia bergerak menerima burung kertas itu. "Burung lagi Din?" tanyanya sambil meraba-raba burung itu.
Din mengeluarkan suara gumamannya untuk menanggapi Lia.
"Kok, burungnya jelek sih? Belum jadi ya?" komentar Lia polos.
Din terkekeh kecil.
"Wah, nggak mau ah," sahut Lia sambil mengembalikan burung kertas itu ke pangkuan Din. "Aku mau burung yang sudah jadi. Ayo Din, kamu dandani burung jelek itu, dan jadikan burung yang cantik untukku!" Kemudian Lia memutar badan dan melangkah keluar kamar.
Tak lama kemudian, bu Sri melangkah masuk bersama lima orang tamunya. Semuanya terdiri dari orang-orang dewasa: tiga orang wanita, dan dua orang pria. Seperti biasa, bu Sri akan memperkenalkan Din pada para tamu itu, dan menjelaskan riwayat Din. Para tamu itu langsung merasa iba pada Din, bahkan yang wanitanya sampai meneteskan air mata, tapi Din tak pernah lupa untuk menebarkan senyumannya. Din berharap dengan senyumannya, dia dapat memberikan sinar kegembiraan bagi orang lain, meski pada saat itu hatinya sendiri pun sedang tersaput awan mendung.

Setelah para tamu itu meninggalkan kamarnya, kembali Din mengambil burung ungu yang tadi diletakkannya di kotak sepatu, dan meneruskan melipatnya hingga menjadi seekor burung cantik yang utuh dengan kedua sayap, mata, paruh dan kedua kaki yang kokoh.

Lengan sang waktu pun terus berayun,  meninggalkan beribu jejak kenangan dalam derap kehidupan manusia yang terus bergerak maju. Lima tahun lagi telah berlalu, kini Din genap berusia dua puluh tahun. Suasana sekeliling kamarnya tak satu pun yang berubah, kursi rodanya pun masih tetap sama, dan di sudut lantai kamarnya yang kecil terpajang kotak sepatu yang juga belum tergantikan, malah kini kotak sepatu itu telah beranak pinak menjadi lima buah. Isi kotak-kotak itu telah padat oleh ribuan burung-burung kertas yang sampai menyembul keluar, bahkan beberapa burung tak kebagian tempat lagi, dan hanya tergeletak di atas lantai. Meski tubuh Din kian membesar, namun kelainan pada tulangnya mulai menggerogotinya dengan rasa ngilu dan nyeri luar biasa. Din acap kali merintih kesakitan, namun rasa sakit itu tak juga menghentikan kedua tangannya untuk terus menciptakan burung-burung baru lagi.

Lia sering menemaninya mengobrol apa saja, bahkan dia sering menceritakan kegiatannya di sekolah, dan hal itu sangat membuat Din terhibur. Din selalu memberikan seekor burung pada Lia setiap kali dia datang ke kamarnya. Makanya, di lemari pakaian Lia pun bertebaran burung-burung kertas buatan Din.

Kondisi Din kian hari kian lemah. Dan akhirnya, Tuhan menyatakan bahwa tugas Din di dunia ini sudah selesai, lalu Din pun dijemput-Nya pulang.

Seluruh anak panti Tunawarna, para ibu pengurus panti, dan para donatur, tamu serta kakak-kakak mahasiswa berdiri mengelilingi sepetak tanah yang menjadi tempat peristirahatan Din terakhir. Telah banyak air mata yang jatuh untuk mengiringi kepergian seorang sahabat yang telah memberikan sejuta harapan pada mereka yang acap kali mengeluh oleh ketidak-adilan hidup, padahal hidup yang mereka jalani jauh lebih berwarna dibanding kehidupan monoton seorang Din.

Ketika bu Sri menceritakan kegemaran Din membuat burung-burungan dari kertas warna, dan bagaimana Din memaknai warna-warna pada burung-burung itu sebagai ungkapan dari perasaan hatinya, seorang gadis cantik berwajah bulat telur yang berdiri di tengah-tengah kerumunan anak-anak panti sedang memeluk sekantong besar burung-burungan kertas yang sampai saat ini belum pernah sekali pun dia lihat warnanya, Lia hanya dapat membayangkan bentuknya saja dari kepekaan jari-jari tangannya. Sementara di dekat makam, bu Sri sedang mengeluarkan ribuan burung-burung kertas milik Din, dan disebarkan di atas makam Din. Semua mata hadirin langsung terbelalak ketika dilihatnya makam Din kini berubah menjadi lautan kuning. Hampir seluruhnya burung-burung itu terbuat dari kertas berwarna kuning, hanya beberapa buah saja yang berwarna ungu. Itu berarti, sepanjang hidup Din yang dihabiskannya di atas kursi roda, Din senantiasa menjaga hatinya agar tetap memancarkan sinar kegembiraan, dan tak pernah membiarkan suasana hatinya berubah menjadi ungu.

Lia melangkah maju dan menyodorkan bungkusan besar miliknya pada bu Sri. Segera bu Sri membukanya, dan kini mata bu Sri pun ikut terbelalak, ternyata burung-burung yang diberikan Din pada Lia hamper semuanya berwarna merah jambu. Ibu Sri mengingat-ingat sebentar, siapa tahu dia lupa kalau Din juga pernah menyinggung arti warna merah jambu ini. Tapi seberapa keras pun bu Sri berusaha mengingatnya, pada kenyataannya Din memang tak pernah memberitahunya,bahkan bu Sri tak pernah melihat Din membuat burung-burungan dari warna tersebut.
Apa Din pernah memberitahu kamu mengapa dia memberikan burung-burungan merah jambu ini padamu, Lia?"
Lia menggeleng.
Sejenak bu Sri tertegun. Kemudian dia mengambil satu ekor burung itu dan mengamatinya lebih teliti. Ternyata di balik sayap burung yang sebelah kiri terdapat sebuah tulisan Din yang berbunyi, "Kau membuat kesedihanku menjadi kegembiraan." Dan di balik sayap satunya tertulis, "Ungu - kuning = merah jambu."
Air mata bu Sri pun kembali membanjir, dan terdengar gumaman lirih dari bibirnya, " Inilah arti seorang sahabat…”

Minggu

(Cerpen) Jawaban Tuhan



Jawaban Tuhan

Oleh : Rachel Stefanie Halim
(Terbit di Majalah Diffa 2011)


Sudah hampir dua jam aku terus membaca berulang-ulang puisi yang kutulis di atas selembar kertas, hingga tiap katanya seperti sudah meresap ke dalam setiap pembuluh darah di otakku. Tapi aku hanya membacanya dalam hati saja, aku masih belum berani untuk membacanya dengan suaraku, aku benci mendengar suaraku sendiri yang gagap. Andai saja Suster Tara tidak mengharuskan kami untuk membacakan puisi saat acara temu kangen dengan mantan anak asuh yang sudah meninggalkan panti kami, beserta dengan para orang tua angkat mereka, dan juga untuk memperlihatkan kemampuan kami kepada para calon orang tua yang berniat mengadopsi kami, mungkin aku takkan perlu bersusah payah berlatih setiap hari seperti ini.
"Jangankan membaca puisi, berbicara biasa saja aku sudah gagap..." pikirku sedih. Julukan Selina si gagap yang diberikan teman-teman sekolahku terus bergema di kepalaku, membuatku semakin takut menghadapi orang banyak, apalagi kalau harus berbicara dengan mereka. Meski usiaku kini sudah 15 tahun, tapi penyakit gagapku belum juga sembuh, malah terasa semakin parah.
"Brak!" tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Helen menerobos masuk, mengejutkan aku yang sedang melamun sendiri sambil duduk di atas tempat tidur, kertas yang berisikan puisi buatanku masih berada di tanganku.
"Oh, ada Selina, toh..." serunya saat melihatku. "Lagi apa kamu sendirian di kamar?"
Aku tak menjawab, dan kelihatannya Helen juga tak begitu perduli apakah aku menjawab atau tidak. Dia terus saja berlari ke arah lemari dan mengeluarkan semua pakaiannya, lalu dijejalkannya ke dalam koper.
"Ma... ma...mau... ke... ke mana?" tanyaku heran.
"Orang tua angkatku sudah menjemputku, dan sekarang mereka sedang menungguku di ruang suster Tara." jawab Helen riang sambil tangannya menekan tutup koper dan menguncinya.
"Bu... bu... bukannya... Ming... minggu... de...de...depan?" Setahuku, semua anak yang sudah terpilih akan dijemput orang tua angkat mereka pada acara temu kangen yang baru diadakan Minggu depan.
"Orang tuaku akan berangkat ke Jogja besok, dan kami akan menetap di sana untuk seterusnya. Jadi mereka nggak bisa menunggu sampai Minggu depan." Jawabnya sambil berjalan ke tepi tempat tidur, dan duduk di sebelahku, sorot matanya tampak dipenuhi kebahagiaan. Sebaliknya, hatiku terasa sangat sedih mengetahui satu orang lagi temanku akan pergi.
"Ka... ka... kamu sa...sa...ngat be... beruntung..." setitik air mata jatuh ke pipiku.
"Jangan berkata seperti itu, Selina..." kata Helen lembut. Ujung jari telunjuknya mengusap air mataku. "Percayalah kalau Tuhan punya rencana yang indah buat setiap anak-anakNya... Aku yakin suatu hari nanti kamu juga akan menemukan orang tua yang mencintaimu."
Aku menggelengkan kepala. "Ma... ma... mana... a... ada... yang ma... mau... me... mengambil... anak... ga... gagap?" Air mataku makin deras mengalir. Helen memelukku, sebelah tangannya membelai-belai rambut panjangku. "Siapa bilang nggak ada yang menginginkan kamu? Wajahmu sangat cantik, dan hatimu juga sangat lembut... Tuhan sangat mencintaimu, Sel... Dan jika Dia sudah memberi, tak ada seorang pun yang akan dapat mengambilnya... Hanya kita perlu tetap berharap dan percaya kalau  semua akan indah pada waktunya." Helen melepaskan pelukannya, dan tersenyum memandangku. Aku segera menghapus air mataku dengan punggung tangan, lalu kupandangi juga wajah Helen. Mungkin kami takkan pernah lagi saling berjumpa.

Begitulah kehidupan kami di panti asuhan, datang dan pergi. Bertemu untuk kemudian mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang lebih beruntung, karena sudah menemukan orang tua yang menginginkan mereka menjadi anaknya.

Tiba-tiba pintu kembali terbuka, dan wajah Suster Aida muncul dari sela-sela pintu. "Helen, apa kamu sudah selesai membereskan semua barang-barangmu?"
"Sudah, Suster." jawab Helen yang langsung berdiri dan mengambil kopernya.
"Kalau sudah, ayo cepat kembali ke ruang Suster Tara ya, karena orang tuamu akan segera pulang." setelah berkata seperti itu, Suster Aida pun kembali melangkah pergi. Helen berhenti di ambang pintu, lalu menatapku sekali lagi. "Sampai jumpa lagi ya, Selina."
Aku hanya mengangguk sambil memperhatikan Helen yang menghilang di balik pintu.

Ruang aula sudah dipenuhi oleh para undangan. Terdengar pekikan kegirangan di sana-sini, ketika para mantan anak asuh bertemu kembali dengan teman-teman mereka yang masih tinggal di panti. Aku hanya memperhatikannya dari deretan tempat duduk anak-anak panti yang berada di sebelah kiri panggung. Sebenarnya aku juga ingin menyapa mereka, tapi aku malu dengan bicaraku yang gagap, jadi aku memilih untuk tetap duduk saja, mempersiapkan penampilanku yang akan dimulai beberapa menit lagi.

Acara pun dimulai. Pertama-tama Suster Tara memberikan kata sambutannya, setelah itu satu per satu teman-temanku tampil membawakan puisinya, sesuai urutan yang sudah ditentukan sebelumnya. Jantungku semakin berdebar-debar tak karuan, telapak tanganku terasa dingin, aku benar-benar merasa takut. Ingin rasanya aku menyelinap pergi dari dalam aula, tapi itu berarti aku akan menghilangkan kesempatan untuk  mendapatkan orang tua angkat. Padahal aku juga rindu memiliki orang tua yang begitu mencintaiku, memanggil mereka mama dan papa, dan mungkin juga akan memiliki kakak atau adik yang saling menyayangi. Membayangkan semua itu, membuat hatiku terasa perih, "Bagaimana bisa aku bersaing dengan teman-temanku...? Mana mungkin aku menjadi anak terpilih, sementara cara bicaraku saja gagap...? Pasti penampilanku sangat buruk,..." Ratapku dalam hati. Tiba-tiba seseorang menepuk lenganku, "Sekarang giliran kamu, Sel!" Bisik Fika yang duduk di sebelahku. Aku buru-buru merapikan rambut panjangku yang kubiarkan tergerai lepas hingga hampir menyentuh pinggangku, dan bangkit berdiri. Sejenak kupandangi para hadirin yang masih bertepuk tangan sehabis menyaksikan penampilan Sherly yang telah berhasil membawakan puisinya dengan begitu indah. Beberapa dari mereka bahkan sampai menggeleng-gelengkan kepala, seraya lidah mereka berdecak penuh kekaguman. Setelah suara tepuk tangan mereda, aku mulai melangkah ke atas panggung. Beberapa lamanya aku hanya berdiri menatap para hadirin, menarik nafas dalam-dalam guna meredam suara detak jantungku yang berdebar-debar.
"Tolong aku, Tuhan!" seruku dalam hati. Aku masih berharap akan terjadinya mujizat. Sudah seringkali, saat tengah malam, aku bermimpi dapat berbicara dengan lancar, dan membaca puisi dengan suara yang lantang dan indah.
"Siapa tahu hari ini adalah saatnya mimpiku jadi kenyataan." harapku.
Puluhan pasang mata terus menatapku serius, menunggu-nunggu puisi berikutnya yang akan berkumandang melalui bibirku. Kuhela nafas sekali lagi, dan akhirnya suaraku pun terdengar,
"A... a... awan... be... ber... berarak... me... me... madati... la...langit... bi...biru; Se... se... selalu... be...ber...sama... me...me...meski... pe... petir... me... meng... hantam..." Mataku mulai berkaca-kaca, hatiku hancur, harapanku pun menguap lenyap perlahan-lahan. "Me... me... menga... mengapa... be...ber...pisah... ji...ji...jika... sa...saling...me...men...cinta?" Tak ada mujizat, tak ada lagi kesempatan. Tuhan tak datang menolongku, aku benar-benar merasa ditinggalkan, hatiku patah dan langsung remuk berkeping-keping.

Tiba-tiba terdengar jerit tangis seseorang dari arah hadirin. Tampak seorang wanita berlari ke arah panggung, menaikinya, dan langsung saja memelukku. Aku begitu terperanjat, sampai tak mampu lagi berkutik. Kubiarkan wanita itu terus memelukku sambil menangis meraung-raung.
"Selina... Selina..." Wanita itu terus menyebut namaku berulang-ulang, membuatku makin keheranan. Tiba-tiba saja ruangan menjadi sangat sunyi, tak seorang pun yang berbicara. Semua mata memandang kami dengan penuh tanda tanya, hanya tangis wanita itu saja yang menggema di seluruh ruangan. Namun jantungku seperti berhenti mendadak, ketika kudengar wanita itu berkata dengan suara parau, "Selina... maafkan mama, sayang..." Tubuhku menegang, mataku terbelalak, aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Sama sekali mama tak pernah bermaksud meninggalkan kamu, Selina..." Wanita itu terus berkata-kata di tengah-tengah tangisnya. “Tapi... semua karena kondisi yang memaksa mama menitipkanmu di panti ini…”
Kupejamkan kedua mataku, namun air mata tetap saja menerobos keluar membasahi kedua pipiku. Kini tak salah lagi, wanita yang memelukku memang menyebut dirinya sendiri mama, dan itu berarti aku ini anaknya. Tapi aku masih tak mampu membuka mulutku, aku masih bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku, semuanya terjadi begitu tiba-tiba dan terasa seperti mimpi.
"Mama mohon... maafkan mama...Selina… anakku..." Kini wanita itu telah melepaskan pelukannya, namun kedua tangannya masih memegang kedua bahuku, matanya yang basah terus menatap mataku. Aku balas menatapnya, dan tampak garis-garis wajahku sendiri terpahat di wajahnya. Tiba-tiba harapan yang tadi sudah menguap lenyap, kembali hadir mengisi penuh ruang-ruang di hatiku. Seluruh impianku tentang sebuah keluarga kini muncul perlahan-lahan, membentuk siluet yang makin lama semakin tampak sempurna, dan berakhir pada sosok wanita di hadapanku, yang bukan hanya sebagai ibu angkat, tapi ibu kandungku sendiri.
"Mama..." panggilku lirih tanpa tergagap.