Minggu

Di Tengah Keterbatasanku

HaiDiary, kamu tahu nggak, kalau aku senang sekali bisa berbagi cerita hidupku sebagai seorang tunanetra. Bagaimana Tuhan tetap baik buatku meski aku harus menjalani hari-hariku dengan mata yang remang-remang, nyaris redup. Aku berdoa agar ceritaku ini bisa menjadi berkat dan semangat bagi teman-teman semua, terlebih buat teman-teman yang memiliki keterbatasan seperti yang aku alami. Tapi lebih dari semuanya itu, biarlah ceritaku ini semata-mata hanya untuk kemuliaan nama Tuhan saja. Sebab aku ada hingga saat ini, bukan karena kuat dan gagahku, melainkan semua hanyalah karena kasih karunia Tuhan yang teramat besar, yang telah dengan setia menemani hari-hariku dan siap sedia kapan saja untuk menolongku.



Dari lahir sampai SMU, aku tinggal dengan kedua orang tuaku di Sukabumi. Baru setelah kuliah, aku pindah ke Jakarta,nggak bareng lagi sama orang tua.

Nah, sekarang aku akan mulai bercerita apa adanya. Kalau bisa siapin secangkir kopi aja dulu biar tetap segar saat membaca ceritaku yang puanjang kayak gerbong kereta api ini, hehehehe..!! Oh ya, sebelumnya aku mau jelaskan dulu kalau aku mengetik cerita ini menggunakan laptop yang sudah di install sebuah program pembaca layar (JAWS). Dialah yang selalu setia membantuku membaca ataupun menulis, karena setiap huruf yang aku ketik akan dia bacakan , sehingga teman-teman tunanetra sepertiku bisa mengoperasikan komputer seperti layaknya teman-teman non tunanetra lainnya.



Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, kakakku laki-laki dan adikku perempuan. Aku dilahirkan sebagai bayi yang sehat tak kekurangan suatu apapun, mataku jernih dan bersinar seperti bayi-bayi lainnya. Seturut bergulirnya waktu, aku pun bertumbuh menjadi seorang gadis kecil yang lincah, berlarian ke sana ke mari, merasakan indahnya dunia bermainku. Tetapi ketika aku hendak masuk ke kelas satu SD, kira-kira usiaku saat itu belum genap 6 tahun, aku mulai menampakkan tingkah laku yang ganjil. Aku mulai sering menabrak barang-barang kecil yang ada di depanku, saat menonton TV pun mataku begitu dekat dengan layar televisi. Mamiku mencoba mengajariku membaca, tapi yang kulihat hanyalah gumpalan-gumpalan hitam yang bergaris-garis. Lantas saja orang tuaku heran tidak karuan. Akhirnya mereka membawaku ke dokter mata di Sukabumi. Semua ukuran kacamata mulai dari yang tipis hingga yang tebal dicobakan ke mataku, tapi semuanya itu tidak berpengaruh bagi penglihatanku, hingga membuat dokter itu jadi ikut-ikutan bingung. Tidak putus asa , orang tuaku pun terus membawaku berobat ke Jakarta, tujuh dokter kami datangi, tapi semua angkat tangan dengan kasus mataku. Hingga akhirnya kami sampai pada dokter terakhir yang mengatakan kepada orang tuaku bahwa mataku lambat-laun akan buta dan menyarankan agar mereka segera mengirimku ke SLBA (Sekolah Luar Biasa untuk penyandang tunanetra). Mendengar itu, orang tuaku menjadi shock berat, tak pernah disangkanya kalau anak kedua mereka akan menjadi seorang penyandang tunanetra. Setelah hari itu, mamiku sering menemukan papi sedang membenturkan kepalanya ke tembok, seakan begitu putus asa dan tidak punya lagi pengharapan. Karena itu mami yang senantiasa menaruh pengharapannya hanya kepada Tuhan, terus mendampingi dan memberikan kekuatan kepada papi.



Memang, terkadang pikiran Tuhan begitu dalam hingga tak dapat terselami, jalan-NYA bukanlah jalan kita, rencana-NYA bukanlah rencana kita, tapi satu yang aku tahu dan yakini bahwa Tuhan tidak pernah merancangkan sesuatu yang buruk bagi anak-anak-NYA, melainkan rancangan yang penuh damai sejahtera untuk memberikan hari depan yang penuh pengharapan.



Ketika itu, papi yang belum mempercayai Tuhan sepenuhnya, menantang mami dengan mengatakan :
“Jika Tuhan benar ada, biarlah Dia membuktikannya lewat anak ini. Saya tidak mau jika sampai anak ini masuk ke SLBA!”



Akhirnya, dengan berbekal iman yang teguh, mami mendaftarkanku ke salah satu sekolah swasta terbaik di Sukabumi. Kebetulan kakaku juga bersekolah di sana, sehingga selain lebih memudahkan mami untuk menghantar jemput kami, kakaku juga bisa membantu menjagaku. Awalnya tidak mudah buatku untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru dengan keterbatasan penglihatan yang kumiliki. Aku di tempatkan di deretan bangku paling depan, tetapi untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, aku harus tetap berlari ke dekat papan tulis itu dan kemudian kembali ke tempat dudukku untuk menuliskannya ke dalam buku catatanku. Begitulah yang terus kulakukan sampai semua tulisan yang ada di papan tulis selesai kucatat. Sementara untuk membaca tulisan yang ada di buku, aku menggunakan alat bantu kaca pembesar, sehingga membacaku menjadi lambat. Sering kali saat pulang sekolah mami menemukanku sedang menangis di dekat papan tulis karena belum bisa menyelesaikan catatanku sementara teman-temanku yang lain sudah pulang.



Banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus kulalui, baik dari teman-teman yang sering mengejekku, bermainpun tidak lagi selincah anak-anak lain, maupun dari sistem pengajaran yang memang tidak di khususkan buat anak tunanetra sepertiku, jadi mau tidak mau aku harus berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pengajaran mereka agar tidak ketinggalan pelajaran. Tidak jarang nilai-nilai pelajaranku pun menjadi buruk, karena saat ujian, aku sering tidak bisa menyelesaikannya karena lambatnya aku membaca sementara waktu yang di sediakan sangat terbatas. Sering aku merasa sedih dan malu dengan keadaan mataku yang berbeda dengan anak-anak lainnya, sehingga sering aku mencoba menutupi keterbatasan penglihatanku itu dengan menyembunyikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada dihadapanku, aku tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman-teman, jadi aku berusaha sekuatnya agar aku tetap sama dengan kondisi mereka, jika temanku bermain lompat tali atau benteng-bentengan, atau petak umpet, aku akan tetap ikut walaupun akhirnya aku harus juga mengalah untuk hanya menjadi anak bawang. Kalau mereka disuruh membaca bergiliran oleh guru, aku pun harus membaca seperti mereka, walaupun akhirnya aku menjadi bahan tertawaan teman-teman karena bacaku sangat lambat dan sering salah-salah, sehingga sering tanganku menjadi gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Buatku membaca adalah kegiatan yang sangat menakutkan dan melelahkan. Tapi Tuhan begitu baik, tidak pernah sedetikpun Ia meninggalkanku. Meski berat hari-hari yang harus kujalani, tapi tangan Tuhan selalu menopangku sehingga membuat kakiku tetap kuat untuk berpijak dan melanjutkan langkah hidupku bersama dengan Dia yang dengan setia menggendongku. Tahun demi tahun aku lalui tanpa aku harus tinggal kelas. Melihat itu, papi semakin yakin akan penyertaan Tuhan dan semakin mengasihi-Nya. Itulah mujizat pertama yang keluargaku terima.



Ketika aku harus mengikuti EBTANAS di kelas 6, tiba-tiba kepala sekolah melarangku untuk mengikutinya, dengan alasan takut kalau-kalau NEM sekolah menjadi NEM terendah di antara sekolah-sekolah lainnya hanya gara-gara anak tunanetra yang satu ini. Tapi orang tuaku tidak mengalah begitu saja, akhirnya dengan doa dan kegigihan mereka, aku diijinkan mengikuti EBTANAS. Dipikiranku saat itu, yang penting lulus saja, aku sudah sangat bersyukur. Tapi Tuhan tidak berpikiran seperti itu, Dia tidak pernah mempermalukan anak-anakNYA. Setelah NEM keluar, aku sangat tercengang, ternyata Tuhan memberikanku NEM yang sama sekali tidak pernah kupikirkan, apalagi kudoakan sebelumnya. Aku hanya meminta NEM dengan rata-rata 6, karena itu sudah memenuhi syarat kelulusan. Tapi ternyata yang kuterima NEM dengan rata-rata 8.



Aku pun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatanku makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri tidak perlu di tuntun orang lain. Proteksiku terhadap keterbatasanku pun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja aku juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaanku pun menjadi lebih sensitif.


Aku sering menangis sendirian di dalam kamar, bertanya-tanya mengapa Tuhan tega memberikan mata seperti ini kepadaku, sementara kakak dan adikku tidak perlu mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang kualami. Sering aku marah pada Tuhan karena ketidakadilan-NYA ini. Sering aku berpikir tentang masa depanku, bagaimana aku bisa bekerja, apakah aku akan terus bergantung pada orang tuaku, tidak mampu hidup mandiri, dan apa mungkin ada cowok yang mau menikahi seorang gadis tunanetra sepertiku. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuatku merasa sedih dan frustasi. Tapi biasanya aku tidak mau membiarkan diriku berlarut-larut dalam kesedihanku, secepat aku memikirkannya secepat itu pula aku berusaha melupakannya. Aku sadar kalau bukan karena turut campur tangan Tuhan, aku tidak mungkin kuat menghadapi semuanya ini sendiri. Aku tahu ada Tuhan yang selalu menolong, menghibur, dan memberikan kekuatan kepadaku.



Waktu SMP, mamiku membelikanku sebuah kacamata berteropong, mirip seperti yang ada di film Startreck. Kaca mata itu memang dirancang untuk anak-anak tunanetra yang masih memiliki sedikit penglihatan sepertiku. Kacamata berteropong itu bisa membantuku melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya sudah di berikan kaca pembesar, sehingga setiap objek yang ditangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Aku gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, sehingga aku tidak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar, sahingga membuat mataku cepat lelah dan tentu saja memaksaku untuk menahan malu di depan teman-temanku, apalagi di depan cowok incaranku. Tetapi kemampuanku membaca dengan alat itu pun tidak bertahan lama, penglihatanku terus menurun. Aku mengandalkan teman-temanku untuk membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis. Meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan "sedang malas". Kegiatan menangis sendiri di dalam kamarpun semakin padat dan intonasi nada menangisnya pun semakin bervariasi. Aku tidak mau kalau hobiku menangis sampai diketahui orang lain apalagi orang tuaku. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hatiku pun hanya kutujukan pada Tuhan. Tapi semakin aku menjerit dalam hati, aku semakin merasakan Tuhan dekat denganku, semakin aku sering protes sama Tuhan, semakin hatiku merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah padaku, malah aku semakin merasakan Tuhan tambah sayang padaku. Karenanya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan, aku menganggap kalau sampai aku melakukan hal itu lagi berarti aku termasuk orang yang tidak tahu terimakasih.



Orang tuaku mencoba mengajakku lagi berobat ke luar negeri, ke Singapura dan ke Belanda. Tapi tidak satupun dokter atau profesor mata yang sanggup menolongku. Mulai saat itu aku memastikan pada diri sendiri bahwa tidak ada satu pun orang yang dapat menolongku selain Tuhan. Karena itu, aku mulai belajar untuk berserah penuh pada keputusan-Nya.



Lulus SMP, aku mendaftarkan diri ke SMU. Tapi belum apa-apa kepala sekolah SMU sudah menolakku dengan alasan belum pernah punya pengalaman menerima murid cacat. Tapi waktu Tuhan selalu tepat. Calon kepala sekolah baru yang akan menggantikan kepala sekolah yang menolakku itu di tahun ajaran baru, lebih optimis terhadapku sehingga dialah yang memperjuangkanku di depan kepala sekolah yang lama. Akhirnya aku pun masuk ke SMU itu, belajar seperti anak-anak lainnya. Aku senang bersekolah di sana, karena selain teman-temannya yang baik-baik, mereka juga senang menolongku. Mereka mengatakan kalau aku adalah seorang gadis yang cantik, tentu saja hal itu membuatku menjadi lebih percaya diri, apalagi dalam hal mencari pacar seperti teman-teman perempuan yang lain. Aku pun semakin bisa menerima diri apa adanya dengan segala keterbatasan yang kumiliki, aku tidak malu lagi mengatakan kalau mataku tidak bisa melihat. Aku meminta ijin kepada mami untuk belajar huruf braille, dan mami pun segera mencarikanku seorang guru SLBA untuk mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku. Aku mulai mengenal banyak teman-teman tunanetra di SLBA. Hatiku begitu senang seakan aku sudah menemukan duniaku sendiri. Ternyata banyak sekali teman-teman yang juga mengalami keterbatasan penglihatan seperti yang aku alami. Banyak sekali hal-hal baru yang kuterima dari mereka, bagaimana cara mereka berjalan sendiri dengan tongkat mereka, bagaimana cara mereka membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka lakukan, dan masih banyak lagi hal-hal lain yang membuatku begitu tertarik untuk mempelajarinya. Aku pun menjadi sering bermain ke SLBA itu dengan diantar dan dijemput oleh orang tuaku. Tapi pada suatu hari, orang tuaku tiba-tiba melarangku untuk bermain ke sana, mereka berkata bahwa aku berbeda dengan teman-teman di SLBA itu. Aku benar-benar merasa sedih dan seketika itu juga rasa sepi seakan kembali menyergap hatiku, seolah-olah aku telah kehilangan seorang sahabat terbaik yang sudah lama kucari dan berhasil kutemukan, tapi dengan secepat kilat ia kembali pergi meninggalkanku seorang diri. ternyata orang tuaku belum juga bisa mengakui kalau anaknya adalah seorang tunanetra.



Ketika aku lulus SMU, aku masih kebingungan memilih Universitas. Kebetulan suatu hari, mami melihat seorang tunanetra bergelar S2 sedang diwawancarai di salah satu stasiun televisi perihal PEMILU. Segera saja mami menghubungi stasiun TV itu untuk menanyakan nomor telepon tunanetra tersebut, dengan cara begitu, akhirnya aku dan mami berhasil menemui tunanetra itu yang ternyata seorang dosen honorer di salah satu Universitas Katolik di Jakarta dan juga ketua dari sebuah yayasan tunanetra di bawah Lembaga Daya Darma KAJ, bernama Laetitia (Laetitia berarti ‘Gembira’, berlokasi di Jakarta pusat).


Singkatnya, pada tahun 1999 akupun mendaftar di Universitas Katolik AtmaJaya mengambil jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Selain itu, aku juga tergabung dalam keanggotaan Laetitia. Teman-teman tunanetranya lebih banyak dari pada di SLBA Sukabumi, aku pun kembali senang bukan kepalang, dan ternyata orang tuaku pun tidak lagi melarangku untuk bermain dengan mereka, malah orang tuaku terlihat begitu bersimpatik dengan teman-teman tunanetra yang sangat luar biasa itu. Diam-diam orang tuaku mulai bisa menerima keadaanku yang sebenarnya sebagai tunanetra. Merekapun tidak malu lagi untuk mengatakan kepada khalayak umum, bahwa anak kedua mereka adalah seorang tunanetra, tetapi malah mereka bangga dengan anak keduanya yang meski tidak melihat tapi bisa berkuliah dan bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya yang non-tunanetra.



Di kampus, aku belajar seperti mahasiswa lainnya, dalam ruangan yang sama dan sistem pengajaran yang sama pula, tidak ada perlakuan khusus untukku. Aku merekam setiap pengajaran dosen di kelas ke dalam pita kaset dengan menggunakan tape recorder. Demikian juga dengan buku-buku atau catatan-catatan, tapi ada juga yang aku tulis dalam huruf braille. Hanya saat quiz atau ujian, biasanya aku di bantu oleh orang dari sekretariat kampus atau teman-teman dari pastoran kampus untuk membacakan soal-soal, kemudian menuliskan jawaban yang kuberikan dengan lisan ke dalam lembar jawaban. Kesulitannya adalah pada saat membuat gambar atau grafik-grafik, biasanya aku menggambarkannya di telapak tangan mereka dengan jari telunjukku, setelah mereka paham, barulah mereka mencoba untuk menggambarkannya ke lembar jawaban. Aku mengerjakan ujian itu di ruang dosen.


Selain itu, teman-teman dari Legio Maria juga sering membantu aku merekamkan buku-buku atau diktat-diktat ke dalam pita kaset. Jadi aku bisa menyelesaikan setiap tugas-tugas kampus dengan rapi dan tepat waktu. Nilai-nilai mata kuliahku pun cukup memuaskan. Dan pada 15 November 2003 akhirnya aku dapat meraih gelar sarjana S1, sebagai sarjana pendidikan (SPD) dengan IPK 3,05.



Sementara itu aku sedang bergumul dalam doa untuk langkah selanjutnya yaitu pekerjaan, karena banyak sekali teman-teman tunanetra seniorku belum mendapat pekerjaan hanya karena keterbatasan mereka. Sudah banyak perusahaan yang menolak mereka padahal gelar sarjana sudah mereka sandang. Jujur saja aku sempat merasa kuatir tentang yang satu ini. Aku hanya bisa kembali menyerahkan semuanya ke dalam tangan Tuhan, aku yakin kalau selama ini Tuhan sudah menyertai langkah hidupku sampai menjadi seorang sarjana, masakan sekarang aku meragukan Tuhan hanya karena melihat kenyataan yang pahit dari teman-teman tunanetra yang sulit mendapat pekerjaan.



Pada 19 desember masih di tahun 2003, aku diundang oleh sebuah perusahaan besar di Cikarang untuk membagikan kesaksian hidupku di acara Natal mereka. Tak satupun orang kukenal di sana, hanya yang mengundangku saat itu seorang karyawati yang pernah mendengar kesaksianku sebelumnya di tempat lain.



Saat aku memasuki gedung tempat di mana perayaan Natal itu diselenggarakan, aku mendengar sebuah bisikan di telingaku, tapi seperti juga muncul dari dalam hatiku. Bisikan itu berkata “kamu akan bekerja di sini!”. Aku sempat bingung dengan suara itu, tapi pada saat itu aku hanya berpikir bahwa suara itu datang dari hatiku sendiri yang sedang begitu mengharapkan untuk mendapatkan pekerjaan.



Sesuai susunan acara, aku seharusnya di tempatkan di acara terakhir dari acara perayaan. Tapi Tuhan punya rencana lain, karena pendeta pada saat itu terlambat datang, sehingga aku di minta untuk mengisi di awal acara. Ya sudah, jadilah aku bersaksi dan menutupnya dengan satu lagu ciptaanku sendiri. Setelah aku bersaksi, dilanjutkan dengan acara penyalaan lilin Natal, tiba-tiba owner dari perusahaan tersebut menghampiriku dan bertanya kepadaku:

“Apa kamu sudah bekerja?”

“Belum, pak!”

“Kamu mau kerja?” tanyanya lagi.

“Mau, pak!” Jawabku cepat tanpa sedikitpun keraguan, dan inilah kata-kata yang kudengar dari owner itu

“Ya sudah, kamu bekerja dengan saya!”

Seketika itu juga, suara yang tadi kudengar saat memasuki gedung terngiang kembali di telingaku. begitu senangnya sampai semuanya terasa seperti mimpi, aku mengerti, ternyata suara tadi pasti dari Tuhan, Tuhan telah memberitahuku lebih dulu sebelum owner itu memberitahuku. Tuhan memang benar-benar baik bahkan teramat sangat baik buatku. Aku benar-benar merasakan sebagai anak Raja. Raja telah memerintahkan owner itu untuk menerimaku bekerja di perusahaan yang besar miliknya. Selesai owner itu berbicara denganku, acara di lanjutkan dengan penyampaian khotbah Natal. Selesai khotbah, owner itupun pulang, tidak mengikuti acara sampai akhir. Cara Tuhan dalam menolongku memang sungguh ajaib.



Begitulah, sekarang sudah hampir 5 tahun aku bekerja di perusahaan Mulia keramik. Pertama sebagai resepsionis di mana pekerjaanku selain menerima telepon, menghafalkan ratusan nomor extention, dan juga harus menghadapi tamu-tamu baik dari lokal maupun dari luar negeri, hal itu membuatku semakin berani dalam menghadapi orang banyak.


Walaupun jarak penglihatanku semakin kabur, tapi aku masih mampu melihat bayang-bayang dan cahaya. Jadi kalau ada tamu yang datang ke depan mejaku, aku masih bisa mengetahuinya, meski sering juga teman sekantor yang sedang berdiri di depan mejaku pun, aku sangka tamu. Dan bulan agustus kemarin (tahun 2007), aku baru di mutasi ke bagian HRD Training & Recruitment. Aku bekerja dengan menggunakan laptop yang sudah di-install sebuah program pembaca layar yang bernama JAWS (Job Access With Speech), seperti yang sudah aku jelaskan di atas. Selain komputer, program pembaca layar juga dapat di akses pada ponsel.



Nah, begitulah kira-kira kisah hidupku. Oh ya, ada yang kelupaan, tentang pacar. Waktu kelas 3 SMU, aku pernah punya pacar. Kata temanku, wajah pacarku itu tampan, sehingga banyak teman-teman wanita yang lainpun diam-diam naksir dia. Pacarku bilang kalau dia sangat sayang padaku apapun keadaanku. Tapi selang beberapa waktu, ternyata orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami, mereka berkata kepada pacarku itu kalau "Rachel hanya bisa jadi beban saja!" Sakit rasanya mendengar itu. Akhirnya hubungan kamipun tidak berlangsung lama. Waktu aku sudah kuliah di Jakarta, aku memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan kami. Meski pahit, harus tetap kujalani.

Tapi sekarang, Tuhan sudah memberikan padaku seorang pendamping hidup yang luar biasa. Awalnya dia adalah anggota baru Legio Maria, dan pada suatu hari minggu, teman-teman legio mau mengajakku pergi jalan-jalan, nah, dia ada di antara mereka. Jadilah kami kenalan di depan pintu rumahku. Beberapa hari kemudian, dia meneleponku, dan hubungan kami pun semakin dekat. Dia sangat mengasihi Tuhan dan juga sangat menyayangiku. Dia tidak pernah menganggap kalau keterbatasanku itu sebagai beban atau sesuatu yang memalukan, sehingga harus ditutup-tutupi. Malah dia begitu bangga mengenalkanku pada teman-temannya dengan mengatakan, “Kenalin cewek gue. Dia ini tunanetra!”. Bukan hanya itu, orang tua dan saudara-saudaranya pun sangat baik terhadapku, mereka begitu bisa menerimaku apa adanya. Dan bulan Agustus 2008 kemarin, kami pun melangsungkan pernikahan.



27 tahun sudah aku mengalami begitu banyak kebaikan-kebaikan Tuhan. Meski mataku secara fisik belum sembuh, tapi aku bersyukur, karena Tuhan telah lebih dulu mencelikan mata hatiku, sehingga aku bisa merasakan betapa baiknya Tuhan dan dapat melihat betapa indahnya rencana Tuhan dalam kehidupanku dan keluarga. Kalau Tuhan mau menyembuhkan mataku, detik inipun aku yakin Tuhan sanggup melakukannya, tapi janganlah kehendakku yang terjadi, melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang jadi dalam hidupku. Yang aku inginkan sekarang adalah menggunakan hidup ini untuk menjadi kemuliaan bagi nama Tuhan. Amin!



Aku berharap melalui cerita kehidupanku ini, teman-teman penyandang disabilitas, khususnya penyandang tunanetra sepertiku, yang sampai saat ini belum juga bisa menerima keterbatasannya atau merasa tidak mampu untuk berbuat apa pun, dapat lebih membuka diri dan berkarya sesuai dengan kemampuan yang Tuhan percayakan kepada kita masing-masing. Ingatlah bahwa keterbatasan yang kita miliki bukanlah suatu hambatan untuk kita maju dan berkembang, asalkan kita memiliki kemauan, pasti kita mampu melakukannya dan mencapai keberhasilan seperti yang kita harapkan.



Dan bagi para orang tua yang mungkin merasa malu dan terpukul karena memiliki anak berkebutuhan khusus, janganlah terlampau putus asa atau mengucilkan anak tersebut, karena di dalam dunia ini tidak ada seorangpun yang sempurna. Di mata Tuhan, semua anak sangatlah berharga. Ingatlah bahwa dibalik keterbatasan mereka, Tuhan telah menyimpan suatu kelebihan yang dapat diolah menjadi sebuah kebanggaan. Carilah dan galilah itu, berilah dukungan dan bantulah anakmu dalam menghadapi segala hambatan dan tantangan yang ada di sekililingnya. Janganlah memandang mereka dari sisi keterbatasannya saja, tapi pandanglah mereka sebagai seseorang yang memiliki potensi untuk berkarya bagi Tuhan dan sesama, bahkan akan membawa kebanggaan bagi kalian sebagai orang tua, karena telah berhasil melaksanakan sebuah tugas besar yang dipercayakan Tuhan kepadamu untuk mendidik dan membesarkannya.



Bagi pemerintah, para pengusaha, dan lembaga sosial, hanya satu hal yang ingin aku tekankan di sini, bahwa kami, para penyandang disabilitas, meski tidak sempurna secara fisik, tapi kami juga memiliki kebutuhan yang sama dengan mereka semua yang mungkin secara fisik sempurna. Kami butuh kesempatan, kami butuh pengakuan, dan kami juga butuh persamaan. Tidak ada yang tidak mungkin untuk kami lakukan, asalkan kami diberikan kesempatan untuk mencoba dan membuktikan potensi kami!



Halo, Diary!
Apa kamu masih di situ?

Hehehe..., kepanjangan ya ceritanya?

Sori, deh! Lain kali aku bakal bercerita yang lebih panjang lagi, hehehe, eh, salah ya??

Tapi yang pasti, aku akan berbagi cerita tentang berbagai pengalamanku. Tentang kegembiraanku, kenakalanku, kesedihanku, bahkan, mungkin tentang kebodohanku. Pokoknya apa aja deh, yang aku pernah atau sedang alami, akan coba kuceritakan ke kamu, ok dear??

See you in the next stories!

Muuuaachh!!

37 komentar:

Anonim mengatakan...

SAlam kenal Rachel,
Tulisanmu Indah sekali,
seindah wajah dan hatimu...

Teruslah berbagi keindahan bagi sesama...

Salam

Nawayaksa Indonesia mengatakan...

Rachel, Tuhan membimbingku untuk ketemu & membaca hatimu via tulisanmu. Aku merinding menulis ini & aku akan menyelipkan proses cara Tuhan berbicara. Aku penuh syukur kenal dengan mu..tetaplah menjadi bintang dilangit. Salam kasih untuk bos mu yg baik hati itu

aku di http://amdarmawan.blogspot.com

Anonim mengatakan...

tetap semangat.....tulisanmu bagus...di tunggu tulisa berikutnya...

Unknown mengatakan...

Rachel.....Tuhan punya rencana dalam setiap apa yang terjadi dalam hidup kita....Dia menjadikan segala sesuatu indah pada waktuNya...Bagus sekali kalo Rachel mempostkan pengalaman ini, menjadi berkat buat kita semua....Tuhan berkati yaa...dan kita sebagai anak Tuhan pasti selalu punya pengharapan dan selalu berkemenangan...Amin...

Rachel Stefanie mengatakan...

Makasih ya buat semuanya.
aku juga senang bisa kenal dengan kalian. Kiranya Tuhan memberkati kalian semua. Amin...

primaningrum mengatakan...

salam sayang dari bunda, bunda juga memiliki seorang balita tunanetra berusia 3 tahun namanya balqiz. ayo berkunjung ke blog baqliz di
www.allaboutbalqiz.blogspot.com

Anonim mengatakan...

saya, tidak tahu bagaimana perasaan rachel waktu menulis, tapi saya tahu perasaan saya waktu membacanya, mungkin seperti naik perahu karet di arus liar, kadang mengalir tenang, menyentuh, kadang juga membuat saya tertawa.

salam kenal...nurcahyo
keep smile//GBU

Rachel Stefanie mengatakan...

Halo Bunda...
senang sekali bisa kenal dengan bunda.
sungguh beruntung sekali Balqiz memiliki ibu seperti bunda.
Terus berjuang ya Bunda, dan sampaikan salam sayang saya juga buat si kecil Balqiz.

Buat Nur Cahyo, Yooks kita naek perahu karet bareng-bareng, biar kita bisa tertawa dan mungkin, mabuk laut bersama. hehehe...
Makasih ya udah mau membaca ceritaku yang super puanjang ini.
jangan bosen-bosen berkunjung ke blogku ya!
God bless u & keep smiling!
Cheers!!! :-D

Anonim mengatakan...

Rachel,indah sekali tulisan kamu..
Sungguh pengalaman dan kesaksian hidup kamu sangat memberikan pelajaran yang berarti buat aku...
Aku yang selama ini sangat tidak menghargai hidup padahal Tuhan sudah membrikan kesempurnaan dalam hidup aku tapi aku yakin dengan membaca pengalaman hidup kamu bisa membangkitkan aku untuk lebih menghargai dan mau berjuang dalam setiap langkah hidup aku...Semoga kamu selalu diberkati dan semoga pernikahan kamu dapat berlangsung dengan tanpa halangan apapun..Jesus selalu besertamu..

Salam

Johanes Stevanus

catatan salwangga mengatakan...

hmmm, aku tak tahu perasaan apa yang terasa saat membaca postingan ini. resah, gelisah, syukur, mencaci diri, entahlah...

yang jelas, aku sangat merenung oleh postingan rachel. terlalu banyak di diri ini yang harus aku syukuri, namun, aku lebih banyak terlena dengan segala kekurangan ketimbang mensyukuri kesempurnaan.

salam kenal,

oh iya, kalau masih di mulia keramik, aku banyak teman disana. silahkan berkunjung di blogku.

Rachel Stefanie mengatakan...

Johanes dan Salwangga, thanks ya udah bersedia membaca ceritaku ini. Makasih juga buat doanya ya Jo, kebetulan aku emang udah melangsungkan pernikahan bulan Agustus kemarin. Ceritanya bisa dilihat di :
Http://remang-remang.blogspot.com/2008/09/my-wedding-day.html

Aku masih kerja di Mulia, Sal. Ok deh, aku pasti mampir ke blog kamu.

Tetap semangat ya!
God bless you all.

Cheers!!

Anonim mengatakan...

Dear Rachel.. Salam kenal, jujur waktu pertama kali saya baca tulisanmu.. saya merasa kecil dan speechless. Tapi di sisi yg lain tulisanmu juga membuat saya ter-inspirasi. Jgn pernah berhenti menulis ya.. keep your spirit to survive alive, sist. God will lead your way forever.GBU!

Anonim mengatakan...

Entah bagaimana aku sampai ke sini.. tapi aku sangat bersyukur...
Rachel, aku sangat tersentuh baca tulisanmu...
Thanks banget udah mau sharing...
Salam kenal..

Anonim mengatakan...

Rachel... saya benar2 terharu mendengar cerita kamu, it's so miracle... Honestly God is so Good.. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita dan seperti kamu sayapun bangga menjadi Anak Tuhan.. krn saya juga merasakan kuasa dan kasihnya.. 5thn saya & suami menunggu momongan, disaat dokter blg sel telur sy tidak ada, saat itulah Tuhan menyatakan kasihNya, di usia sy yg hmpr 36 saya melahirkan my first boy & skrg dia sdh 1.5thn loh... Rencana Tuhan Indah Pada WaktuNya... : )

Rachel Stefanie mengatakan...

Hai, makasih ya udah mau mampir ke blogku.
Selamat juga ya buat buah hati yang sudah Tuhan percayakan padamu dengan caranya yg ajaib. Tuhan emang ga pernah meninggalkan anak2-Nya yg selalu berharap pada-Nya.
Salam ya buat suami dan anakmu yg pastinya lucu dan pastinya selalu membawa keceriaan di tengah2 keluargamu.
God bless u!

Ciao!

Rachel Stefanie mengatakan...

Halo Lady dan Yudi, lam kenal juga ya.
aku senang sekali kalo tulisanku ini bisa menjadi berkat bagi orang lain. Dengan komentar dari kalian ini juga, makin membuatku lebih semangat untuk terus menceritakan pengalaman hidupku ini, khususnya segala sesuatunya yg berhubungan dengan kebaikan Tuhan yg seakan ga pernah ada abis-abisnya.
Jangan bosen2 mampir ke blogku ya.

Tetap semangat!!

Cheers!!

Flyhigh mengatakan...

Merry Christmas ?L:)

Anonim mengatakan...

Dear Rachel,
kamu anak baik, tetaplah memberi inspirasi pada aku dan anakku
Terima Kasih ya...

meidy mengatakan...

Saya membaca tulisan mu dengan penuh keharuan atas penyertaan Tuhan dalam kehidupan kamu. Tetap terus bersinar dalam Tuhan kita Yesus Kristus. Salam buat keluarga, dan kiranya rencana indah Tuhan selalu menyertai mu. Tuhan Yesus memberkati.

Anonim mengatakan...

GW mesti bersyukur lagi sama Tuhan,dikasih kesempurnaan tp sering ngeluh. tetap semangat yah Rachel


Sandra NAdine

toger mengatakan...

Cerita bagus rachel....salam kenal ya

Fillia Barden mengatakan...

Hai kak Rachel, salam kenal... Wuaw semangatmu luar biasa kak.., teruslah jadi berkat.. Gbu

Amy mengatakan...

Hai Rachel, salam kenal...
Saya salut dengan Rachel dan perjuangan ibundanya. Keteguhan yang tersirat dari untaian kalimat yang tertulis. Tak bisa saya ungkapkan bagaimana rasa hatri saya membaca blog ini.
Semoga Tuhan YME tetap memberikan karunianya kepada Rachel n keluarga. Melalui tulisan2 Rachel, bisa menaburkan semangat bagi yang membacanya.

dwi mengatakan...

baca tulisan rachel membuat saya sdara, saya tetap harus bersyukur kapanpun dan dimanapun.. bahwa Tuhan akan selalu sayang juga sama saya.. GBU rachel.. semoga saya juga diberikan berkah, kasih, hati dan keiklasan seperti km.. dan tak melupakan Tuhan dimanapun dan kapanpun..

Aan Marlina mengatakan...

Salam kenal Rachel,

Cerita mu membuat aku terharu,
Indah dan Jujur,
Menginspirasiku untuk terus semangat dalam mengarungi kehidupan...

Salam

Saya ada di http://aanmarlina.blogspot.com

Ery mengatakan...

Salam Kenal Rachel
Saya salah satu anggota milis manager indonesia, seringkali saya melakukan copy thd beberapa tulisan2mu, kemudia secara lisan saya sampaikan kepada tim saya seluruh indonesia ketika saya berkunjung ke daerah2.
Namun baru kali ini saya tiba2 ada yg menggerakkan untuk membuka blog kamu.
Sukses buat Rachel & keluarga, tetaplah jaga semangatmu, meskipun kamu gadis remang2 namun kamu menyinari sekelilingmu

Rachel Stefanie mengatakan...

Terima kasih banyak ya teman2 semua buat komentarnya... sungguh saya gembira sekali...:)
Untaian kata-kata dan doa kalian juga telah membentuk seuntaian bintang-bintang yang bersinar di dalam hatiku...
Sekali lagi terima kasih banyak ya...
Kiranya Tuhan senantiasa memberkati kita semua dengan kasih-Nya yang seakan tak ada habisnya...

Peace & love :)

Deni mengatakan...

So inspiring!
begitu ikhlas, namun tetap bersemangat menjalani hidup..
Terimakasih

AndreasBlogger mengatakan...

Ijin share ya Rachel
Aku baca tulisanmu dari awal sampai akhir, tidak ada yang ketinggalan.. dan saya sangat terharu membacanya.
Salam kenal,
Andreas

AndreasBlogger mengatakan...

Ijin share ya Rachel?
saya membaca tulisan ceritamu kata demi kata dari awal sampai akhir tidak terlewatkan, dan saya terharu juga ikut bangga, membaca cerita ini.
Salam kenal,


Andreas

Rachel Stefanie mengatakan...

Andreas,, silakan kalo mau dishare. Malah aku makasih bgt kl cerita hdpku ini bs menjadi berkat bg banyak org.

Oh ya, sekitar bulan Juni ini, bukuku mau terbit lho... Judulnya "Aku Buta Tapi Melihat". Penerbit Elexmedia. Nanti teman2 beli yaaaa...!!

Deni,, trims jg udah bersedia baca sharingku ya... Gbu.

Fajar mengatakan...

shalom Rachel, kisah hidupmu sangat menginspirasi hidupku, sebuah kesaksian yang mengubahkan paradigma!
Kalau mau silakan mampir ke http://fajarekosaputro.blogspot.com disini kamu bisa baca semua lirik lagu-lagu pujian yang saya ciptakan dan kalau mau dengar lagu-lagu saya bisa ke http://YouTube.com/fajarekosaputro86

keep your spirit!
Jesus bless You!

Anonim mengatakan...

Rachel, salam kenal. Senang membaca tulisan / pengalaman Rachael.

Menyentuh sharing2 Rachael. Membuat kita untuk selalu bersyukur dan berserah pada Tuhan YESUS.

Salam kenal Rachael....

Gbu

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Dibalik kelemahan Tuhan siapkan kelebihan yang luar biasa, buku ibu sudah saya baca dan sangat menginspirasi, bukunya saya pinjam dari dosen saya yang juga pengidap RP,,,! Terus berkarya ditunggu tulisan2 berikutnya,. Salam Bravo

Fu'ad Efendy mengatakan...

Salam sejahtera ibu Rachel... barusan ikut acara motivasi (kms) di solo.. penasaran jadi searching deehh suksess selalu buat Ibu Rachel kisahnya menginspirasi kita untuk tdk mengeluh lagi...

Rachel Stefanie mengatakan...

Terima kasih untuk semua teman - teman yang sudah membaca blog saya. Saya berharap blog ini bisa menjadi berkat untuk semua orang dan menjadi pengingat bahwa sesulit apapun: JANGAN menyerah!
Pertolongan yang datang dari atas akan selalu menyertai orang yang berharap kepadaNya.