Dulu kupikir kegiatan yang paling sulit itu adalah memasak. Aku takut sekali dengan kompor (tentu saja kompor yang sedang menyala). Aku sudah berpikir kalau aku akan selamanya tidak bisa memasak, apalagi dengan kondisi mataku yang daya penglihatannya semakin menurun. Yang tinggal sekarang hanya bayang-bayang dan cahaya. Jangan tanya tinggal berapa persen, karena aku sudah lupa bagaimana rasanya melihat dengan sempurna 100%.
Aku sudah mencoba memasak beberapa kali, tetapi selalu saja gatot, alias gagal total.
Ditambah lagi kegatalanku untuk bereksperimen. Belum bisa masak, sudah gatal ingin coba yang macam-macam. Seperti dulu, aku pernah membuat havermut dengan dicampur bekatul. Mungkin juga bekatulnya yang terlalu banyak, sehingga ketika suamiku memakannya, tenggorokannya langsung tersedak, karena rasanya seperti memakan pasir!
Pernah juga aku membuat pancake: 2 sendok pancake dengan sebutir telur kocok, dan hasilnya adalah pancake gosong berisi telur setengah matang!
Aku mencoba masak yang lebih mudah dan nggak neko-neko: kuah telur + sayur hijau. Sangat mudah dan aku sudah percaya diri kalau masakanku kali ini pasti berhasil dan rasanya enak. Tapi ternyata bawang putihnya gosong, sehingga ketika suamiku ingin memakannya, dia bingung dengan benda-benda kecil berwarna hitam yang banyak mengambang di dalam kuah sayur.
Aku sempat putus asa dengan berkata kepada suamiku :
"Mungkin aku memang nggak bakat memasak kali ya??"
Tapi walaupun aku merasa putus asa, pikiranku tetap saja melayang ke dapur dan bumbu masakan. Aku sering membayangkan cara memasak ini atau itu. Dan akhirnya, aku pun kembali memberanikan diri untuk memegang pisau, kuali dan kompor. Dan ternyata, sekarang aku berhasil mendapat penghargaan dari suamiku!
Awalnya aku mendapat nilai 7 untuk omelete-ku yang berisi: bawang bombay, keju, sosis, cabe rawit + sesendok susu bubuk.
Untuk keberhasilanku menumis sayur, menggoreng, dan terakhir membuat tahu kecap, Suamiku memberiku pujian dengan berkata : "Makin ke sini masakannya makin enak!".
Kalau untuk havermut yang rutin kubuat setiap pagi, tidak lagi kucampur dengan bekatul, tapi dengan wortel atau keju atau buah-buahan. Untuk yang satu ini, aku mendapat nilai : "Sempurna!"
Yipiiiiii!!!!
Terima kasih kuucapkan buat guru-guruku :
Guru yang pertama bernama : suami tercinta yang nggak kapok-kapoknya mencicipi hasil masakanku!
dan guruku kedua yang tak kalah pentingnya adalah pengalaman yang hampir saja membuatku frustasi!
Tuo sie...
Aku ini seorang tunanetra. Katanya sih penyebabnya adalah Retinitis Pigmentosa. Makanya aku menjuluki diriku sendiri: "Si gadis remang-remang", karena duniaku memang selalu terlihat remang-remang, redup, nyaris padam! :)
Selasa
Kamis
Kunang-Kunang
Malam bertandang,
dingin pun menyapa:
"Sedang apa kau di sini?"
Jawabku :
"Menunggu sang cahaya!"
Malam terkekeh,
dingin mendengus pahit.
"Tahukah kau akan malam yang berkuasa? Bilamanakah cahaya itu tiba?"
Aku bergeming pilu.
Mataku mengerjap menahan tangis. Gelap semua,
tiada satu pun bintang sudi mengawani.
"Bilamanakah malam berlalu dari pandangan?"
Dalam sepi kubertanya.
Namun tak jua kudengar jawaban.
Hanya sang angin yang bersemilir,
membekukan apa yang telah beku.
Semburat cahaya itu datang,
setitik..., hanya setitik.
Malam terusik,
dingin pun mulai menguap.
Kukerjapkan mata tak percaya,
namun cahaya itu kian besar dan bertambah banyak.
terbang mendekat, terang, berputar-putar.
Mungkinkah cahaya itu ada?
bukankah dia telah pergi lama...
lama sekali?
"Hai kawan!"
Serempak suara itu menyapaku riang;
bersama kilau sinarnya yang berwarna-warni,
bagaikan sinar lampu di tengah kota metropolitan.
Penuh semarak, indah memukau!
Kelopak mataku terbuka lebar,
menyaksikan keindahan yang belum pernah kulihat.
Sungguh, kerlip lampu mereka terlalu indah bagi mata sang putri malam.
"Siapa kalian, hai para mahluk pembawa lampu?"
"Kunang-kunang!"
"Kunang-kunang?
Bagaimanakah kalian dapat mengusir gelap dari mataku?"
"Bukan matamu..., tapi hatimu!.
Kami ada di dalam hatimu!"
"Bilamanakah kalian masuk ke dalam hatiku?"
"Saat kau berharap akan cahaya..., kami ada karena harapanmu!"
"Ah, bagaimanakah harapan dapat menghadirkan cahaya yang terpancar melalui dirimu?"
"Karena kami adalah harapan itu sendiri!
Berharaplah selalu, maka kami akan senantiasa hadir dan menari untukmu!"
"Oh, kunang-kunang pembawa harapan...
tahukah kau akan cantiknya dirimu?
Akan kerlipmu yang membentuk jalinan-bintang bintang bersinar di hatiku?
akankah mungkin aku rela kau pergi?
Malamku kini penuh cahaya;
seolah siang telah sudi menampilkan dirinya yang lama bersembunyi di balik jubahnya.
Ah, kunang-kunang pembawa cahayaku,
Bilamanakah aku sanggup hidup tanpa harapan?
Meski malam terbalut pekat,
membentang luas hamparan kegelapan yang seolah tiada bertepi,
asalkan harapan itu tetap bersemi di hatiku,
maka kau akan menari disekelilingku dengan gemerlap cahayamu!
Oh, kunang-kunang pembawa cinta,
hadirmu menyemarakan hariku.
kini sepi telah terhalau,
membuka jalan bagi keceriaan.
Cintaku akan harapan,
akan dirimu yang mengisi kegelapanku dengan sinar-sinar cintamu!
dingin pun menyapa:
"Sedang apa kau di sini?"
Jawabku :
"Menunggu sang cahaya!"
Malam terkekeh,
dingin mendengus pahit.
"Tahukah kau akan malam yang berkuasa? Bilamanakah cahaya itu tiba?"
Aku bergeming pilu.
Mataku mengerjap menahan tangis. Gelap semua,
tiada satu pun bintang sudi mengawani.
"Bilamanakah malam berlalu dari pandangan?"
Dalam sepi kubertanya.
Namun tak jua kudengar jawaban.
Hanya sang angin yang bersemilir,
membekukan apa yang telah beku.
Semburat cahaya itu datang,
setitik..., hanya setitik.
Malam terusik,
dingin pun mulai menguap.
Kukerjapkan mata tak percaya,
namun cahaya itu kian besar dan bertambah banyak.
terbang mendekat, terang, berputar-putar.
Mungkinkah cahaya itu ada?
bukankah dia telah pergi lama...
lama sekali?
"Hai kawan!"
Serempak suara itu menyapaku riang;
bersama kilau sinarnya yang berwarna-warni,
bagaikan sinar lampu di tengah kota metropolitan.
Penuh semarak, indah memukau!
Kelopak mataku terbuka lebar,
menyaksikan keindahan yang belum pernah kulihat.
Sungguh, kerlip lampu mereka terlalu indah bagi mata sang putri malam.
"Siapa kalian, hai para mahluk pembawa lampu?"
"Kunang-kunang!"
"Kunang-kunang?
Bagaimanakah kalian dapat mengusir gelap dari mataku?"
"Bukan matamu..., tapi hatimu!.
Kami ada di dalam hatimu!"
"Bilamanakah kalian masuk ke dalam hatiku?"
"Saat kau berharap akan cahaya..., kami ada karena harapanmu!"
"Ah, bagaimanakah harapan dapat menghadirkan cahaya yang terpancar melalui dirimu?"
"Karena kami adalah harapan itu sendiri!
Berharaplah selalu, maka kami akan senantiasa hadir dan menari untukmu!"
"Oh, kunang-kunang pembawa harapan...
tahukah kau akan cantiknya dirimu?
Akan kerlipmu yang membentuk jalinan-bintang bintang bersinar di hatiku?
akankah mungkin aku rela kau pergi?
Malamku kini penuh cahaya;
seolah siang telah sudi menampilkan dirinya yang lama bersembunyi di balik jubahnya.
Ah, kunang-kunang pembawa cahayaku,
Bilamanakah aku sanggup hidup tanpa harapan?
Meski malam terbalut pekat,
membentang luas hamparan kegelapan yang seolah tiada bertepi,
asalkan harapan itu tetap bersemi di hatiku,
maka kau akan menari disekelilingku dengan gemerlap cahayamu!
Oh, kunang-kunang pembawa cinta,
hadirmu menyemarakan hariku.
kini sepi telah terhalau,
membuka jalan bagi keceriaan.
Cintaku akan harapan,
akan dirimu yang mengisi kegelapanku dengan sinar-sinar cintamu!
Langganan:
Postingan (Atom)