Kurang lebih 3 Minggu yang lalu, waktu lagi bongkar kamarku di Sunrise, ko Wiria menemukan sepucuk surat yang merupakan tugas kuliahku. Jadi waktu itu, dosenku menugaskan kami untuk membuat contoh surat yang berisi curahan hati, semacam konseling yang dilakukan lewat surat.
Nah, karena pas itu aku lagi pacaran sama cowok tunanetra, dan orang tuaku, plus popo juga, nggak menyetujui hubungan kami, karena katanya tunanetra dilarang kawin sama tunanetra, nanti bisa tubrukan. benjol deh!! hehehe..., itu mah cuma versi aku aja lho...
Makanya tanpa pikir panjang lagi, langsung aja kutulis surat dengan nama penerima : "Mami".
Tanpa permisi sama yang empunya surat, ko Wiria maen langsung aja nyodorin surat itu ke mami, sambil ngomong :
"Mi, coba baca deh, pasti bisa buat mami nangis tuh!"
Saat denger perkataan ko Wiria, aku sempet bengong sesaat, berpikir-pikir benda macam apakah yang bisa bikin mami nangis?
"Ayo Mi, bacain si Rachel juga!" kata ko Wiria lagi sambil mesem-mesem kayak anak kucing abis cukuran.
Mami membuka surat itu dan mulai membacanya dengan suara lantang.
Semakin aku dengerin kata-kata yang tertulis di surat itu, semakin keningku berkerut. otakku berputar-putar makin cepat, mencari-cari alasan kenapa, di mana, dan kapan aku pernah menulis surat semacam itu.
Isinya bener-bener bikin aku dan ko Wiria, mungkin juga termasuk papi yang lagi baringan di atas tempat tidur, ikut ngakak-ngikik kayak anak kecil ngetawain temennya yang ketahuan ngompol dicelana.
Tapi lama-kelamaan, kata-katanya makin menjurus pada persoalan pribadiku. bener-bener danger!
harus segera dihentikan!
mukaku mulai memerah, mungkin hampir menyerupai pantat monyet. Sementara otakku belum juga menemukan jawaban atas hari dan tanggal tercetusnya surat konyol macam ini.
Tadinya aku berpikir kalau itu mungkin buku diariku yang sudah lama sekali terbengkalai, sudah lumutan, berbau apek, dan sangat kekanak-kanakan. Soalnya sejak kuliah aku udah nggak pernah lagi tulis-tulis buku diari, bukan karena males nulis lho..., tapi..., ya ada juga sih malesnya, hehehe...
Tapi buat hal ini, khususnya, lebih dikarenakan mataku yang nggak memungkinkan lagi dipergunakan untuk menulis dalam huruf awas, meski nulisnya menggunakan monitor CCTV yang memang dirancang khusus bagi penderita lowvision kayak kasusku ini.
CCTV ini udah kumiliki sejak aku SMP. Dulu aku masih bisa membaca atau menulis huruf awas dengan menggunakan alat ini.
CCTV ini bentuknya seperti monitor komputer, tapi di bawahnya di tambahkan semacam alat proyeksi yang bisa memperbesar tulisan sampai seukuran jengkol.
Tahu jengkol kan? :-)
Itu lho, yang katanya bau. yang suka bikin orang jadi keleyeran, terus pingsan deh, kayak abis kopi darat sama hantu gentayangan. hehehe...
Pokoknya kurang lebih sebesar itulah huruf yang muncul di layar CCTV.
Jadi, kalo aku mau baca atau menulis, tinggal aku taruh aja bukunya di bawah layar monitor CCTV tersebut.
Kebayang nggak sih??
Bingung ya??
hehehe..., ya udahlah, jangan terlalu dipikirin, dari pada nanti migren, mendingan kita dengerin cerita Rachel selanjutnya!
Jadi, isi surat itu kurang lebih seperti ini :
"Mami tersayang, aku tahu kalau mami sayang sama aku. Mami selalu memberikan yang terbaik buatku. banyak sekali pengorbanan mami yang sudah mami lakukan demi aku, demi masa depanku. Bagaimana mami dengan gigih terus memperjuangkan pendidikanku sampai aku bisa kuliah seperti sekarang ini. bagaimana mami tetap menyayangiku meski aku adalah seorang anak cacat.
Mami menghibur aku waktu aku putus cinta untuk yang pertama kalinya. Mami selalu ada kapanpun aku membutuhkan sandaran untuk mengembalikan kekuatan yang sejenak meluntur dari diriku.
Aku juga tahu kalau mami mengharapkan agar aku mendapatkan pasangan hidup yang terbaik.
Tapi mam, apakah mami tahu tentang perasaanku?
Tentang ketakutanku menghadapi cowok normal, dan bagaimana menghadapi sikap keluarganya yang mungkin menolak kehadiranku?
Aku nggak mau lagi disakiti untuk yang kedua kalinya!
Aku mengerti mengapa mami tidak mengijinkanku untuk berpacaran dengan cowok tunanetra.
Aku juga tahu mengapa mami sangat mengharapkan aku mendapatkan cowok awas. Itu supaya ada yang menjaga dan menolongku.
Tapi mam, tolonglah untuk mengerti perasaanku menyangkut hal yang satu ini.
Aku sama sekali nggak pernah bermaksud menyakiti atau mengecewakan mami. aku sangat menyayangi mami.
buatku mami bagaikan mentari yang bersinar di tengah kegelapan.
bagaikan percikan air hujan di tengah musim kemarau yang berkepanjangan. Begitu menyejukan, menyegarkan, dan selalu mampu untuk mengembalikan senyumanku yang telah memudar karena kepedihan yang kurasakan.
Mami juga bagaikan sebatang tongkat yang kuat dan kokoh, yang senantiasa menopang tubuhku, sehingga aku bisa tetap berdiri tegak, tidak membungkuk dan jatuh, apalagi sampai terjerembab.
..........."
Yah, kurang lebih seperti itulah isi suratnya. Tentunya surat aslinya lebih panjang dan lebih terperinci. Sayang surat aslinya sekarang udah nggak tahu di mana.
entah terbuang, atau malah disimpan sama mami, aku nggak mau tanya-tanya lagi deh. malu booo!
Dan dipaling bawah dari surat itu, ada tulisan tangan yang berkata:
"Bagus Rachel, segera kirimkan surat ini!"
Ternyata, oh ternyata, itu adalah tulisan dari dosenku. Akhirnya aku ingat juga kenapa dan kapan tepatnya aku menulis surat itu.
Bukannya terkirim ke alamat yang tepat, malahan surat itu nyangkut dan mungkin akan segera membusuk, kalau saja ko Wiria nggak segera menemukannya di antara tumpukan kertas-kertas dan barang-barang yang beraneka warna, bentuk dan, tentu saja, baunya!!!
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, dan kalau dipandang dari kaca mata kehidupanku saat ini, kekuatiran dan ketakutanku dulu itu benar-benar lucu dan membuang-buang waktu saja.
Nyatanya sekarang, harapan mami, papi, dan popo, sudah menjadi sebuah kenyataan.
Andai saja popo masih hidup untuk menyaksikan pernikahanku, pasti dia akan sangat bahagia dan nggak lagi kuatir akan masa depanku.
Masa depan cucu satu-satunya yang tunanetra ini!!
Hehehe...
Yah..., inilah hidup.
Yesterday is a history.
Tomorrow is a mystery.
Today is a gift.
:-D
1 komentar:
dalemm..
Posting Komentar