Senin

Hilangnya Mata Pencaharian Para Tunanetra Di Korea

Ini berita dari AsiaCalling tentang profesi pijat tunanetra di Korea.
Ternyata profesi ini sudah lama diprotect untuk tunanetra di Korea
sejak lama. Namun, sayang, akan segera dihapus. Padahal,
seharusnya, jangan, dan kita di sini pun bisa mengikuti kebijakan ini.
Tapi, siapa yang mau bantu advokasinya ke instansi terkait, yah?

Banyak warga tunanetra Korea Selatan yang terancam kehilangan mata
pencaharian mereka.

Padahal selama hampir 100 tahun belakangan ini, sejak 1913, hanya
merekalah yang secara sah berhak menjadi tukang pijat.

Tapi kini, ada kemungkinan bahwa aturan itu bakal berubah.

Simak laporan Jason Strother dari Seoul yang dibawakan Artha Senna.

Yan Chu Suk menyeret tongkatnya di atas trotoar. Dia telah menjadi
terapis pijat resmi, sejak lulus dari sekolah khusus tunanetra sekitar
36 tahun lalu.
Katanya, para tunanetra punya cara unik memijat para pelanggannya.

"Kami tidak bisa melihat, jadi kami bisa konsentrasi lebih baik. Itu
sebabnya kami sangat mahir memijat."

Sang pelanggan menyapa Yang dan menyuruh dia masuk ke dalam apartemen.
Yang terlihat rapih mengenakan jas dan dasi.

Seperti Yang, ribuan tunanetra di Korea Selatan, menjadi tukang pijat.
Bahkan sejak 85 tahun lalu, hak itu hanya diberikan kepada mereka.
Menurut Yang,
tanpa pelatihan pijat, ia tak bakal bisa mendapatkan pekerjaan lain.

"Pada 1972 ketika saya lulus SMU, ekonomi Korea Selatan sangat buruk.
Jadi kehidupan saya saat itu kelihatannya bakal sangat susah."

Namun, hukum yang selama ini melindungi para pemijat tunanetra Korea
dari kemiskinan, kemungkinan tak akan berlaku lagi. Pengadilan negeri
kini berupaya
memutuskan, apakah peraturan ini diskriminatif terhadap mereka yang
punya penglihatan normal.

Sejak September, para tunanetra menggelar unjuk rasa di Seoul setiap
hari. Mereka mengatakan akibat kurangnya program kesejahteraan sosial
dan juga prasangka
buruk terhadap orang cacat, mereka hanya bisa menghasilkan uang lewat pemijatan.

Chae Ho Jin, 24 tahun, buta sejak lahir dan sudah menjadi tukang pijat
selama dua setengah tahun. Dia kuatir bila warga dengan penglihatan
normal menjadi
tukang pijat, akan mengancam pekerjaan mereka.

"Sebagian penata rambut juga bisa masuk industri pemijatan. Kalau ini
terjadi, bakal berdampak buruk bagi kami. Itu sebabnya saya ikut unjuk
rasa ini."

Ribuan ahli pijat yang tidak buta sudah bekerja di Korea. Meski harus
membayar denda, hukum tak benar-benar ditegakkan.

Lee Gyu Seong sekretaris jenderal Asosial Tukang Pijat Korea.
Kelompoknya mewakili tujuh ribu terapis pijat tunanetra.

"Siapapun yang bukan tunanetra dan bekerja sebagai tukang pijat,
melanggar hukum. Mereka tidak boleh mendapatkan sertifikat pijat.
Bahkan pemijatan untuk
mereka yang berolahraga, dilarang."

Salah satu kelompok warga dengan penglihatan normal yang berupaya
mendobrak industri pemijat tunanetra, adalah para pekerja seks
kormersil (PSK). Meski
Korea Selatan telah melarang perdagangan seks sejak empat tahun lalu,
rumah bordil masih ada dan tersembunyi di tempat tertentu.

Di daerah Jangandong Seoul, para PSK bertebaran di bar Karaoke, salon,
dan panti pijat.

Bahkan setelah saya jalan kaki selama lima menit di sini, beberapa
lelaki yang mengendarai mobil dan sepeda, serta perempuan yang
menggendong kucing putih,
mendatangi saya beberapa kali. Mereka semua mengajak saya ke panti pijat.

Menurut Lee Gyu Seong dari Asosiasi Tukang Pijat Korea, sejak para PSK
menjadi tukang pijat, mereka tak hanya merebut lahan para tunanetra
tapi juga menodai
reputasi pemijat resmi.

"Ini masalah yang rumit. Sebagian orang tidak tahu bahwa hanya para
tunanetra saja yang boleh menjadi ahli pijat yang sah. Memang dampak
buruknya secara
ekonomi dan reputasi para ahli pijat yang handal menjadi buruk."

Lee lebih nyaman menggunakan kata Ahn-ma atau tukang pijat dalam
bahasa Korea. Menurut dia istilah Masseur yang berarti tukang pijat
dalam bahasa inggris
sebaiknya digunakan untuk para PSK atau pemijat lainnya.

Para pendidik kaum tunanetra menuturkan, banyak pelajar yang tidak
berhasil di bidang lain dan enggan mengambil pelatihan lainnya.
Seperti dikatakan, Kim
Ho Shik instruktur Sekolah Nasional Tunanetra di Seoul.

"Itu karena di universitas tidak ada kursus pemijatan. Dan banyak
pelajar tunanetra merasa jika tidak belajar memijat, maka mereka tidak
bisa menghasilkan
uang."

Pada tahun ini, pengadilan Konstitusional akan memutuskan
ke-ekslusifan hak memijat oleh tunanetra. Baik parlemen maupun komisi
hak azasi manusia memang
mendukung para tunanetra. Tapi menurut para pembelanya, pengadilan
akan melindungi masyarakat mayoritas ketimbang minoritas.

Tukang pijat Chae Ho Jin mengeluh, tak tahu apa yang bakal dia lakukan
bila para tunanetra kehilangan hak mereka.

"Saya tidak punya pilihan lain kecuali menjadi tukang pijat. Kalau
pemerintah mengizinkan orang lain nengambil pekerjaan ini, para atasan
harus memutuskan
siapa yang mereka bakal terima. Menurut saya, mereka pasti akan
memilih orang yang penglihatannya normal ketimbang para tunanetra."

Tidak ada komentar: