Kamis

O Mawar

Hai Mawar,
mengapa engkau tetap cantik, meski terik mentari menerpamu?
Mengapa engkau tetap menebarkan keharuman,
meski hujan membasahi sekujur tubuhmu?

Maukah kau bagikan keindahanmu pada rumput kering di sekitarmu?
menaungi mereka dengan kelopakmu yang mengembang,
dan melindungi mereka dari serangga yang rakus dengan duri-duri kecilmu?

O, mawar yang menawan,
andai saja hatiku memiliki sedikit dari kecantikanmu,
dan mampu menebarkan sedikit dari keharumanmu,
maka pastilah indah dunia di sekelilingku!

Hati yang cantik bagai sekuntum mawar:
semarak keindahan menyebar hingga ke gubuk-gubuk cinta;
Merambat hingga ke pagar-pagar jiwa yang mengelupas.
Tanah retak bersatu kembali;
rumput kering pun bersenandung riang!

Keharuman jiwa terpancar gemilang,
dari sentuhan para mawar di sekeliling mahkota hati,
beraneka warna, cantik memukau!

O, mawar nan rupawan,
maukah kau tumbuh di ladang hatiku?
bersemi indah, mekar dalam kebaikan?

Ya, ratu keindahan,
andai saja hatiku memiliki sedikit dari kecantikanmu,
dan mampu menebarkan sedikit dari keharumanmu,
maka pastilah indah dunia di sekelilingku!

Rabu

Katanya Aku Kurang Iman

Suatu ketika, aku mengikuti sebuah KKR penyembuhan di Bandung. Banyak sekali orang yang hadir, mungkin mencapai ratusan, atau mungkin juga ribuan.
Mereka membawa serta saudara-saudara mereka yang sakit. berbagai jenis orang memenuhi tempat itu, dari yang cacat fisik, seperti lumpuh, buta, tuli, hingga ada yang terkapar karena sakit parah.
Dan aku berada di tengah-tengah kerumunan orang banyak itu.
Aku buta. Ya, aku termasuk pasien yang memerlukan penyembuhan di sini!

Sebagian besar dari orang banyak itu bukanlah saudara-saudaraku seiman. Banyak dari mereka yang bukan orang Kristen, malah mereka mengikuti KKR ini dengan masih menggunakan atribut keagamaan mereka. Mereka ikut berdoa bersama kami, dan berharap juga mendapatkan kesembuhan.

Dari kecil, aku selalu ditekankan oleh orang tuaku, dan juga oleh para pendeta yang mendoakanku agar memiliki iman yang teguh, tidak goyah sedikit pun. Dan jika kesembuhan itu tidak juga terjadi padaku, maka mereka akan menegurku dengan berkata :
"Kamu kurang beriman!"

Malah ada seorang pendeta yang berkata kalau kebutaanku ini karena kutuk nenek moyang!
Kenapa jadi nenek-nenek dibawa-bawa?
Apa salah nenek moyangku, sehingga sampai aku yang harus menanggungnya?
Bagaimana dengan ayat dalam Yohanes 9 : 1-3?

Aku sering merenung seorang diri:
"Apa sebenarnya ukuran dari sebuah iman itu?"
"Apa benar penyebab mataku belum disembuhkan Tuhan, karena aku kurang beriman?"

Ketika tiba pada saat acara penyembuhan, kepalaku semakin menunduk. Aku semakin kusyuk berdoa. Aku memohon kepada Tuhan dengan segenap hatiku agar sudi menoleh kepadaku dan menyembuhkan mataku.
Tapi sementara sudah banyak orang yang disembuhkan, bahkan mereka yang bukan Kristen pun memperoleh kesembuhan, mataku masih juga belum dapat melihat.

"Bagaimana ini? apa imanku masih belum cukup? masa iman mereka yang bukan Kristen malah lebih besar dari imanku?"

Hatiku jadi galau dan teramat sedih. Ini sering kualami setiap aku pulang dari sebbuah KKR penyembuhan. Aku pulang bukan membawa berkat sukacita, tetapi rasa bersalah dan tertekan karena merasa Tuhan tidak menyayangiku. Tuhan tidak berkenan mendengar seruanku. Tuhan tidak peduli kepadaku, kepada seorang anak buta yang kurang iman sepertiku.
Semakin lama, aku semakin merasa capek untuk mengikuti KKR penyembuhan semacam ini lagi. Kalau bukan karena kemauan orang tuaku, (yang kutau, sangat menyayangiku dan sangat mengharapkan mataku sembuh), aku tak nanti ikut acara seperti ini lagi.
Aku pernah bertanya kepada teman-teman tunanetra lainnya tentang perasaan seperti ini, dan ternyata mereka pun merasakan hal yang sama.

Kalau aku kurang iman, seperti yang mereka katakan, mengapa sampai sekarang aku masih tetap percaya pada Tuhan?
mengapa aku tetap berdoa pada Tuhan, padahal Dia tak juga menyembuhkan mataku?
mengapa juga aku tetap pergi ke Gereja, kalau imanku selalu mendapat nilai minus?
Mengapa hatiku tak bisa membenci Tuhan, atau sebisa mungkin memusuhi-Nya, dan berusaha untuk menjauhi-Nya?
Mengapa aku malah semakin mencintai-Nya?
Bukankah imanku terlalu tipis, setipis kertas-kertas Alkitab?

KKR pun selesai!
namun aku tetap saja harus berjalan sambil dituntun orang kalau tidak mau tersandung dan kepala benjol!

"Kenapa ya Tuhan kok malah menyembuhkan anak tetangga, bukannya anak sendiri?" kalimat pertanyaan ini pun meluncur dari bibir mamiku, ketika kami sudah berada kembali di dalam mobil.

"Karena Tuhan tau, meski pun Rachel tidak disembuhkan, dia akan tetap percaya. Sementara mereka itu membutuhkan tanda!" jawaban yang sederhana ini keluar dari bibir sahabatku, dan merupakan suluh bagi hatiku yang mendung, kelelahan menanggung beban, hingga sesak tak terbilang.

Sesungguhnya, Tuhan telah mendengar seruanku. Buktinya Dia menjawab segala kebingunganku melalui bibir sahabatku!

Kini, setiap kali aku bersaksi, aku akan menyerukan sebuah kalimat sebagai penutup kesaksianku :
"Kalau Tuhan mau, detik ini pun aku percaya Tuhan sanggup menyembuhkan mataku. Tetapi janganlah kehendakku yang terjadi, melainkan biarlah kehendak Tuhan saja yang terjadi dalam hidupku. Karena Tuhan tau yang terbaik bagiku!"

"Biarlah orang lain memperoleh terang melalui kegelapanku!"

====