Rabu

Kartini, Masihkah Relevan?


Setiap tanggal 21 April, kita selalu memperingati hari Kartini. Semua televisi berlomba menampilkan sosok-sosok wanita yang mencerminkan semangat seorang
Kartini modern, bahkan semua sekolah mewajibkan siswa-siswinya mengenakan pakaian adat, demi mengingat kembali perjuangan RA. Kartini. Tapi apakah perjuangan seorang Kartini masih relevan hingga hari ini?
Apakah makna kesetaraan yang kita tangkap selama ini sudah tercermin dari sikap kita sehari-hari?

Berbicara tentang kesetaraan, tidak melulu tentang gender saja, tetapi juga mengena pada kesetaraan antara suku, ras dan agama. Semboyan Bineka Tunggal Ika,
berbeda-beda tetapi satu, seharusnya menjadi perwujudan yang utama dan terutama dalam memaknai perjuangan seorang wanita luar biasa dari Jepara ini.


Dari dahulu Indonesia memang sudah ditakdirkan sebagai negara yang majemuk,
Beraneka ragam suku, bangsa, bahasa dan agama berbaur jadi satu. Karena itu,
sudah seharusnya rakyatnya pun hidup terbiasa untuk saling menghargai perbedaan.
Tapi apa yang nyata terjadi belakangan ini di negeri kita tercinta?
Perbedaan justru seakan menjadi akar permasalahan yang seperti tiada berujung.
Kecurigaan dan kebencian terhadap perbedaan bertumbuh subur layaknya jamur di
musim hujan. Kita cenderung memihak mereka yang sama dengan kita, baik secara
suku, ras maupun agama, walaupun di dasar hati terdalam kita tahu bahwa mereka
yang kita pihak melenceng dari kebenaran. Lalu di manakah kesetaraan yang
digembar-gemborkan itu?

Memperingati hari Kartini setiap tahunnya adalah baik, bahkan teramat sangat
baik, jika kita memaknainya lebih dari sekedar berlomba menghias diri dengan
pakaian adat yang berwarna-warni layaknya peragaan busana, tetapi lebih kepada
perwujudan nyata tentang arti kesetaraan itu sendiri. Perbedaan adalah anugerah
jika kita melihatnya dari kacamata yang bijak. Kita bisa melihat perbedaan
sebagai sumber permusuhan. Atau bisa melihatnya sebagai sumber kekuatan. Sebagai
warga negara Indonesia yang adil dan beradab, seharusnyalah kita memandang
perbedaan sebagai sarana yang memacu kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Pastikan perbedaan yang kita lihat menjadi sumber motivasi, bukan sebaliknya.
Yang terpenting bukanlah siapa saya, dari mana asal saya dan apa keyakinan saya,
melainkan apakah yang sudah saya berikan untuk negeri Indonesia tercinta ini?