Kamis

Bertemu Falabella Horse

Ini adalah kali kedua aku ke Medan dalam rangka mengisi training BCA. Yang pertama menginap di Swiss-Bel hotel, dan yang kedua di The Hill hotel  di Sibolangit. Tapi kedua-duanya aku nggak sempat pergi ke mana-mana, cuma ngendon di hotel... :)

Mau berkunjung ke rumah Tjong A fei (orang terkaya di Medan tahun 1920-an) belum juga kesampaian... Pokoknya suatu hari kudu ke sana. Belum lengkap deh rasanya kalau sudah baca buku sejarahnya, tapi nggak ngunjungin langsung rumahnya, padahal sudah ada di depan mata. Kata bapak supir yang kemarin jemput aku di bandara sih, pernah pemburu hantu datang ke situ dan nggak berhasil ngalahin roh penghuninya... Katanya baru kali ini nemuin tandingan yang sangat kuat. Langsung aja aku nyeletuk, "Mungkin rohnya jago kung fu kali, hehehe..."

Tapi waktu di The Hill, aku melihat-lihat mini zoo-nya (lebih tepatnya Wiria yang lihat-lihat, sambil ceritain ke aku), dan ada kuda mirip pony yang lebih kecil dari pada kuda pony biasanya, namanya Falabella horse. Lucu bangeeeet... :) Langsung aja aku kepikiran Glyn; Glyn pasti suka banget nih ketemu pony benaran... bisa dielus-elus lagi...:)

Falabella horse masuk ke dalam jenis kuda terkecil di dunia, jarang sekali tingginya bisa melebihi 78 cm. Falabella walaupun ukurannya mini, tidak bisa dikatakan kuda pony, tetapi lebih ke miniatur kuda. Nenek moyangnya berasal dari Amerika selatan, dan dibawa ke dunia barat oleh bangsa Spanyol.
Kuda Falabella dikembangbiakan di Argentina dari kuda lokal jenis Criollo yang dimulai pada tahun 1868 oleh seseorang bernama Patrick Newtall.

Nah, ini dia fotoku bersama para Falabella yang lucu-lucu, semua langsung datang nyamperin aku... Cute banget kan??? Pengen deh bawa pulang satuuuuu aja... :)







Dan ini foto bersama pak Markus (salah satu pembicara) dan isterinya, tante Erna, serta beberapa dari peserta New Me batch 30 di The Hill hotel, 26-27 Januari 2015.

Kesan terhadap kota Medan setelah dua kali berkunjung :
Pengemudi mobilnya "mantan pembalap semua"... :)
Pergi dan pulang semua tim pada mabok, kecuali ogut, mungkin karena ogut kagak bisa lihat jalanan, jadi asyik-asyik aja selama belum kerasa 'bruk!!!'...:)

Menikmati Situs Sejarah Trowulan, Mojokerto

Ini adalah perjalananku di bulan November 2013. Seperti biasa, waktu itu aku dan tim QQ sedang ada sesi di Surabaya selama 4 hari 3 malam. Training dilaksanakan di hotel Sativa Sanggraloka Pacet. Nah, karena sesiku ada di hari ke 2 dan 4, makanya di hari ke 3 aku dan suami memilih untuk melancong ke Trowulan, Mojokerto. Kami memesan travel dari hotel, hanya setengah hari dari jam 10 pagi sampai jam 5 sore, biayanya sebesar 400.000 rupiah, sudah berikut mobil dan supir.
Perjalanan dari Pacet menuju Trowulan ditempuh kurang lebih selama satu setengah jam.

Trowulan merupakan sebuah kecamatan di Kab Mojokerto, Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Kab Jombang dan terletak di jalan nasional yg menghubungkan Surabaya dengan Solo.
Di Trowulan terdapat puluhan situs berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan peninggalan Kerajaan Majapahit. Di duga kuat pusat kerajaan majapahit berada di wilayah ini seperti yg di tulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakertagama dan dalam sumber dari cina abad 15. Trowulan di hancurkan pada tahun 1478, saat Giridrawardhana mengalahkan Kertabumi dan sejak saat itu ibukota Majapahit pindah ke Daha.

Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan abad ke 19. Peninggalan di sekitar Trowulan banyak yang terkubur lumpur didalam tanah, hal ini dikarenakan meluapnya sungai brantas dan aktivitas gunung kelud. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.

Candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Tikus. Candi Tikus ditemukan 1914 sebagai sarang tikus saat itu. Jadi ceritanya, para petani kala itu diganggu oleh wabah tikus yang menghancurkan tanaman padi mereka. Agar mereka tahu di mana sarang tikus-tikus itu berada, mereka pun mengejar sampai tikus-tikus itu masuk ke sebuah lubang. Saat lubang itu digali, ditemukanlah sebuah candi di bawahnya. Makanya Candi itu diberi nama Candi Tikus. Sebenarnya Candi itu merupakan kolam pemandian ritual.

Kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini.

Waktu aku sedang meraba-raba dinding candi, ada dua ibu lain yang juga sedang mengelilingi candi sambil terdengar suaranya berkomat-kamit, sepertinya sedang membaca doa. Dan salah satu dari mereka berkata pada temannya, "Nah, di sini kerasa banget. Hawanya beda. Pasti mereka banyak berada di sini..." Kemudian mereka pun kembali berkomat-kamit. Mungkin maksud "Mereka ada di sini" itu adalah para arwah yang dulu tinggal di Candi itu, dan mungkin ibu-ibu itu sedang mendoakan arwah mereka.

Waktu aku sedang berdiri di puncak tangga Candi dan lagi bersiap-siap mau di foto, tiba-tiba ibu-ibu itu menghampiri kami dan menawarkan untuk membantu mengambil foto, jadi suamiku juga bisa sekalian di foto bareng aku. Setelah di foto, ibu-ibu itu pun bertanya tentang keadaan mataku. Mungkin mereka sudah memperhatikanku dari tadi, dan bisa mengira kalau ada yang nggak beres sama mataku, kok dari tadi kerjaannya meraba-raba Candi dan kalau jalan harus dituntun, hehehe...

Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.'
Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.

Lanjut ke Gapura Wringin Lawang, terletak tak jauh dari jalan utama di Jatipasar.
Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya 'candi bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.
Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.

Sekarang ke Candi Brahu yang berada Di desa Bejijong. Di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.




Saatnya makan siang. Pak supir menyarankan kami agar mencicipi makanan khas setempat, yaitu Sambel Wader. Lokasi nya di jalan raya, sebrang kolam Segaran.

Wader merupakan ikan kecil, suka disebut ikan bilis yg hidup di air tawar atau sungai. Waktu zaman majapahit, warga trowulan menangkap ikan wader ini di Kolam Segaran untuk dijadikan santapan lauk sehari-hari. Biasa nya ikan wader di goreng kering dan disajikan bersama sambel tomat, tetapi sebelum di goreng, ikan akan di bersihkan dan di rendam dengan campuran bumbu-bumbu warisan.
Ikan nya Mirip Teri Tapi Lebih Besar. Rasa sambelnya, wah..., super maknyos dan muantap pedesnya... pokoknya kalau ke sana lagi, pasti yang nggak boleh ketinggalan adalah makan sambel wader. Rasa ikannya juga gurih, garing, sampai duri-duri kecilnya bisa dimakan, jadi nggak perlu
takut keselek duri. Disajikan dengan nasi hangat, hmm, tambah yummie deh...:)

Jadi, kolam Segaran itu merupakan kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi yang dahulunya digunakan sebagai penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk Majapahit.
Selain itu juga, menurut cerita bapak supir, dahulu kala di kolam ini ditemukan banyak perabotan yang terbuat dari emas murni, seperti piring, mangkuk, gelas, sendok, garpu, dan sebagainya.
Konon di kolam inilah para raja Majapahit akan membuang peralatan makan mereka setelah mengadakan pesta untuk menjamu para duta dan tamu kerajaan. Nah, biar dianggap kalau Majapahit itu adalah kerajaan yang kaya raya, dihadapan para tamu itu raja akan langsung memerintahkan para pelayannya untuk membuang peralatan makan yang baru saja mereka pakai ke kolam tersebut. Sekarang kolam Segaran oleh masyarakat sekitar digunakan sebagai kolam pemancingan. Ikan wader yang kumakan juga diambil dari kolam ini.

Setelah makan siang, kami berkunjung ke Museum Trowulan Di sana banyak terdapat arca peninggalan Majapahit, salah satunya adalah arca Gajah Mada. Ada juga miniatur rumah jaman Majapahit. Masih banyak lagi peninggalan-peninggalan sejarah di trowulan yg masih harus di gali dan dipugar. Sungguh, negeri kita ini benar-benar diberkahi bukan hanya dengan kekayaan alamnya, tapi juga situs-situs sejarahnya yang memukau. Sebagai warga negara Indonesia, aku sangat bangga dengan peninggalan-peninggalan sejarahnya yang kaya raya dengan ragam budaya dan agamanya.

Salah satu yang membuat kami terpukau juga adalah keberadaan patung Budha tidur yang sangat besar mirip di Thailand. Aku yakin, banyak orang Indonesia sendiri yang tidak mengetahui keberadaan patung raksasa ini. Di sinilah kita bisa membuktikan bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang memiliki toleransi tinggi. Meski di Trowulan sekarang sudah mayoritas beragama Islam, namun dengan keberadaan patung Budha tidur ini sudah membuktikan bahwa penduduk Trowulan hidup saling menghormati dan menghargai antara satu sama lain, meski berbeda kepercayaan.

Saatnya kembali ke hotel.
Kami mampir dulu untuk membeli rujak cingur pesanan pak Markus, salah satu teman pembicara, dan juga untuk teman-teman lainnya yang pastinya iri karena mereka harus tetap di hotel, sementara kami bisa keluyuran menikmati sejarah Trowulan, hehehe....

Sesampainya di hotel sekitar jam enam sore. Peserta training sedang waktunya istirahat dan makan malam. Nah, ternyata bukan aku saja yang membawakan teman-teman kejutan berupa rujak cingur, tapi diam-diam mereka juga sudah menyiapkan kejutan yang lebih mengejutkan lagi, khususnya buat aku.

Saat aku memasuki ruangan training yang sudah kosong, tiba-tiba serentak mereka menyanyikan lagu Jambrud, "Hari ini, hari yang kautunggu... bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu...". Lalu Rani membawakan sebuah kue muffin yang diberi lilin kecil, dan tante Erna menyuruhku untuk meniupnya...
Oh my God!!! Ternyata hari itu adalah hari ulang tahunku!!! Tepat tanggal 13 November...
Wah..., senangnya... Makasih ya teman-teman... kalian sudah menyempurnakan kegembiraanku hari itu...
Kemudian bos telepon dari Jakarta hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Waktu aku menanyakan kadonya, beliau menawarkan akan membelikan aku kaca mata hitam...
Hah..., kenapa nggak sekalian saja sama tongkat putihnya, bos, biar bisa langsung alih profesi jadi tukang pijat, hehehe...

Senin

Belajar Taat Dari Seorang Anak Kecil

"Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”  (Mat 18:3)

Terkadang, pikiran anak-anak yang polos, justru mampu membawa mereka kepada ketaatan yang sempurna. Dibandingkan kita yang mengaku sudah dewasa, dengan pikiran yang lebih dewasa, lebih benar, lebih tahu segalanya, malah sulit untuk sampai pada sebuah ketaatan yang semestinya. Pikiran orang dewasa yang terlalu kompleks, justru makin menjauhkan mereka dari hati Allah, dari kehendak Tuhan yang paling sederhana sekali pun!

Kemarin, hari Minggu malam, kami (Wiria, Glyn dan saya) pergi ke gereja untuk mengikuti Misa. Seperti biasa, sebelum Misa dimulai, tata laksana akan mengingatkan umat agar mematikan semua alat komunikasi dan tidak makan dan minum selama Misa berlangsung.

Tetapi saat di tengah-tengah Misa, tiba-tiba Glyn membisiki aku, “Mama, aku haus banget…, aku mau minum…”
Spontan aku membungkuk untuk mengambil botol minum yang ada di dalam tasku yang kutaruh di bawah kursi. Tapi kembali Glyn membisiki aku, “Tapi kan mama, tadi Romo bilang nggak boleh makan sama minum…”

Mendengar itu, tanganku yang sudah memegang botol minum langsung terhenti, dan aku pun mengangguk mengiyakan.Lalu inilah kata-kata yang keluar dari bibir Glyn, “Ya udah deh mama, aku nggak usah minum aja…”
Seketika itu juga, hatiku membuncah dengan rasa kagum luar biasa. Aku sungguh tak percaya Glyn rela menahan haus demi melakukan sebuah ketaatan kecil. Kuusap-usap punggung Glyn sambil balas membisikinya, “Kamu memang anak hebat, Glyn…”
Ternyata, hari itu aku belajar tentang arti ketaatan yang sesungguhnya bukan dari ahli teologi atau para pakar Alkitab, tetapi justru dari seorang anak berumur 5 tahun!

Terima kasih, Glyn... :X :)

Sabtu

Berlibur Ke Negeri Di Atas Awan Dan Pertapaan Rawaseneng

Akhirnya, kuinjakkan juga kakiku ke negeri di atas awan!

Tadinya, kami masih belum punya rencana apa pun untuk melewatkan liburan tahun baru. Lain lagi sama Glyn, dia memang sudah di tag jauh-jauh hari oleh grandmanya akan dibawa berlibur ke Manado.
Tapi ternyata aku mendapat tugas dari kantor untuk mengisi sesi training di Jogjakarta pada tanggal 26 Desember. Jadi kupikir, mending sekalian saja extend untuk mewujudkan impian kami yang belum kesampaian, yaitu pergi ke dataran tinggi Dieng.

Setelah berunding dengan suami, akhirnya kita sepakat untuk extend sampai tanggal 2 Januari. Alasan suami, supaya dia tak perlu lagi mendengar suara petasan yang memekakkan telinga. Jadi kami memutuskan setelah pekerjaanku selesai, besoknya kami akan langsung
pergi ke Dieng satu malam, dan selebihnya akan kami habiskan di Pertapaan Rawaseneng. Istilah suamiku sih, buat sekalian nebus 'obat gila', hehehe...

Kami pun mulai Googling jasa travel yang akan mengantar kami ke Dieng.
Dan kami menjatuhkan pilihan pada Putra Wijaya Tour. Dua hari satu malam dengan biaya 2,7 jt untuk 2 orang.
Ok, urusan travel sudah beres. Kami akan berangkat ke Dieng tanggal 27 pagi, dan travel akan menjemput kami langsung di hotel. Jadi sekarang kami harus mencari hotel di Jogja.
Ternyata high season semua hotel di Jogja fully booked, dan harganya sudah tidak masuk akal. Karena kantor hanya memberi kami budget 400 ribu untuk hotel, akhirnya kami menemukan hotel Brongto dengan biaya 500 ribu semalam.

====
26 Desember 2014
Kami berangkat ke bandara bareng Glyn, mami dan papiku yang juga akan berangkat ke Manado. Ternyata tanpa disengaja, jadwal keberangkatan dan kepulangan kami sama, 26 Desember 2014 - 2 Januari 2015. Pesawatnya pun sama, Batik Air. Tapi pulangnya beda, aku Citilink, sementara mereka Batik Air. Dan yang beda lagi adalah, pesawat kami dibayari kantor, sementara mereka bayar dewek, hehehe...

Tiba di Jogja jam 11-an, dijemput pak Erwin, staff dari perusahaan 'Setiawan Group' tempat aku akan mengisi training pada jam 2 siang nanti.
Di Mobil, pak Erwin menanyakan kami mau makan siang apa. Suami pun menjawab, "Lotek, pak!"
Mendengar permintaan suamiku yang mungkin tidak diduganya, pak Erwin sampai mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali, "Beneran, pak, mau makan lotek?"
Hehehe..., padahal pak Erwin sudah menawari kami makan di restoran, tapi suamiku malah milih makan lotek di warung pinggir jalan.
Akhirnya kami pun berhenti di warung lotek Colombo. Kata pak Erwin, ini adalah lotek terenak di Jogja. Dan memang betul, suami komentar kalau loteknya uenak tenan...

Setelah itu, kami langsung menuju jalan Magelang, tepatnya ke Restoran Pringsewu, tempat training akan dilaksanakan. Aku diperkenalkan dengan pemilik perusahaan tersebut yang bernama pak Andi beserta isteri. Kemudian kami dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di sana sudah berkumpul para karyawan Setiawan group yang akan mengikuti sesi training, jumlah mereka sekitar 60 orang.

Waktu masuk ke ruangan itu, aku sudah merasa pengap, mungkin karena AC-nya baru dinyalakan. Tapi ternyata AC-nya memang bermasalah. Jadi sepanjang training kami kepanasan, lebih-lebih aku yang harus berbicara di depan, benar-benar basah kuyub. Tentu saja ruangan panas sangat mengganggu konsentrasi kami. Tapi apa pun yang terjadi, aku harus tetap menjalankan tugasku dengan semaksimal mungkin, berusaha membangun suasana agar tetap kondusif.

Puji Tuhan, akhirnya training pun selesai, semua peserta tetap mampu mengikuti sesi demi sesi dengan penuh perhatian, bahkan banyak dari mereka yang menangis. Mudah-mudahan menangisnya bukan karena kepanasan, hehehe...

Sekitar jam 7.30, sehabis makan malam, pak Erwin pun kembali mengantar kami sampai ke hotel Brongto. Waktu aku tanya ke resepsionisnya, "Apa itu arti dari kata 'Brongto'?"
ternyata artinya 'cinta', diambil dari bahasa Sansekerta.

Okelah, kami ternyata tidur di kamar 'cinta'. Tapi saking cintanya, sepanjang malam kami tidur sambil diiringi suara berdenging mirip mesin pesawat yang berasal dari kamar mandi. Waktu dicek, sumber suara itu berasal dari keran air panas yang mungkin dikarenakan tekanannya terlalu tinggi, jadi menimbulkan suara berdenging yang luar binasa bising.
Yah, tapi kami harus tetap bersyukur... Setidaknya kami masih kebagian tempat untuk melewatkan malam. Karena waktu kami check in, ada seorang bapak juga yang ingin memesan kamar, tapi resepsionis bilang kalau semua kamar sudah penuh... :)

====
Besoknya, jam 7.30 pagi, travel sudah datang menjemput kami. Selesai sarapan, kami pun memasuki mobil Xenia putih, dengan pemandu perjalanan kami bernama Mas Adit, dan bapak supir bernama pak Yono. Jarak dari Jogja ke Dieng akan ditempuh selama 4 jam.
Sampai di Wonosobo, kami berhenti dulu untuk menikmati santapan khas setempat yang bernama mie Ongklok: Mie kuah yang diberi sayuran, ditemani dengan sate sapi, tempe kemul dan geblek, semacam makanan yang terbuat dari singkong. Sayangnya waktu aku datang, gebleknya gak ada, yang ada geubleug, hehe... (itu mah bahasa sunda atuh)

Ongklok ternyata memiliki arti sendiri. Disebut mie ongklok karena sebelum disajikan mie ini diramu dengan sayuran kol segar dan potongan daun kucai. Kol dan daun kucai merupakan sayuran khas Wonosobo.
Kucai sendiri adalah daun yang terkenal sebagai penurun darah tinggi.
Setelah dicampur di sebuah gayung dari bambu, campuran mie dan sayuran tadi dicelup-celupkan selama beberapa menit di air mendidih.
Inilah yang disebut diongklok. Mie secara berulang-ulang dicelupkan di air mendidih. Cara pembuatan mie seperti ini hanya ada di Wonosobo.


Hanya beberapa menit, mie dan campuran sayuran tadi ditaruh di mangkuk dan diguyur kuah. Kuah mie ongklok inilah yang terkenal khas. Kuahnya berasal dari pati yang dicampur gula jawa, ebi, serta rempah. Supaya rasanya lebih maknyus, mie ongklok diguyur juga oleh bumbu kacang, merica dan bawang goreng.
Sementara kata Mas Adit, tempe kemul juga punya arti sendiri. Kemul itu artinya diselimuti. Makanya tempenya diselimuti tepung biar anget, hehe...

Sebelum sampai Dieng, kami mengunjungi dulu home industri pembuatan carica, sejenis pepaya yang berukuran kecil. Buah ini hanya tumbuh di Dieng. Dibuat menjadi manisan, rasanya sangat enak dan manis. Apalagi kalau habis ditaruh di kulkas, wah tambah maknyos...:)
Di sana juga kami membeli kacang Dieng, keripik jamur dan yang gak boleh ketinggalan; Purwaceng. Purwaceng itu sejenis tanaman ginseng yang tumbuh di Dieng, khasiatnya selain untuk kesehatan, tapi juga yang paling terkenal, sesuai namanya, yaitu untuk membuat para lelaki makin ngejoss hehehe...

Perjalanan pun berlanjut. Mobil terus menanjak menuju ke dataran yang semakin tinggi. Dan akhirnya sampailah kami ke Negeri di atas awan, alias dataran tinggi Dieng.
Wah, ternyata cuaca Di Dieng pada bulan Desember sangat tidak bersahabat.
Hujan teruuuus tiada henti... Hawa yang sudah dingin, makin menusuk karena di sertai hujan dan angin.

Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Telaga Menjer. Telaga yang memiliki pemandangan sangat cantik, katanya, aku sih cuma bisa ngebayangin doang, hehehe... Tapi sayangnya, hujan yang turun membuat pemandangan di sekitar telaga tertutup kabut. Setelah itu, kami mampir dulu di warung kecil untuk sekedar menghangatkan badan dengan minum segelas purwaceng, wedang jahe dan sepiring kentang goreng.

Tempat wisata selanjutnya adalah candi Arjuna. Di sana kami berfoto bersama para penari yang biasa menari di acara ruwatan gembel atau ritus pemotongan rambut gimbal. Aku dikasih ijin oleh para penarinya untuk meraba-raba pakaian mereka... Untung gak salah raba, hehehe...
Kemudian kami beranjak ke teater Dieng Plateau untuk menonton sejarah terjadinya Dieng. Nah, kalau di sini sih, tepatnya cuma Wiria yang nonton, sementara aku cuma mendengarkan cerita yang dipaparkan Wiria. Tapi sayang, baru nonton setengah jalan, tiba-tiba listrik mati. Kata penjaganya sih, ada batang pohon yang tumbang, jadi film tidak bisa diterusin. Tentu saja para penonton kecewa... Serentak kami pun berteriak, "Huuuuuuu....."
Karena hari sudah sore, dan hujan yang tiada henti, maka kami pun memutuskan untuk langsung ke penginapan dulu.


Penginapan di sana ternyata hanya berupa rumah penduduk yang disewakan.
Satu rumah bisa terdiri dari beberapa kamar. Kami kebagian kamar di lantai dua, dengan kamar mandi di dalam. Huff, rasanya nikmat sekali badan ini setelah mandi air panas dan boboan sambil selimutan.

Tadinya kami sudah janjian untuk keluar lagi makan malam, tapi berhubung hujan yang tak juga kunjung berhenti, ditambah hawa yang semakin dingin dengan suhu mencapai 9°C, aku memutuskan untuk order makanan saja, biar bisa makan di penginapan. Benar-benar salah tanggal. Seharusnya waktu terbaik berkunjung ke Dieng adalah pada bulan Juni - Agustus, pas musim kemarau.
Selain banyak acara tradisional yang digelar, tapi paling penting adalah gak perlu ribet sama hujan. Meski katanya di musim kemarau, hawa Dieng malah lebih dingin dari pada di musim hujan. Tapi mendingan dingin dari pada hujan terus, setidaknya kalau gak hujan kita bisa lebih leluasa untuk pergi ke mana-mana, dan yang terpenting pemandangan di sekitar Dieng tidak tertutup kabut.

Semalaman hujan gak bosan-bosannya turun membasahi Dieng. Dengan anginnya yang semakin kencang, membuat atap seng yang berada entah di mana terus mengeluarkan suara gedebugan. Aku berpikir, "Orang-orang Dieng sudah biasa kali ya dengan suara-suara kayak gini... Gimana kalau sampai rumahnya rubuh, gara-gara terus-terusan diterpa angin yang kencang kayak gini?...
Ah, tapi apa pun yang terjadi, terjadilah. Yang pasti, malam ini aku harus bisa tidur, karena perjalanan masih panjang. Jangan sampai acara jalan-jalannya berantakan, gara-gara terkapar karena sakit."

Besoknya, penginapan menanyakan kepada kami ingin sarapan apa. Karena hawa yang super duper dingin, akhirnya kami memilih mie instan kuah saja, biar dimakan hangat-hangat.
Perjalanan pun kembali dilanjutkan. Kali ini Mas Adit membawa kami berkunjung ke Telaga Warna. Di sana kami menelusuri jalan-jalan setapak yang kadang menanjak, tapi juga kadang menurun. Untung suamiku sudah mahir dalam teknik menuntun tunanetra, jadi aku tetap merasa aman dan nyaman, walaupun seandainya harus menuruni jurang terjal sekali pun, yang penting Wiria tetap berada di sampingku, hehehe... lebai ya??? :D
Pertama-tama kami diperlihatkan telaga yang disebut Telaga Warna.

Nama Telaga Warna sendiri diberikan karena keunikan fenomena alam yang terjadi di tempat ini, yaitu warna air dari telaga tersebut yang sering berubah-ubah.
Terkadang telaga ini berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi.
Fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar Matahari mengenainya, maka warna air telaga nampak berwarna warni.

Telaga Warna berada di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut, dan dikelilingi oleh bukit-bukit tinggi yang menambah pesona keindahan alam sekitar.
Suasana mistisnya juga masih terasa  kental sekali, disempurnakan oleh kabut putih dan pepohonan yang rindang dengan gua-gua disekitarnya, seperti :
Gua Semar. Di sini kami berfoto di samping patung Semar yang berada di depan Gua...:)

Ada juga Gua Sumur Eyang Kumalasari dan Gua Jaran.
Gua jaran ini disebut jaran yang artinya kuda, karena konon di gua ini terjebak seekor kuda betina, dan waktu keluar, tiba-tiba saja kuda ini sudah hamil. Makanya gua ini dipercaya bisa membuat para wanita yang sulit hamil bisa segera mengandung.

Selain itu, ada pula Batu Tulis Eyang Purbo Waseso.
Nah ini dipercaya bisa membuat anak-anak cepat menguasai baca tulis. Makanya banyak orang tua yang memasang sesajen di sekitar arca ini. Dan juga gua-gua lainnya. Katanya, konon salah satu presiden Indonesia juga pernah semedi di salah satu gua tersebut.

Aku membeli bunga Edelweis yang dijajakan para ibu-ibu di depan pintu masuk Telaga Warna, harganya dari 15.000, aku tawar menjadi 10.000 + sewa payung 5.000, jadi kocek yang kukeluarkan tetap saja sebesar 15.000...:)
Sebenarnya Suami sudah melarang aku membeli bunga tersebut. Katanya bunga itu sudah dilindungi karena kelangkaannya, tapi aku tetap saja ngeyel...
Maap ya, sayang... Habis kapan lagi bisa punya bunga langka seperti ini...
Semoga bunga ini juga bisa melambangkan cinta kita yang abadi, hehehe...

Tempat selanjutnya adalah Kawah Sikidang. Di sini kami hanya melihat kawah yang mengandung belerang. Makanya dari turun mobil saja, kami sudah dipepet para pedagang yang menawarkan masker seharga 2.000 rupiah untuk menutup hidung kami dari bau belerang yang menyengat.

Kenapa kawah ini dinamakan Kawah sikidang?
Karena katanya kolam magmanya sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di sekitaran Wilayah tersebut, mirip hewan Kidang atau Kijang yang suka melompat-lompat.
Dari situ, kami lanjut ke candi Bima. Di sini hanya suami saja yang turun untuk sekedar berfoto.

Karena pak Yono menyinggung tentang nasi jagung khas Dieng, akhirnya aku meminta mereka untuk mencarikan aku nasi jagung tersebut. Untunglah kami bisa mendapatkannya di pasar Dieng. Kalau nggak, pasti aku akan penasaran terus sama rasanya...:)
Ini keberuntungan kami. Ternyata pak Yono itu adalah salah satu petinggi di pabrik teh Tambi, akhirnya kami mendapat akses langsung untuk masuk ke pabrik tersebut, melihat cara pembuatan teh dari masih berupa daun sampai menjadi teh yang siap di pasarkan.


Tibalah saatnya kami harus beranjak dari negeri di atas awan, kembali turun ke bumi.

Sesuai kesepakatan semula, kami akan diantar sampai ke Rawaseneng.
Dalam perjalanan menuju Rawaseneng, kami beberapa kali berhenti di tempat-tempat wisata, seperti Jumprit di daerah Temanggung. Jumprit diyakini sebagai petilasan Ki Jumprit yang merupakan ahli nujum di kerajaan Majapahit. Makamnya pun berada tak jauh dari Umbul Jumprit.

Banyak peziarah yang melakukan wisata spiritual di Makam Ki Jumprit di dekat Umbul Jumprit ini. Mereka bersemedi di sekitar makam, kemudian diakhiri mandi kungkum di mata air yang tak pernah kering. Setelah mandi, mereka pun langsung membuang celana dalamnya, katanya untuk membuang
sial. Untung suamiku gak ikut-ikutan buang celana dalamnya. Kalau gak, bisa pusing ogut harus cari toko yang jual celana dalam di dekat-dekat situ, hehehe... Apalagi di Jumprit banyak monyetnya. Gimana kalau nanti ada monyet yang tertarik mmencoba celana dalamnya?? Terus monyetnya
bilang deh, "Wah, mereknya Ihing euy!!!" :D

Terakhir kami mengunjungi Liyangan, sebuah daerah yang masih dalam proses ekskavasi, karena ditemukan candi yang diperkirakan berukuran sangat luas.

Setelah itu kami makan siang di kota Temanggung, dan akhirnya sampailah
kami di Pertapaan Rawaseneng, tempat biara para rahib OCSO dan susteran
OP. Di sinilah kami akan menghabiskan masa liburan kami sampai tanggal 2
nanti. Berarti masih ada sisa lima hari kami habiskan di tempat yang sudah sangat kami rindukan ini, karena di sinilah kami akan direparasi kembali; yang sudah rusak dibetulkan, yang sudah mulai sinting diwaraskan kembali, hehehe...

Karena kamar di pertapaan sudah fully booked, akhirnya kami pun menginap di susteran. Bagai langit dan bumi, di susteran yang menginap hanya kami dan seorang bapak dari Singapura.

Setiap hari kami berusaha untuk mengikuti jadwal ibadat para rahib di
pertapaan, yaitu sebanyak tujuh kali sehari. Di mulai dari jam 3.30 pagi, 6.00, 8.00, 12.00, 14.30, 17.30 dan ditutup jam 20.00.

Walau kami harus berjalan cukup jauh dari susteran ke pertapaan, ditambah jalan yang menanjak, membuat betis makin berotot, namun kami merasa bahagia sekali dapat mengikuti ibadat demi ibadat tersebut dengan teratur.
Beberapa kali kami juga mengikuti ibadat bareng suster-suster di Susteran.

Suasana yang sangat hangat, membuat kami cepat akrab dengan para pengunjung lain. Diantaranya adalah pak Budi yang akhirnya menawarkan kami untuk nebeng mobilnya saja waktu nanti pulang ke bandara Adi Sucipto, .
Jadi kami sama sekali tidak perlu lagi mengeluarkan biaya sepeser pun untuk taksi atau travel yang seharusnya bisa menghabiskan biaya sebesar 450.000 - 500.000. Tuhan memang berbaik hati pada kami; sudah memberikan liburan yang menyenangkan, ditambah lagi ongkos gratis
ke bandara, hehehe...
Sahabat lainnya yang kami temui selama di sana juga adalah Frater Fol dari Malang. Frater yang kocak, heboh, namun tetap memiliki karisma sebagai seorang frater yang mengabdikan dirinya pada Tuhan dan sesama. Aku juga bertemu teman dari Laetitia, yaitu ko Yan dan bu Eli.

Wah, pokoknya, liburan kami kali ini benar-benar super duper menyenangkan. Benar-benar refreshing lahir batin. Belum lagi makanannya yang uenak-uenak, membuat perut kami, khususnya ogut jadi mirip jin tomang, hehehe...

Aku juga ikut membantu suster Marta membuat kelanting di kantin sekolah yang dikelola oleh suster-suster OP. Letaknya persis di sebelah klinik.
Menurut cerita suster Vianita, klinik itu memang dibuat untuk membantu masyarakat sekitar yang kurang mampu. Jadi mereka boleh membayar semampunya saja. Kebanyakan hanya membayar sebesar seribu rupiah.
Sementara untuk sekolah, perbulannya hanya dikenakan sepuluh ribu rupiah.

Kami juga berkunjung ke pabrik kopi yang dikelola para rahip di sana.
Frater Valen membuatkan kami secangkir kopi, tapi aku bilang kalau aku tidak mau, jadi cukup untuk Wiria saja. Tapi waktu aku mencicipi kopi  punyanya Wiria, malah jadi keterusan. Rasanya benar-benar nikmat. Entah karena lapar, atau memang kopi buatan Frater Valen memang spesial?
Melihat itu, Frater Valen sampai menertawaiku, "Nah, tadi kamu bilang nggak mau...
Jadi jangan salahin saya lho kalau cuma dibuatkan satu cangkir saja..." :)

Yah, inilah kisah liburanku bersama suami. Sayang Glyn tidak ikut kami.
Lain kali, kami harus kembali lagi ke sana bersama Glyn, biar Glyn juga bisa menikmati sukacita yang sama seperti yang kami rasakan selama kami di sana.
Walau ini adalah kedatangan kami yang entah sudah ke berapa kalinya ke Rawaseneng, tapi hati kami tetap saja rindu untuk datang kembali ke sana.
Sepertinya keheningan dan kedamaian Rawaseneng terus memanggil-manggil kami untuk kembali lagi dan lagi dan lagi ke sana...:)