Jawaban Tuhan
Oleh
: Rachel Stefanie Halim
(Terbit di Majalah Diffa 2011)
(Terbit di Majalah Diffa 2011)
Sudah hampir dua
jam aku terus membaca berulang-ulang puisi yang kutulis di atas selembar
kertas, hingga tiap katanya seperti sudah meresap ke dalam setiap pembuluh
darah di otakku. Tapi aku hanya membacanya dalam hati saja, aku masih belum
berani untuk membacanya dengan suaraku, aku benci mendengar suaraku sendiri
yang gagap. Andai saja Suster Tara tidak mengharuskan kami untuk membacakan
puisi saat acara temu kangen dengan mantan anak asuh yang sudah meninggalkan
panti kami, beserta dengan para orang tua angkat mereka, dan juga untuk
memperlihatkan kemampuan kami kepada para calon orang tua yang berniat
mengadopsi kami, mungkin aku takkan perlu bersusah payah berlatih setiap hari seperti
ini.
"Jangankan
membaca puisi, berbicara biasa saja aku sudah gagap..." pikirku sedih.
Julukan Selina si gagap yang diberikan teman-teman sekolahku terus bergema di
kepalaku, membuatku semakin takut menghadapi orang banyak, apalagi kalau harus
berbicara dengan mereka. Meski usiaku kini sudah 15 tahun, tapi penyakit
gagapku belum juga sembuh, malah terasa semakin parah.
"Brak!"
tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Helen menerobos masuk, mengejutkan aku yang
sedang melamun sendiri sambil duduk di atas tempat tidur, kertas yang berisikan
puisi buatanku masih berada di tanganku.
"Oh, ada Selina, toh..." serunya saat
melihatku. "Lagi apa kamu sendirian di kamar?"
Aku tak menjawab, dan kelihatannya Helen juga tak
begitu perduli apakah aku menjawab atau tidak. Dia terus saja berlari ke arah
lemari dan mengeluarkan semua pakaiannya, lalu dijejalkannya ke dalam koper.
"Ma... ma...mau... ke... ke
mana?" tanyaku heran.
"Orang tua
angkatku sudah menjemputku, dan sekarang mereka sedang menungguku di ruang
suster Tara." jawab Helen riang sambil tangannya menekan tutup koper dan
menguncinya.
"Bu...
bu... bukannya... Ming... minggu... de...de...depan?" Setahuku, semua anak
yang sudah terpilih akan dijemput orang tua angkat mereka pada acara temu
kangen yang baru diadakan Minggu depan.
"Orang
tuaku akan berangkat ke Jogja besok, dan kami akan menetap di sana untuk seterusnya. Jadi mereka nggak bisa
menunggu sampai Minggu depan." Jawabnya sambil berjalan ke tepi tempat
tidur, dan duduk di sebelahku, sorot matanya tampak dipenuhi kebahagiaan. Sebaliknya,
hatiku terasa sangat sedih mengetahui satu orang lagi temanku akan pergi.
"Ka... ka... kamu sa...sa...ngat be...
beruntung..." setitik air mata jatuh ke pipiku.
"Jangan
berkata seperti itu, Selina..." kata Helen lembut. Ujung jari telunjuknya
mengusap air mataku. "Percayalah kalau Tuhan punya rencana yang indah buat
setiap anak-anakNya... Aku yakin suatu hari nanti kamu juga akan menemukan
orang tua yang mencintaimu."
Aku menggelengkan kepala. "Ma... ma...
mana... a... ada... yang ma... mau... me... mengambil... anak... ga...
gagap?" Air mataku makin deras mengalir. Helen memelukku, sebelah
tangannya membelai-belai rambut panjangku. "Siapa bilang nggak ada yang
menginginkan kamu? Wajahmu sangat cantik, dan hatimu juga sangat lembut...
Tuhan sangat mencintaimu, Sel... Dan jika Dia sudah memberi, tak ada seorang
pun yang akan dapat mengambilnya... Hanya kita perlu tetap berharap dan percaya
kalau semua akan indah pada waktunya."
Helen melepaskan pelukannya, dan tersenyum memandangku. Aku segera menghapus
air mataku dengan punggung tangan, lalu kupandangi juga wajah Helen. Mungkin
kami takkan pernah lagi saling berjumpa.
Begitulah kehidupan
kami di panti asuhan, datang dan pergi. Bertemu untuk kemudian mengucapkan
selamat tinggal pada mereka yang lebih beruntung, karena sudah menemukan orang
tua yang menginginkan mereka menjadi anaknya.
Tiba-tiba pintu
kembali terbuka, dan wajah Suster Aida muncul dari sela-sela pintu. "Helen,
apa kamu sudah selesai membereskan semua barang-barangmu?"
"Sudah,
Suster." jawab Helen yang langsung berdiri dan mengambil kopernya.
"Kalau
sudah, ayo cepat kembali ke ruang Suster Tara ya, karena orang tuamu akan
segera pulang." setelah berkata seperti itu, Suster Aida pun kembali
melangkah pergi. Helen berhenti di
ambang pintu, lalu menatapku sekali lagi. "Sampai jumpa lagi ya,
Selina."
Aku hanya
mengangguk sambil memperhatikan Helen yang menghilang di balik pintu.
Ruang aula sudah
dipenuhi oleh para undangan. Terdengar pekikan kegirangan di sana-sini, ketika
para mantan anak asuh bertemu kembali dengan teman-teman mereka yang masih
tinggal di panti. Aku hanya memperhatikannya dari deretan tempat duduk anak-anak
panti yang berada di sebelah kiri panggung. Sebenarnya aku juga ingin menyapa
mereka, tapi aku malu dengan bicaraku yang gagap, jadi aku memilih untuk tetap
duduk saja, mempersiapkan penampilanku yang akan dimulai beberapa menit lagi.
Acara pun dimulai. Pertama-tama Suster Tara
memberikan kata sambutannya, setelah itu satu per satu teman-temanku tampil
membawakan puisinya, sesuai urutan yang sudah ditentukan sebelumnya. Jantungku
semakin berdebar-debar tak karuan, telapak tanganku terasa dingin, aku benar-benar
merasa takut. Ingin rasanya aku menyelinap pergi dari dalam aula, tapi itu berarti
aku akan menghilangkan kesempatan untuk
mendapatkan orang tua angkat. Padahal aku juga rindu memiliki orang tua
yang begitu mencintaiku, memanggil mereka mama dan papa, dan mungkin juga akan
memiliki kakak atau adik yang saling menyayangi. Membayangkan semua itu, membuat
hatiku terasa perih, "Bagaimana bisa aku bersaing dengan teman-temanku...?
Mana mungkin aku menjadi anak terpilih, sementara cara bicaraku saja gagap...? Pasti
penampilanku sangat buruk,..." Ratapku dalam hati. Tiba-tiba seseorang
menepuk lenganku, "Sekarang giliran kamu, Sel!" Bisik Fika yang duduk
di sebelahku. Aku buru-buru merapikan rambut panjangku yang kubiarkan tergerai
lepas hingga hampir menyentuh pinggangku, dan bangkit berdiri. Sejenak
kupandangi para hadirin yang masih bertepuk tangan sehabis menyaksikan
penampilan Sherly yang telah berhasil membawakan puisinya dengan begitu indah. Beberapa
dari mereka bahkan sampai menggeleng-gelengkan kepala, seraya lidah mereka
berdecak penuh kekaguman. Setelah suara tepuk tangan mereda, aku mulai
melangkah ke atas panggung. Beberapa lamanya aku hanya berdiri menatap para
hadirin, menarik nafas dalam-dalam guna meredam suara detak jantungku yang
berdebar-debar.
"Tolong
aku, Tuhan!" seruku dalam hati. Aku masih berharap akan terjadinya mujizat. Sudah seringkali, saat
tengah malam, aku bermimpi dapat berbicara dengan lancar, dan membaca puisi dengan
suara yang lantang dan indah.
"Siapa tahu
hari ini adalah saatnya mimpiku jadi kenyataan." harapku.
Puluhan pasang
mata terus menatapku serius, menunggu-nunggu puisi berikutnya yang akan
berkumandang melalui bibirku. Kuhela
nafas sekali lagi, dan akhirnya suaraku pun terdengar,
"A... a...
awan... be... ber... berarak... me... me... madati... la...langit... bi...biru;
Se... se... selalu... be...ber...sama... me...me...meski... pe... petir... me...
meng... hantam..." Mataku mulai berkaca-kaca, hatiku hancur, harapanku pun
menguap lenyap perlahan-lahan. "Me... me... menga... mengapa...
be...ber...pisah... ji...ji...jika... sa...saling...me...men...cinta?" Tak
ada mujizat, tak ada lagi kesempatan. Tuhan tak datang menolongku, aku
benar-benar merasa ditinggalkan, hatiku patah dan langsung remuk
berkeping-keping.
Tiba-tiba
terdengar jerit tangis seseorang dari arah hadirin. Tampak seorang wanita
berlari ke arah panggung, menaikinya, dan langsung saja memelukku. Aku begitu
terperanjat, sampai tak mampu lagi berkutik. Kubiarkan wanita itu terus
memelukku sambil menangis meraung-raung.
"Selina...
Selina..." Wanita itu terus menyebut namaku berulang-ulang, membuatku makin
keheranan. Tiba-tiba saja ruangan menjadi sangat sunyi, tak seorang pun yang
berbicara. Semua mata memandang kami dengan penuh tanda tanya, hanya tangis
wanita itu saja yang menggema di seluruh ruangan. Namun jantungku seperti berhenti
mendadak, ketika kudengar wanita itu berkata dengan suara parau,
"Selina... maafkan mama, sayang..." Tubuhku menegang, mataku
terbelalak, aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Sama sekali mama tak pernah
bermaksud meninggalkan kamu, Selina..." Wanita itu terus berkata-kata di
tengah-tengah tangisnya. “Tapi... semua karena kondisi yang memaksa mama
menitipkanmu di panti ini…”
Kupejamkan kedua
mataku, namun air mata tetap saja menerobos keluar membasahi kedua pipiku. Kini
tak salah lagi, wanita yang memelukku memang menyebut dirinya sendiri mama, dan
itu berarti aku ini anaknya. Tapi aku masih tak mampu membuka mulutku, aku
masih bingung dengan apa yang sedang terjadi padaku, semuanya terjadi begitu
tiba-tiba dan terasa seperti mimpi.
"Mama mohon... maafkan mama...Selina… anakku..."
Kini wanita itu telah melepaskan pelukannya, namun kedua tangannya masih
memegang kedua bahuku, matanya yang basah terus menatap mataku. Aku
balas menatapnya, dan tampak garis-garis wajahku sendiri terpahat di wajahnya.
Tiba-tiba harapan yang tadi sudah menguap lenyap, kembali hadir mengisi penuh ruang-ruang
di hatiku. Seluruh impianku tentang sebuah keluarga kini muncul perlahan-lahan,
membentuk siluet yang makin lama semakin tampak sempurna, dan berakhir pada
sosok wanita di hadapanku, yang bukan hanya sebagai ibu angkat, tapi ibu
kandungku sendiri.
"Mama..." panggilku lirih tanpa
tergagap.
1 komentar:
Kereeeen, kak. :)
Posting Komentar