13 - 16 Mei 2010
Pertapaan St. Maria Rowoseneng...
aku pergi dan akan kembali;
semoga kasih dan kesetiaanmu terus menggema hingga ke kota Jakarta,
keheningan dan kesederhanaanmu akan menjadi kerinduanku.
***
Hari Kamis, jam 07.00 malam, akhirnya aku dan suami menginjakan kaki kembali di pertapaan St. Maria Rowoseneng. Ini merupakan yang kedua kalinya buatku pribadi berkunjung ke tempat ini.
Sekarang, semuanya tampak sangat berbeda, bukan berbeda karena kebetulan pertapaan sedang dibangun, tetapi terlebih karena sekarang aku datang bukan lagi sebagai seorang anti Katolik yang membenci Maria dan tata ibadah mereka, melainkan sebagai seorang Katolik yang memboyong rasa rindu akan persatuan dengan Kristus setiap saat dalam Ekaristi kudus.
Waktu pertama kalinya aku menginjakan kaki ke tempat ini, yaitu saat datang bersama teman-teman Legio Maria, aku sama sekali tidak dapat menikmati tempat ini, apalagi ketika mengikuti jam-jam ibadat para rahib. Sebisa mungkin, aku menghindarkan diri dari setiap ibadat mereka yang cuma bisa membuatku jenuh, bengong nggak karuan, kayak anak kucing tersesat di dalam kandang sapi!
Selain itu, lagu-lagu yang mereka nyanyikan juga terdengar sangat menyeramkan di telingaku yang terbiasa mendengarkan lagu berirama pop, jazz, bahkan dangdut kedengarannya jadi jauh lebih baik dari pada mendengarkan lagu mereka yang nggak jelas iramanya, bikin mata merem melek, bukan karena menikmati, tapi karena menahan kantuk.
Jujur saja, waktu itu, aku sangat tersiksa setiap kali mengikuti ibadat mereka. Mau nggak ikut, takut ditinggal sendiri, karena semua teman-teman, berikut suamiku yang pada saat itu masih menjadi kekasihku, ikut menghadirinya. Jadi mau nggak mau aku pun ikut, dari pada ditinggalkan sendirian di dalam kamar!
Saat ibadat malam, ketika lampu dimatikan dan hanya ada satu lampu yang tetap dibiarkan menyala, yaitu lampu yang menyorot pada ukiran Bunda Maria yang melingkari Tabernakel, lalu para rahib mulai menyanyikan lagu yang menyebut-nyebut tentang bunda Maria,tubuhku tiba-tiba saja merinding, bukan karena merasakan hadirat Tuhan, tapi lebih karena aku merasa ngeri sendiri: "Maria kok disembah!" (itu pikiranku dulu, akibat otakku yang kukunci sedemikian rapat, hingga gelap gulita dan pengap karena kekurangan oksigen!!!... Untung saja Tuhan masih bersedia mendobrak pintu diotakku, sehingga aku tak jadi mati lemas karena kehabisan hawa segar, dan membiarkan cahaya masuk serta menjadikan otakku terang benderang)
Yang cukup membuatku terhibur dan sedikit dapat kunikmati waktu kunjungan pertama kali itu: ya, cuma susu sapinya!!
Tapi, kemarin, ketika aku dan suamiku kembali datang ke tempat ini, perasaanku sungguh jauh berbeda. Hatiku sungguh dipenuhi sukacita dan rindu yang meluap-luap. Aku berjanji pada diriku sendiri agar sebisa mungkin jangan sampai ada satu ibadat pun yang terlewatkan!
Meski kelopak mata masih terasa berat karena harus menghadiri ibadat yang jam 3.30 pagi, aku dan suami tetap memaksa diri untuk masuk Kapel minimal 15 menit sebelumnya, walau pun itu berarti kami harus kucek-kucek mata, lompat-lompat, lari keliling pertapaan, malah kalau perlu sampai mandikan sapi dulu agar bisa membuat mata terbuka lebar dan pikiran segar bugar!
Telingaku juga tiba-tiba saja bisa sangat menikmati lagu-lagu mereka yang nadanya sulit diikuti, karena banyak lekak-lekuknya, namun terdengar indah dan menenangkan. Sebisa mungkin aku ikut bermazmur bersama mereka, walau pun hasilnya aku malah menciptakan nada-nada sendiri. Tapi yang pasti, aku sungguh merasakan kasih Tuhan membasuh dan menyelimuti seluruh jiwaku, dan menyulut api cintaku kembali berkobar dengan dahsyatnya!
Aku selalu menantikan jam-jam ibadat mereka, terutama Misa yang jam 06.00 pagi, di mana aku bisa makan tubuh dan minum darah Tuhanku.
Sungguh hari-hari yang sangat menggembirakan. liburan yang sangat bermanfaat, benar-benar refreshing lahir batin!!
Saat ibadat malam, di mana tubuh kami akan segera berbaring di peraduan untuk melepas penat, dan para jangkrik mulai berceloteh menceritakan tentang keagungan Tuhan, kami pun kembali menyanyikan mazmur bagi Tuhan untuk yang ke sekian kalinya dalam satu hari ini. Setiap kata-kata dalam mazmur terasa mengalun begitu syahdu, indah bagaikan sepasang mempelai yang hendak memasuki kamar pengantin yang harum , ceria dengan bunga-bunga bertebaran di segala sudut, dan hangat bagaikan berada dalam dekapan kekasih.
perasaanku menjadi aman dan damai ketika Romo Abas memerciki air suci kepada kami satu per satu. Apa pun yang akan terjadi pada kami ketika malam berpatroli mengintip di sela-sela mimpi-mimpi kami, hati kami akan tetap berjaga bersama dengan Kristus!
Dan, apabila Tuhan memanggil kami pulang, meski saat kami terlelap sekali pun, kami sudah siap, bagaikan tentara perang yang siap sedia bertempur!!
Ketika lagu Salve Regina berkumandang, walau aku tak bisa ikut bernyanyi karena belum hafal kata-katanya, namun aku merasa seperti sedang dikeloni seorang ibu yang jari-jemarinya laksana sutra lembut membelai tiap helai rambutku, tatapannya memancarkan kasih yang meneduhkan seluruh jiwa ragaku. Sambil bibirnya tak lelah menyenandungkan lagu cinta, hingga akhirnya aku jatuh terlelap dalam senyuman.
Sungguh manis, semanis madu yang dijual di pertapaan Rowoseneng!
Sangat murni, semurni susu sapi yang selalu kunikmati setiap sarapan!
Luar biasa nikmat, senikmat masakan yang dibuat para Romo untuk mengisi perut para tamunya!
Oh..., alangkah indahnya Tuhanku...
indah bagaikan untaian mawar yang tengah mekar berkembang.
Suara dentang loncengmu menggema dengan merdunya, seperti seekor sapi yang memanggil para penjaga untuk bergegas mengantarkan makanannya.
Keheninganmu terasa sangat menentramkan, tenang bagaikan tempat peristirahatan para Rahib yang telah berpulang ke keabadian.
tenang..., teduh...,
harum..., seharum kue keju yang masih dalam oven pemanggang.
Oh..., alangkah menyejukannya kasih Tuhanku...!!!