Sabtu

Abu Pertama

ABU PERTAMA

"Hanya debulah aku di alas kakiMu, Tuhan; Haus akan titik embun; Sabda penuh ampun."

Lagu itu terus terngiang-ngiang di telingaku, seperti syair cinta yang menyentuh hati dan menggores kalbu dengan goresan-goresan indah yang akan tetap terpatri di dalam benakku.

Hari itu merupakan pertama kalinya dahiku diolesi abu.

Dulu, aku hanya tahu kalau makna dari abu yang selalu menghiasi dahi orang Khatolik setiap mereka merayakan Rabu Abu itu sebagai tanda pengingat kalau kita ini berasal dari debu, dan akan kembali menjadi debu.

Aku berpikir kalau orang Khatolik itu kurang kerjaan, terlalu banyak simbolik. Bikin orang-orang yang non Kristen jadi pada kebingungan melihat dahi orang-orang Khatolik pada hitam-hitam.

Aku sering mendapat pertanyaan dari teman-teman yang non Kristen :

"Kok dahi kamu nggak dikasih hitam-hitam kayak mereka?"

"Aku kan bukan Khatolik!"

"Oh..., di Protestan nggak ada seperti itu ya?"

"Nggak!"

"Apa sih maksudnya dahi dikasih hitam-hitam seperti itu?"

Dengan PD-nya aku menjawab :
"Itu sebagai pengingat kalau kita hanyalah debu dan akan kembali menjadi debu."

Hanya itu saja yang aku tahu.
Tapi sekarang, aku lebih memahami kalau makna dari abu yang diolesi itu, selain sebagai tanda ketidakabadian, juga sebagai tanda penyesalan akan dosa-dosa dan pertobatan.
Kebiasaan ini ternyata juga sudah digunakan orang-orang sejak perjanjian lama.
hal itu aku ketahui dari artikel yang dikirimkan temanku di Milis "Peduli-cacat".

"Sebagai contoh, dalam Buku Ester, Mordekhai mengenakan kain kabung dan abu
ketika ia mendengar perintah Raja Ahasyweros (485-464 SM) dari Persia
untuk membunuh semua orang Yahudi dalam kerajaan Persia (Est 4:1).
Ayub (yang kisahnya ditulis antara abad ketujuh dan abad kelima SM)
menyatakan sesalnya dengan duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6). Dalam
nubuatnya tentang penawanan Yerusalem ke Babel, Daniel (sekitar 550
SM) menulis, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk
berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta
abu.” (Dan 9:3). Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar
orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan
puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan
kain kabung lalu duduk di atas abu (Yun 3:5-6). Contoh-contoh dari
Perjanjian Lama di atas merupakan bukti atas praktek penggunaan abu
dan pengertian umum akan makna yang dilambangkannya.

Yesus Sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu: kepada kota-kota
yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka
telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira,
Kristus berkata, “Seandainya mukjizat-mukjizat yang telah terjadi di
tengah-tengahmu terjadi di Tirus dan Sidon, maka sudah lama
orang-orang di situ bertobat dengan memakai pakaian kabung dan abu.”
(Mat 11:21)*"

Sepulang kantor, aku dan suami langsung menuju ke Gereja, sampai kami tidak sempat makan malam dulu.

Oops, maksudku bukan "kami", tapi "aku", soalnya suamiku memang puasa. hehehe...

Akhirnya selama Misa, perutku jadi ikut-ikutan bermazmur. :)

Tapi, walaupun perutku keroncongan, hatiku sungguh diliputi sukacita, sedih, dan bangga yang tercampur aduk. Terutama saat Diakon mengolesi abu ke dahiku sambil mengatakan :
"Bertobatlah dan percayalah pada Injil!"

Aku merasa sukacita, karena ini adalah kali pertamanya dahiku diolesi abu. Dan sebelum abu itu menempel di dahiku, Tuhan sudah memperbaharui pengertianku tentang makna abu, sehingga aku bisa menerimanya dengan penuh syukur dan memohon pada Tuhan agar hatiku pun semakin dibaharui.

Sedih, karena aku menyesal dan mohon ampun pada Tuhan karena aku sudah begitu jahat padaNya, dan seringkali menyakiti hati Tuhan, sering malas berdoa, padahal Tuhan sudah begitu baik padaku.

Bangga..., ya, sekarang aku bangga karena didahiku sudah ada abunya... :)
abu ini sebagai tanda penyesalan dan pertobatanku sebelum aku memperingati wafat Kristus di kayu Salib dan kebangkitanNya.
Abu ini juga sebagai tanda peringatan:
"Jangan sampai aku menyalibkan Kristus untuk yang kedua kalinya!!!".

Tapi sayangnya, pas aku tanya suamiku seusai Misa :
"Apa abunya masih nempel di dahiku?"

Suamiku jawab :
"nggak tuh..."

O..., ternyata abunya sudah hilang... huhuhuhuhuhu....
Mungkin kehapus sama poniku sendiri..., atau pas Diakonnya olesi abu ke dahiku, terhalang oleh poniku, sehingga abunya bukan menempel di dahiku, tapi kena di poniku. :) :(

Padahal baru aja aku mau pamer sama para penjual makanan dan para pembeli makanan kalau aku baru saja mengikuti Misa Rabu Abu..., perlu bukti?

Lihat aja di dahiku... ada abunya!!!

:O*???


*Rabu, 17 Febuari 2010; Gereja St. Laurensius*