Selasa

Kisah Masa Remajaku

Inilah kisah masa remajaku.

Setelah lulus SD
Baca Ibuku Adalah Pahlawanku
Ibu kembali mendaftarkanku di sekolah yang sama dengan kakakku. Tapi kini pertempuran ibu dengan pihak sekolah lebih sengit.

„Maaf ibu, kami tidak bisa menerima anak ibu menjadi murid kami!” Jawab kepala sekolah setelah mengetahui kalau aku memiliki hambatan penglihatan.

„Tapi anak saya mampu lulus SD dengan hasil yang bagus!” tukas ibuku tak mau kalah, sambil menunjukkan NEM-ku.

„Ya..., tapi sekolah kami memang tidak menerima murid cacat. Mengapa ibu tidak menyekolahkan anak ibu ini ke SLBA saja, yang memang disediakan bagi anak-anak yang memiliki hambatan penglihatan seperti anak ibu?”

„Tidak!” tolak ibuku tegas, „saya yakin kalau anak saya mampu bersekolah di sekolah umum!”

Sesaat keduanya terdiam. Sesekali terdengar bapak kepala sekolah menarik nafas. Mungkin baru kali ini dia menghadapi seorang ibu yang memiliki semangat kuat seperti banteng.

“Begini saja…” tiba-tiba ibu kembali bersuara, “bagaimana jika bapak memberi kesempatan kepada anak saya untuk mencoba selama setahun. Kalau anak saya terbukti tidak mampu, maka bapak boleh mengeluarkan anak saya. Tapi jika ternyata anak saya mampu mengikuti pelajaran, maka bapak harus menerima anak saya menjadi murid di sini!”

Bapak kepala sekolah tak langsung menjawab. Terlihat dia sedang berpikir keras.

“Baiklah,” jawab bapak sekolah itu akhirnya, “selama satu tahun, anak ibu akan menjadi murid percobaan di sekolah kami. Dia akan tetap belajar seperti anak-anak lainnya, hanya dia tidak akan menerima rapot sungguhan sampai dia dinyatakan berhasil naik kelas. Dan jikalau anak ibu ini ternyata menggangu kegiatan belajar murid-murid lainnya, maka terpaksa kami tolak!””

Seulas senyum lebar terhias di bibir ibu. Akhirnya sekali lagi ibu menang!

Akupun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatanku makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri tidak perlu di tuntun orang lain. Proteksiku terhadap kecacatanku pun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja aku juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaanku pun menjadi lebih sensitif.

Sebenarnya aku tidak pernah mengetahui kalau ternyata aku ini hanya diterima sebagai murid percobaan saja. Ibu sama sekali tidak pernah memberitahuku.

Kembali ibu pun menempatkan aku di deretan bangku paling depan. Ini sudah biasa kami lakukan sedari aku masih di SD, setiap kali kenaikkan kelas. Kadang kami harus berebutan dengan murid-murid lainnya yang ingin juga duduk di meja terdepan. Tapi ibu selalu sigap. Sambil menarik tanganku, ia akan berlari ke meja yang tepat berada di tengah dan terdepan. Jika ada murid yang sudah mendahuluinya, maka ibu akan mengusirnya dengan berkata :
„Maaf, kamu pindah saja ya, karena anak saya ini tidak bisa melihat dengan jelas.” Biasanya murid-murid itu pun segera pindah ke tempat duduk lain. Aku tidak tahu bagaimana tepatnya perasaan mereka. Mungkin mereka bisa maklum, atau mungkin juga mereka kesal, karena berarti harus mencari tempat duduk lain.

Untuk melihat, aku hanya menggunakan mata sebelah kiriku, bukan karena mata sebelah kananku sudah buta sama sekali, tetapi jika aku mencoba menggunakan kedua mataku sekaligus, yang terlihat olehku hanya warna hitam. Makanya kalau sedang membaca buku dengan kaca pembesar, kepalaku sampai miring-miring ke sebelah kanan karena aku membacanya dengan menggunakan sudut mata. Sebenarnya aku sendiri pun tidak menyadarinya, sampai pada suatu hari seorang teman baruku bertanya kepada teman lainnya: “Dia kenapa sih, kok baca buku sampai kepala miring-miring kayak gitu?”

Karena hanya menggunakan satu mata, maka bola mata sebelah kananku pun menjadi juling. Aku pernah melakukan operasi untuk membetulkan mata julingku ini, agar kembali sejajar dengan bola mata sebelah kiriku, tapi tetap saja bola mata kananku akan tampak melenceng, jika sedang melihat sesuatu atau seseorang, kan aku hanya melihatnya dengan sebelah mata.

Pernah suatu hari, aku sedang bertanya kepada seorang cowok tentang sesuatu. Dia bukannya langsung menjawab pertanyaanku, tapi malah menoleh ke belakang, seperti sedang mencari seseorang, dan ketika tidak menemukan siapa pun di belakangnya, barulah dia menoleh lagi kepadaku dan menjawab pertanyaanku dengan nada yang agak bingung. Mungkin dia berpikir: “ Ini anak bicara sama siapa sih? Kok matanya kayak lagi lihat ke belakangku.”

Sebenarnya aku merasa sedih sekali mengetahui tingkah lakunya, tapi aku berusaha menekan perasaanku itu, dan bersikap biasa-biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal di sebelah dalam dadaku terasa perih sekali, seperti habis tergores pisau yang sangat tajam.

Aku pernah mencoba menutup mata kananku dengan telapak tangan, jika sedang berbicara dengan seseorang, dan ternyata caraku itu ampuh. Karena setiap orang yang kuajak bicara tidak lagi menoleh ke belakang, atau ke kiri kanannya, melainkan tetap lurus menatapku. Tapi cara itu pun tidak terus kugunakan, karena nanti dikirannya aku sedang mengejeknya atau tidak punya sopan santun.
Makanya, aku jadi malas bertemu orang, apalagi orang baru yang belum mengetahui keadaan mataku.

Jika sedang ada tamu berkunjung ke rumah,
Aku cepat-cepat masuk ke dalam kamar dan mengurung diri, rasanya lebih tenang dan damai, sampai terdengar teriakan ibu memanggilku untuk menemui tamu-tamunya. Akhirnya dengan terpaksa, aku pun keluar dari lubang persembunyianku yang terasa nyaman, dan menemui mereka sekedarnya saja, tidak ada obrolan yang panjang lebar, apalagi canda tawa.

Sering kali, sepulang sekolah, aku langsung masuk ke dalam kamar. Aku menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur, dan menutup wajahku dengan bantal. aku menangis sepuasnya. Menumpahkan semua kesedihanku yang terasa memadati hatiku, sehingga membuat dadaku terasa sesak.
„Kenapa sih Tuhan tega memberiku mata seperti ini?” Jeritku frustasi, „Kenapa tidak orang lain saja yang diberi mata seperti ini? Kenapa harus aku?” Aku terus menangis sampai merasa lelah sendiri. Aku sering membayangkan tentang masa depanku. Apa selamanya aku harus bergantung terus pada orang tuaku?, apa aku tidak akan bisa hidup mendiri? Apa nantinya aku bisa bekerja dan mencari uang sendiri? Apa akan ada cowok yang mau menikahi cewek cacat sepertiku? Semakin memikirkannya, hatiku semakin terasa seperti diremas-remas saja. Benar-benar sakit., pedih, dan menyebalkan!.
Setelah aku puas mengeluarkan semua unek-unekku dengan cara menangis, aku pun akan segera melupakannya dan kembali menguatkan hatiku, berusaha bersikap seperti biasa lagi. Berjuang menjalani hari-hariku dengan semangat seorang prajurit.

Suatu hari, ibu melihat di sebuah majalah tentang sebuah tempat yang menjual alat-alat bantu untuk anak-anak tunanetra. Segera ibu membawaku mengunjungi tempat itu. Banyak sekali alat-alat bantu yang kutemui di sana. Seperti: kacamata yang dirancang khusus untuk anak-anak lowvision (lemah penglihatan) seperti yang kualami ini. Kacamata itu diberi dua buah teropong yang diletakkan di masing-masing kaca. Jadi mirip seperti yang ada di film Startreck.
Kacamata berteropong itu bisa membantuku melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya ssudah di berikan kaca pembesar, sehingga setiap objek yang ditangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Selain itu juga, aku menemukan sebuah jam tangan yang dapat bersuara. Jadi setiap kali kupencet tombolnya, maka jam itu akan menyebutkan pukul berapa sekarang. Ada juga kaca pembesar yang berbentuk seperti penggaris, jadi aku hanya tinggal meletakkannya di atas tulisan yang akan kubaca.
Semua alat-alat bantu itu ibu belikan untukku. Aku benar-benar senang. Bagiku, mereka bagaikan teman-teman sejati yang siap kapan saja membantuku.

Aku gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, sehingga aku tidak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar, sahingga membuat mataku cepat lelah dan tentu ssaja memaksaku untuk menahan malu di depan teman-temanku, apalagi di depan cowok incaranku. Kemampuanku membaca dengan alat itu pun tidak bertahan lama. Demikian juga dengan kaca pembesar penggarisku. Penglihatanku terus menurun. Aku kembali menggunakan kaca pembesar yang lama, karena kemampuan untuk membesarkan hurufnya masih lebih besar daripada kaca pembesar penggaris. Aku juga kembali meminta tolong kepada teman-temanku agar membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis. Meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan, “sedang malas!”.

Kegiatan menangis sendiri di dalam kamarpun semakin padat dan intonasi nada menangisnya pun semakin bervariasi. Aku tidak mau kalau hobiku menangis sampai diketahui orang lain apalagi orang tuaku. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hatiku pun hanya kutujukan pada Tuhan. Tapi semakin aku menjerit dalam hati, aku semakin merasakan Tuhan dekat denganku, semakin aku sering protes sama Tuhan, semakin hatiku merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah padaku, malah aku semakin merasakan Tuhan tambah sayang padaku. Karenanya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan, aku menganggap kalau sampai aku melakukan hal itu lagi berarti aku termasuk orang yang tidak tahu terimakasih.

Aku mengikuti setiap kegiatan sekolah seperti anak-anak lainnya. Seperti Pramuka, olahraga, dan kegiatan rekreasi. Untuk olahraga, aku paling banyak mengambil nilai dari olahraga renang. Kebetulan dari SD, aku sudah mengikuti kursus renang, dan aku berhasil menjadi murid renang terbaik, walau pun sering juga bibirku terbentur ujung kolam, sampai berdarah dan membengkak. Aku sering diminta guru renangku untuk berenang lebih lama dari murid-murid lainnya. Katanya dia sedang mempersiapkanku untuk mengikuti lomba renang. Tapi sebelum terwujud, aku sudah keburu berhenti kursus, karena aku terkena sakit tipus, hingga harus diopnam di rumah sakit.
Ini adalah sakit tipus keduaku, dan ketika aku sudah di SMU, aku kena tipus sekali lagi. Jadi total tipus yang mampir di hidupku sebanyak tiga kali. Dua kali masuk rumah sakit, dan satu kali lagi jadi pasien ibuku di rumah. Waktu tipus yang ketiga, ibu memperingatkanku:
„Kata dokter, kalau sampai kamu kena tipus sekali lagi, maka usus kamu mau dipotong!”

Pengalaman paling sedih adalah pada saat mengikuti ujian.
Sama seperti di SD, aku membaca soal-soal ujian dengan menggunakan kaca pembesar. Tapi karena penglihatanku semakin memburuk, makanya aku semakin kesulitan membaca atau pun menulis. Sering kali, saat di tengah-tengah ujian, aku sudah merasa kelelahan. Tanganku mulai gemetar, dahiku berkeringat, dan punggungku juga terasa pegal, karena selama satu jam setengah, aku harus terus-menerus membungkuk sampai hampir menyentuh meja untuk mendekatkan mataku pada lembar soal. Jika teman-temanku sudah mulai beranjak dari kursinya untuk mengumpulkan lembar ujiannya, dan kemudian pergi meninggalkan kelas, aku akan semakin gelisah.
Soal yang belum kukerjakan masih begitu banyak, sementara untuk membaca saja aku sudah terlalu lelah. Ingin rasanya aku menangis, dan menyobek-nyobek lembar soal itu, lalu melemparkannya jauh-jauh keluar jendela kelas. Tapi semua itu hanya bisa kulakukan di dalam imajinasiku saja. Karena jika hal itu benar-benar kulakukan, maka sudah bisa dipastikan, guru-guruku akan langsung menyatakan bahwa aku tidak naik kelas!
Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, aku kembali memasang kaca pembesarku untuk membaca tulisan yang malah tampak semakin kabur.
Kalau lonceng tanda waktu ujian telah habis, dengan terpaksa aku pun segera mencentang jawaban dari semua soal yang belum kukerjakan dengan asal-asalan.
A, B, C, D, E, lalu kembali lagi mencentang jawaban dari A, B, C, D, E. Dari pada tidak diisi sama sekali, kan lebih baik untung-untungan. Siapa tau jawabanku yang asal-asalan ini ternyata benar.

Tak terasa setahun pun berlalu, dan ternyata aku mampu mengikuti semua pelajaran dengan cukup baik, serta berhasil naik kelas. Akhirnya pihak sekolah pun menerimaku menjadi muridnya yang sah.

Waktu di kelas dua SMP, aku pernah diam-diam naksir berat dengan seorang cowok seangkatanku, tapi kami berbeda kelas.
Aku di kelas C, sementara dia di kelas D. Aku naksir dia bukan karena wajahnya yang kata orang memang lumayan ganteng, berkulit putih dan bertubuh lumayan tinggi, tapi lebih karena suaranya yang lembut, tidak terlalu banyak bicara, dan kupikir dia pasti adalah cowok yang baik. Tidak seorang pun yang mengetahui tentang perasaanku ini, termasuk orang tuaku. Aku hanya menyimpannya dalam hati. Sering aku sengaja lewat di depan kelasnya hanya untuk merasakan kehadirannya. Walau aku tidak dapat memandang wajahnya, tapi aku sudah merasa senang dengan hanya membayangkan dia ada di dekatku. Syukur-syukur aku bisa mendengar suaranya yang bikin jantungku berdetak lebih cepat.

Tapi suatu hari, akhirnya rahasia hatiku itu terbongkar juga. Sore itu, aku dan teman dekatku, Peggy, sedang ngobrol di telepon. Kami saling bersepakat untuk membuka rahasia hati kami masing-masing dengan memberitahu cowok mana yang sedang kami taksir.
Awalnya kami hanya menyebutkan di kelasberapa sang cowok berada, dan ternyata kami menyebutkan kelas yang sama: 2D. Setelah kami saling main tebak-tebakan nama cowok yang mungkin menjadi inceran masing-masing, Akhirnya Peggy menebak sebuah nama yang membuat mulutku terbungkam. Aku tak bisa bilang “bukan!”, tapi juga tak berani untuk mengatakan: “Ya!”. Mengetahui kegagapanku itu, Peggy langsung saja mengambil kesimpulan kalau ternyata aku naksir „Sandy”, yang bukan lain adalah cowok incerannya juga.

Ketika aku sedang berada di rumah Peggy, Peggy menyarankan agar aku menelepon Sandy. Tapi aku menolak, karena aku malu dan nggak tahu harus ngomong apa.
Akhirnya Peggy yang mendahului menelepon Sandy dan membuka pembicaraan. Setelah beberapa saat, aku mendengar Peggy berkata: “Ini si Rachel mau ngomong sama lu!”, kemudian dia menyodorkan gagang telepon ke tanganku.
Spontan jari-jariku menggenggam gagang telepon itu, karena hatiku juga sangat ingin berbicara dengan Sandy, tapi aku masih kebingungan memilih kata-kata.
“Halo…”
“Halo Rachel.” Suara di seberang telepon hamper saja membuatku pingsan karena kesenangan. Jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat, seperti habis lomba lari marathon.
Aku sibuk mencari kata-kata agar obrolan kami tidak menjadi basi.

“Sabtu ini kamu ke Gereja??” Tanyaku datar.
“Iya. Rachel mau dijemput?”
Waaahhh….! mendengar tawaran Sandy membuatku seperti melayang ke langit ke tujuh. Benar-benar di luar dugaan. Hatiku senang bukan kepalang. Jantungku pun seperti melompat keluar, tapi untung saja keburu kutahan, kalau tidak, bisa-bisa aku sudah mati di tempat.
Tapi, pada saat itu aku hanya dapat tersenyum. Aku membayangkan
berjalan berdua dengan Sandy, dan itu saja sudah terasa sangat menakutkan buatku. Bukan menakutkan karena membayangkan Sandy akan mengajakku berjalan melewati kuburan tengah malam bolong, atau membayangkan gigi Sandy yang tiba-tiba saja bertumbuh makin panjang menyerupai vampir, dan mengejar-ngejar aku untuk dijadikan mahluk vampir berikutnya, seperti yang ada di serial Twilight. Tapi kengerianku lebih disebabkan karena
kondisi mataku yang remang-remang, hidup segan mati pun tak mau!
Nggak mungkin kan kalau nanti tiba-tiba saja aku langsung memegang tangannya, atau biar terlihat lebih sopan dan tidak mengejutkan sang pemilik tangan, aku akan permisi dulu kepada Sandy dengan berkata : “Boleh nggak kalau aku pegang tangan kamu?”.
Duuuhh, baru memikirkannya saja sudah membuatku salah tingkah.
Bagaimana kalau nanti kakiku tersandung batu, atau terpeleset saat menuruni tangga. Bagaimana juga kalau Sandy lupa bahwa cewek di sebelahnya ini memiliki senter yang tinggal setengah wat, alias matanya sudah setengah buta!
Hatiku pun kembali ciut. Aku nggak mungkin menerima tawaran Sandy. Walau pun Sandy mungkin mau menuntunku, tapi aku tetap tidak mau! Aku malu! Malu tapi mau!
Aku pun tidak memberikan jawaban.
Kami kembali ngobrol ke sana ke mari, nggak jelas arah. Kadang malah kami berdua hanya diam, tak tau lagi harus ngomong apa. Hingga akhirnya „Klik”, pembicaraan pun selesai.

Untuk menenangkan gejolak di hatiku yang mulai terdengar seperti guntur yang bergemuruh di tengah samudera luas, aku mulai berpikir kalau tawaran Sandy itu hanyalah main-main. Sandy tidak bermaksud serius dengan tawarannya itu. Meski dalam hati sih aku tetap berharap kalau tawaran itu sungguh-sungguh muncul dari dalam hati Sandy.
Akhirnya, Sabtu pun berlalu tanpa Sandi. Seperti biasa, orang yang menjemputku tak lain tak bukan adalah ibuku.

Ibu mencoba mengajakku berobat ke Singapura. Kami pergi hanya berdua saja, padahal bahasa Ingris kami amburadul. Aku kembali harus melakukan pemeriksaan dari awal lagi. Dari mencoba berbagai ukuran lensa, dan berusaha membaca huruf-huruf yang muncul dilayar, yang semakin membuatku merasa frustasi, karena huruf-huruf itu tak juga mampu kulihat. , Harus merasakan sakit lagi saat tanganku disuntik warna, agar saat mataku difoto, hasilnya jadi berwarna. Sampai disuruh melihat titik-titik cahaya yang muncul. Setiap kali ada titik yang muncul pada layar, aku harus memencet tombol. Lumayan sering aku memencet tombol, padahal aku sendiri tidak yakin apa titik-titik yang kulihat itu benar-benar terlihat oleh mataku, atau Cuma merupakan hasil dari imajinasiku saja. Yang pasti, dokter menyatakan bahwa seharusnya kedua mataku ini sudah buta sama sekali, karena bintik yang ada di tengah bola mataku sudah bolong. Sebenarnya hasil ini kuketahui juga dari ibu. Entah ibu yang salah dengar, atau dokternya yang salah diagnose. Yang pasti, saat itu aku masih mampu melihat, walau pun luas pandangku semakin sempit dan buram.

Kami pun kembali ke Indonesia dengan tangan kosong. Masalah pada mataku masih juga menjadi misteri.

Ketika aku di kelas tiga SMP, orang tuaku kembali mengusahakan agar aku bisa berobat ke Belanda. Mendengar rencana keberangkatanku ke Belanda, tiba-tiba saja ada tetanggaku yang baik hati, menyodorkan sejumlah uang kepada orang tuaku.
„Pegang saja uang ini, hanya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu nanti dibutuhkan di sana.” Ujarnya setengah memohon agar orang tuaku mau menerimanya. Akhirnya, demi menghargai niat baik tetanggaku itu, orang tuaku pun menerimanya dengan disertai ucapan terima kasih. Jadilah aku berangkat ke negeri kincir angin itu. Lagi-lagi hanya ditemani oleh ibuku.

Ketika kami sedang berada di ruang tunggu bandara, yang lebih didominasi oleh orang-orang asing, ibu melihat seorang wanita yang sebangsa dengan kami. Ibu segera melempar senyum yang langsung dibalas oleh wanita itu. Mereka pun segera saling berjabat tangan untuk berkenalan. Aku pun tidak ketinggalan ikut memperkenalkan diri. Suami wanita itu yang orang Belanda asli sangat ramah kepada kami. Ketika kami harus transit di Bangkok, karena sebelah sayap pesawat kami mengalami kerusakan, Wanita itulah, yang bernama Sukinah, berserta dengan suaminya, yang selalu menemani kami. Ibu sangat senang memperoleh teman satu bahasa. Seandainya tante Sukinah tidak ada, pastilah kami akan merasa seperti anak kelinci di tengah-tengah kerumunan jerapah. Selama berjalan-jalan di bandara Bangkok, suami tante Sukinah selalu menuntunku. Dia sudah menguasai sedikit bahasa Indonesia, sehingga kami bisa mengobrol dengan nyaman. Sekali-kali dia mengajariku bahasa Belanda.
„Ik wil eten, artinya, saya mau makan…
Ik wil drinken : saya mau minum…
Ik wil slapen, berarti saya mau tidur.”

„Kalau aku cinta kamu?” tanyaku penasaran.
„Ik hou van je!„ jawabnya sambil tertawa. Tangannya yang besar mengucek-ngucek rambutku.

Setelah sekitar dua jam kami menunggu di bandara Bangkok, akhirnya kami kembali memasuki pesawat dan melanjutkan perjalanan yang masih amat jauh.

Sewaktu akhirnya kami turun di bandara schiphol yang begitu luas, suami isteri yang baik itu kembali menemani kami sampai kami bertemu dengan saudara kami yang tinggal di sana, dan memang datang untuk menjemput kami. Tante Sukinah dan suaminya itu sudah seperti dua orang malaikat yang sengaja dikirim Tuhan untuk mendampingi kami selama di perjalanan. Tanpa mereka, mungkin kami berdua sudah kebingungan setengah mati.

Selama kurang lebih satu bulan di Belanda, kami tinggal di rumah saudara yang menjemputku dan ibu di bandara itu. Sayang aku tidak bisa menikmati indahnya negeri kincir angin ini, karena yang kulihat hanya samar-samar.
Tapi aku sangat menyukai negeri ini, karena orangnya ramah-ramah, dan suka menyapa orang lain, baik yang sudah kenal, maupun yang belum kenal.

Awalnya aku diperiksa oleh seorang dokter di Amsterdam. Tetapi dokter itu langsung menyarankan ibu untuk membawaku ke seorang profesor mata di Nijmegen. Setibanya di Nijmegen, lima orang dokter secara bergiliran
memeriksa mataku. Kelopak mataku dibukanya lebar-lebar, dan dengan menggunakan senter, mereka pun memperhatikan bola mataku. Setelah itu, datanglah seorang dokter tua yang ternyata merupakan seorang professor mata ternama. Dia pun melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan kelima dokter sebelumnya. Kemudian aku dibawa ke sebuah ruangan. Aku disuruh berbaring di tempat tidur yang ada di situ. Lalu kelopak mataku kembali dibukanya lebar-lebar, tetapi kali ini, sebuah benda seperti teropong kecil di masukkan ke dalam mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan. Tapi kelopakku terganjal oleh benda menyebalkan itu. Setelah benda kecil itu berhasil menempel di mata kiriku, kini giliran mata sebelah kananku di masukkan benda yang sama. Lalu, beberapa titik dikepalaku ditempeli semacam kabel-kabel yang terhubung dengan computer.
Aku hanya bisa terdiam dengan pasrah. Aku mendengar mereka, para dokter dan suster, termasuk ibu dan saudaraku sedang mengomentari gambar yang tampak di layer computer. Kata ibu, semua syaraf yang ada di kepalaku terlihat jelas. Begitu halus seperti serabut, dan banyak sekali.

Setelah selesai, aku lagi-lagi di suntik cairan berwarna yang akan menyebabkan bola mataku mengeluarkan warna-warna pada saat di foto. Mereka tidak percaya dengan data-data yang dibawa ibu dari pemeriksaanku sebelumnya di Indonesia maupun di Singapura.

Beberapa hari kemudian, kami pun kembali ke Nijmegen, dan mendapatkan hasil yang membuat harapanku untuk sembuh kembali terlempar sangat jauh, tercebur ke dalam lautan, dan langsung ditelan oleh seekor ikan hiu besar.

Profesor mata itu berkata kepada saudaraku, yang langsung meneruskannya kepada ibu dalam bahasa Indonesia:

“Ada sebuah syaraf di kepalanya yang terjepit, dan karena sudah terlalu lama dibiarkan, maka syaraf itu mengering. Padahal syaraf itu berfungsi menghubungkan antara mata dan otak. Syaraf itu sangat kecil dan halus, jika dilakukan operasi, besar kemungkinan syaraf-syaraf lainnya akan ikut terpotong, dan akibatnya sangat vital.”

Sepanjang perjalanan pulang di dalam mobil, aku terus memikirkan mataku yang tidak akan dapat sembuh. Tiba-tiba saja setetes air mata jatuh menuruni pipiku. Aku sengaja menyembunyikan wajahku dengan berpura-pura melihat ke jalan raya melalui jendela yang berada di sampingku. Tapi
air mataku semakin deras mengalir.

“Kenapa kamu nangis?” Tanya ibu yang mendengar isakanku.
Ditanya seperti itu, aku malah jadi semakin sedih. Aku langsung memeluk ibuku, dan meneruskan tangisanku yang sempat tertahan.
Ibu hanya mengusap-usap punggungku, sambil sesekali terdengar ia menghela nafas.
“Sudahlah…” kata ibu berusaha menenangkanku,
“sekarang kita pasrahkan saja semuanya pada Tuhan. Selama ini toh Tuhan selalu tolong kamu. Buktinya kamu masih bisa sekolah kayak anak-anak lainnya yang berpenglihatan normal.”
“Tapi aku mau mataku sembuh!” seruku di tengah-tengah tangisku.
Saudaraku yang duduk di jog depan, dan teman Belandanya yang duduk di bangku pengemudi, hanya terdiam. Mereka turut merasakan kesedihan yang sedang dialami oleh ibu dan anak ini.

Tiba-tiba saja mobil kami berhenti di pom bensin. Bukan untuk mengisi bensin, tapi pengemudi Belanda itu turun, dan masuk ke sebuah toko yang berada di area pom bensin tersebut.
Kami hanya menunggu di dalam mobil.
Aku sudah menghentikan tangisku, dan kembali menguatkan hati untuk menerima kenyataan yang ada.

Tiba-tiba saja pintu mobil di sampingku terbuka, dan pengemudi Belanda itu menyodorkan sebuah boneka kodok kepadaku, sambil bertanya dengan menggunakan bahasa Belanda, yang langsung diterjemahkan oleh saudaraku:

„Kamu suka boneka kodok ini?”

Aku sempat terkejut. Kuraba-raba boneka kodok itu dengan jari-jariku. Kemudian aku pun menganggukkan kepala sambil menjawab : „Ya. Bedang!”
Kupikir, mungkin dia ingin menghiburku dengan boneka kodok ini. Sungguh-sungguh orang yang baik hati.
Sampai sekarang, boneka kodok itu masih kusimpan, dan masih berbentuk kodok yang tersenyum lebar, dengan warna hijau cerah yang tidak juga menjadi pudar.

===
Lanjut ke :
Kisah Masa Remajaku Bagian 2

Tidak ada komentar: