Selasa

Kisah Masa Remajaku Bagian 2

Lanjutan dari :




Ketika mendaftar di SMU, seperti biasa aku dan ibu harus menghadapi penolakkan dari pihak sekolah. Tapi kali ini, kepala sekolah yang baru, yang akan menggantikan kepala sekolah lama di tahun ajaran baru, lebih mendukungku. Dan aku pun diterima sebagai muridnya.

Aku meminta ijin kepada ibu untuk belajar huruf braille, karena penglihatanku sudah semakin memburuk. Kemampuanku menulis pun sudah mulai naik turun gunung. Kadang menanjak ke atas, sehingga menabrak tulisan yang sudah ada sebelumnya, tapi kadang juga menurun ke bawah, menerobos garis-garis pembatas, hingga lebih menyerupai ular naga panjangnya yang sedang berlenggak-lenggok.
Kaca pembesarku pun sudah tidak dapat lagi menolongku. Melihat keadaan anaknya ini, akhirnya orang tuaku memanggil seorang guru SLBA untuk mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku.
Dua kali seminggu guru SLBA itu datang ke rumahku. Aku begitu antusias belajar huruf timbul tersebut, karena aku tak perlu lagi memaksa mataku untuk bekerja lebih keras, yang hanya akan mempercepat turunnya daya penglihatanku.

Guru SLBA itu sering bercerita kepadaku tentang teman-teman tunanetra yang ada di SLBA. Bagaimana mereka begitu mandiri, mampu berpergian sendiri, membersihkan rumah, memasak, dan mereka pun mempunyai permainan yang seru-seru.

Mendengar itu, aku jadi tertarik untuk berkunjung ke sana. Aku segera meminta ibu untuk mengantarku bermain ke SLBA.
Ibu pun bersedia. Dan setibanya aku di sana, aku langsung merasa senang bukan kepalang. Rasanya seperti baru menemukan duniaku sendiri. Ternyata banyak sekali teman-teman yang memiliki keterbatasan penglihatan sepertiku. Selama ini aku berpikir kalau hanya aku sajalah yang mengalami kelainan mata seperti ini.
Banyak sekali hal-hal baru yang kupelajari di sana. Dari cara mereka berjalan dengan tongkat putih, cara membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka mainkan. Aku jadi sering bermain ke sana dengan diantar jemput oleh ibu.

Selain itu, timbul juga keberanian dari dalam diriku untuk mencoba pulang sekolah sendiri.

“Mam, nanti siang nggak usah jemput aku di sekolah ya!”

“Kenapa?”

“Karena aku mau pulang bareng teman.”

“Teman kamu yang mana?” Ibu tampak curiga.

“Eva. Dia kan rumahnya satu jurusan denganku.”

“Lho, tapi kan Eva rumahnya sebelum kita? Terus, nanti kamu turun sama siapa
di sini?”

“Tenang saja, Mam,” jawabku dengan percaya diri, “Nanti Eva yang antar aku sampai di depan gerbang rumah.” Aku berusaha meyakinkan ibu, agar dia tidak kuatir dan mengijinkanku pulang sendiri.

“Ya sudah. Tapi kamu harus minta Eva buat antar kamu sampai sini ya!”

„Ok!” Jawabku senang.

Di kelas, aku janjian dengan Eva untuk pulang bareng, dan memintanya agar mau mengantarku sampai ke depan rumahku.
„Nanti aku deh yang bayarin semua ongkosnya!” Kataku lagi sedikit merayu.
Dan akhirnya Eva pun bersedia mengantarku sampai ke depan pintu gerbang rumahku, kemudian dia akan kembali lagi naik angkutan umum untuk menuju ke rumahnya.

Tapi pada suatu hari, aku menyuruh Eva untuk turun saja di rumahnya, dan membiarkanku melanjutkan perjalanan sendiri.

“Nanti nyeberang jalannya gimana?” Tanya Eva kuatir.

“Bisa kok. Kan aku masih bisa lihat bayangan mobil atau motor yang lewat.” Jawabku dengan tampang meyakinkan. Padahal, Sebenarnya aku juga masih lumayan takut sih. Apalagi jalanan di depan rumahku cukup besar. Tapi aku tetap saja menyuruh Eva untuk turun lebih dahulu.
Ketika aku sampai di seberang rumahku, aku langsung saja berlari sekencang-kencangnya menyeberangi jalan. Tiba-tiba dari arah berlawanan ada mobil yang juga berlari sekencang-kencangnya. Dan ketika melihatku menyeberang, pengemudi itu langsung menginjak rem, hingga roda-roda mobilnya mengeluarkan suara berdecit.
“Woi!!” Aku mendengar pengemudi mobil itu berteriak ke arahku. Sekujur tubuhku gemetaran. Beberapa waktu lamanya aku hanya diam berdiri merapat ke pintu gerbang rumahku.
Jantungku berdebar-debar tak terkendali, membuat kakiku yang gemetaran jadi terasa lemas. Aku segera masuk ke dalam rumah. Dan sesampainya di dalam kamar, aku langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan posisi menelungkup. Sekujur tubuhku masih saja gemetaran hebat. Hingga beberapa lamanya aku tetap dalam posisi seperti itu. Sedikit pun tak bergerak. Seolah-olah semua tulang-tulang di tubuhku tiba-tiba saja menjadi lumpuh. Ketika gemetarnya sudah berangsur-angsur mulai mereda,
barulah aku membalikan tubuh ke posisi terlentang. Aku berpikir kalau kejadian tadi tidak boleh sampai diketahui orang tuaku, karena sudah pasti mereka tidak akan mengijinkanku lagi untuk pulang sendiri. Aku hanya berjanji kepada diriku sendiri, agar lain kali lebih berhati-hati.

Tapi pada suatu sore, ketika aku meminta ibu untuk mengantarku lagi bermain ke SLBA, dengan tegas dia melarangku.
“Kamu itu berbeda dengan anak-anak di SLBA! Nggak bagus kamu terlalu sering bermain ke sana!”
Mendengar perkataan ibu, hatiku benar-benar sedih bukan main. Seolah-olah aku telah direnggut dari sahabat terbaik yang sudah lama kucari, dan baru saja berhasil kutemukan, tapi dalam sekejap mata, ia telah pergi lagi meninggalkan aku seorang diri.
Jangan-jangan ibu sudah mengetahui kejadian waktu aku hampir saja tertabrak mobil. Tapi tahu dari siapa?

Pelajaran braille-ku pun usai. Guru SLBA itu berkata kepada ayah kalau aku sudah mampu membaca dan menulis dengan jari-jari tanganku, hanya tinggal berlatih sendiri saja.

Meski aku tak diijinkan untuk bermain ke SLBA, tapi diam-diam aku masih sering menelepon teman-teman di SLBA itu. Aku senang mendengar cerita tentang pengalaman mereka selama bersekolah di SLBA, sampai akhirnya mereka juga masuk ke SMU negeri. Benar-benar mengasyikan. Belajar dengan teman-teman sesama tunanetra. Tidak perlu merasakan diejek atau ditertawai teman sekelas, seperti yang pernah kualami. Tidak perlu juga susah payah membaca tulisan yang ada di papan tulis, atau memaksakan mata untuk membaca buku dengan kaca pembbesar, karena mereka kan diajar dengan huruf-huruf timbul.

Untung saja kepala sekolah mau mengerti tentang tingkat kesulitan yang kualami kini dalam hal membaca dan menulis, sehingga dia mengijinkan ibu untuk mendampingiku sewaktu ujian berlangsung. Ibu akan membacakan soal-soalnya, dan menuliskan jawaban yang kuberikan secara lisan ke dalam lembar jawaban, sehingga aku bisa mengerjakannya dengan cepat. Ujian itu kami kerjakan di ruang guru, sehingga para guru masih bisa mengawasi kami.

Sebenarnya aku malu juga sih. Sudah besar masih didampingi ibu.
Seperti anak manja saja! Andaikan aku bisa mengerjakan ujian ini seperti teman-temanku yang lain…
Ah, sudahlah! Sudah bagus ibu bersedia membacakanku.
Memang ibu adalah ibu yang hebat!

===

Tak sengaja aku mendengar obrolan orang tuaku yang hendak membawaku ke pengobatan tusuk jarum. Membayangkannya saja aku sudah ngeri. Aku langsung berlari ke dalam kamarku, dan menangis. Aku benci kalau sampai aku harus merasakan sakit disuntik lagi.
Tiba-tiba seseorang memegang bahuku.
„Kenapa lu nangis?” Ternyata yang datang itu kakakku.
„Gue nggak mau ditusuk jarum!” jawabku masih menangis.
„Memangnya siapa yang mau tusuk lu pakai jarum?” kakakku kebingungan.
„Tadi gue dengar kalau mami sama papi mau bawa gue ke pengobatan tusuk jarum. Gue nggak mau! Gue takut!”
„Itu kan supaya mata lu sembuh.”
„nggak! Pokoknya gue nggak mau!” Tolakku sengit.
„Ya sudah... Nanti biar gue yang bilang sama mami kalau lu nggak mau ditusuk jarum. Sekarang lu nggak usah nangis lagi ya.” Setelah berkata seperti itu, kakakku pun keluar dari kamarku.

Ketika kami sedang makan malam sekeluarga, ayah bertanya kepadaku :
„Kenapa kamu nggak mau mencoba pengobatan tusuk jarum?”
kujawab hanya dengan gelengan kepala.
„Nggak sakit kok,” sambung ibu mencoba merayuku, „palingan Cuma terasa seperti digigit semut.”
„Yah, karena kayak digigit semut, makanya aku nggak mau. Digigit semut itu kan sakit. Apalagi kalau yang gigitnya semut rangrang!” elakku cepat. „Lagian, kenapa sih aku harus terus-terusan ngerasain sakit?” suaraku mulai gemetar menahan tangis. “Sudah buta, harus ngerasain sakit pula!” Keluhku makin lirih. Kepalaku tertunduk. Tenggorokanku terasa tercekat. Napsu makanku tiba-tiba saja hilang. Aku hanya mengaduk-aduk makananku di piring dengan menggunakan sendok.
“Kenapa sih aku harus ngalamin semua ini?”
Semua orang terdiam. Hanya sesekali terdengar ayah berdeham, seperti sedang membersihkan tenggorokannya.

“Yah, kalau kamu nggak mau ditusuk jarum, ya, nggak usah saja. Toh, papi dan mami juga nggak memaksa kamu.” Kata ayahku kemudian. „Papi sama mami Cuma ingin mencoba yang terbaik buat kamu.”
Mendengar penuturan ayah, aku jadi merasa menyesal. Kenapa juga aku harus mengeluarkan kata-kata bodoh seperti itu. Hanya membuat keluargaku menjadi sedih saja.

====

Aku sering menyaksikan orang menari di televisi. Meski aku tak dapat melihatnya dengan jelas, tapi aku mencoba membayangkannya. Wah, pasti senang ya bisa menari di atas panggung. Berlarian ke sana ke mari, berputar-putar, dan melompat setinggi-tingginya. Benar-benar merasakan kebebasan!
Aku berpikir kalau aku pasti juga bisa menari. Toh, menari itu kan hanya membutuhkan tangan dan kaki, tidak perlu menggunakan mata.
Akhirnya aku menyampaikan keinginanku itu kepada ibu.

„Aku pengen kursus nari, Mam!” Seruku bersemangat.
„Kursus nari?” Tanya ibu bingung.
„Ya. Aku pasti bisa kok!”
Ibu masih terlihat berpikir.
„Ya sudah, nanti kamu kursus sama Mis Fa ing saja.”
Jawaban ibu membuatku senang.
Ibu memang sudah mengenal Mis Fa ing, guru tari yang pernah juga mengajar adikku menari.
Karena penglihatanku yang terbatas, dan usiaku yang sudah besar, maka Mis Fa ing mengajarku secara privat.
Sebelumnya, aku sudah berlatih senam lantai sendiri di rumah. Dari koprol di atas lantai, mencium lutut, melakukan kayang (melengkungkan tubuh ke belakang, hingga membentuk huruf ‘n’),
sampai berhasil melakukan split (satu kaki lurus ke depan, dan satunya lagi lurus ke belakang). Sehingga ketika Mis Fa ing mulai mengajarkanku dasar-dasar menari, tubuhku sudah lentur.
Dan ketika kakiku disuruh untuk diangkat lurus ke depan, kesamping, atau ke belakang, aku dapat melakukannya sampai tinggi.

Aku sering meraba tangan atau kaki Mis Fa ing untuk mengetahui gerakan seperti apa yang sedang dia peragakan. Terkadang juga sebaliknya, Mis Fa ing yang mengarahkan tangan atau kakiku untuk memperagakan gerakan yang benar. Setiap gerakan memiliki nama. Jadi aku tinggal berlatih lagi sendiri di rumah, dan ketika Mis Fa ing ingin mengajari sebuah tarian, maka dia hanya perlu menyebutkan nama gerakannya saja padaku, dan aku akan langsung mengikutinya. Katanya, aku memiliki daya ingat yang baik.
Waktu ujian pun, aku berhasil memperoleh nilai yang cukup memuaskan. Padahal, aku baru beberapa bulan saja diajar olehnya.
Aku pernah pentas di Jakarta Internasional School bersama murid-murid Mis Fa ing lainnya. Selain itu juga aku pernah menari di acara ulang tahun sekolahku. Pernah juga aku mendapat peran sebagai peri dalam pertunjukkan tari yang diadakan oleh Mis Fa ing sendiri. Seluruh keluargaku hadir untuk menyaksikan aku menari sebagai seorang peri!
Sungguh menyenangkan!


=====
Pacar Pertamaku

Waktu kelas 3 SMU, aku berkenalan dengan seorang cowok bernama Andre. Dia adalah adik kelasku di kelas satu. Kami sama-sama tergabung dalam kelompok vokal, dan dia merupakan pemain gitarnya. Selesai berlatih vokal, biasanya Andre menghampiriku untuk mengobrol. Melihat kedekatan kami, teman-temanku pun langsung berusaha menjodohkan kami berdua. Pernah suatu hari ketika sehabis pentas vokal, aku ditinggal hanya berdua saja dengan Andre. Akhirnya, Andre yang mengantar aku pulang sampai ke depan rumahku. Teman-temanku bilang kalau wajah Andre itu tampan.
Dan ternyata diam-diam ada juga salah satu teman sekelasku yang naksir Andre.
Hingga suatu hari, Andre berkata kepadaku :
“Gue sayang lu… Mau nggak lu jadi pacar gue?”
Bukannya menjawab, aku malah menangis. Melihat itu, Andre jadi bingung.
Aku merasakan tangan Andre membelai-belai rambutku.
Tanpa kusadari sebelumnya, ternyata dia telah memelukku. Aku menyembunyikan wajahku di dadanya. Rasanya nyaman sekali.
“Kenapa lu jadi sedih?” Tanyanya dengan suara yang lembut.
“Kenapa lu bisa sayang sama gue?” Aku malah balik bertanya. Untung saja aku belum mengangkat wajahku dari dadanya. Kalau tidak, mungkin Andre bisa melihat wajahku yang tiba-tiba saja berubah menjadi merah seperti tomat busuk karena malu.
„Lu kan tau kalau gue ini nggak bisa lihat.” Lanjutku dengan suara pelan.
„Terus, kenapa?” Pertanyaan Andre malah bikin aku jadi makin salah tingkah. Aku tidak tau harus jawab apa.
„Gue sayang lu apa adanya.” Bisiknya perlahan di dekat telingaku. „Gue bakal jagain lu kok.”
Hatiku tiba-tiba saja seperti tumbuh sekuntum bunga
yang langsung mekar berkembang. Perkataan Andre terdengar seperti suara seorang malaikat saja. Akhirnya, kami pun resmi berpacaran.
Sekarang, aku selalu pulang sekolah bareng Andre. Biasanya Andre akan bermain dulu di rumahku sampai jam empat sore, kemudian dia akan pulang untuk membantu ayahnya menjaga toko.

Setelah sepuluh bulan kami berpacaran, Tiba-tiba saja Andre memberitahuku kalau ayahnya baru saja berkata kepadanya:
„Buat apa sih kamu berpacaran sama Rachel. Lama-kelamaan Rachel itu bisa jadi beban saja buat kamu!”
Mendengar itu, hatiku benar-benar terasa sakit bukan kepalang. Tega sekali ayah Andre berkata seperti itu.
Setelah hari itu, Andre mulai jarang datang ke rumahku. Saat kutanya kenapa, ia menjawab kalau dia mulai ragu dengan perasaannya terhadapku.
Aku benar-benar sedih. Semalaman aku menangis sendirian di dalam kamar, hingga kedua mataku menjadi bengkak, mirip seperti mata kodok.

Ketika adikku melihatku keesokan harinya, ia pun bertanya dengan perasaan bingung bercampur geli :
„Kenapa mata lu jadi kayak orang yang habis ditonjok?”
Aku tak mempedulikan pertanyaan adikku itu. Aku yakin kalau adikku pasti akan langsung menceritakan keadaanku ini kepada ibu. Dan ternyata dugaanku benar. Tak berapa lama, aku mendengar langkah kaki seseorang menghampiri kamarku.

„Kenapa kamu nangis?” Tanya ibu segera, setibanya di dalam kamarku, dan melihat mataku yang kata adikku tadi, seperti orang yang baru saja kena tonjok.
„Ayo, cerita sama mami, kenapa kamu nangis?”
Desak ibu kuatir campur penasaran.

„Aku putus sama Andre.” Jawabku sedih.
„Kenapa dia putusin kamu?”
„Katanya dia sudah nggak lagi sayang sama aku. Mungkin karena mataku yang nggak bisa lihat.”
Sejenak ibu terdiam.
„Nggakk usah dipikirin. Cowok nggak Cuma dia saja.” Ibu berusaha menghiburku.
„Tapi, mana ada lagi cowok yang mau sama cewek cacat kayak aku?”
Air mataku kembali mengalir. Terdengar ibu menghela nafas berat.
„Siapa bilang kamu cacat? Kamu Cuma nggak bisa lihat dengan jelas. Kamu kan cantik. Pasti nanti ada cowok yang benar-benar sayang sama kamu. Sudah, jangan nangis lagi! Ngapain nangisin cowok macam dia!”
Sebenarnya ibu ini ingin menghiburku, apa ingin mengumpat Andre sih? Tapi perkataan ibu ada benarnya juga. Buat apa aku menangisi Andre yang sudah tidak lagi sayang padaku. Lebih baik air mataku kusimpan sebagai cadangan, siapa tahu nanti diperlukan untuk menangisi yang lain. He he he…
Lagi-lagi aku harus kembali menguatkan hati, agar tidak terpuruk terlalu lama dalam kesedihan.

====

Tidak ada komentar: