Rabu

Novelku Yang Belom Berjudul

Bab I

Malam kian pekat menampilkan keengganan langit untuk memamerkan berjuta koleksi bintang-bintangnya, menghantarkan keheningan yang membuat kalut dalam benak Rio seakan lebih keras berteriak.
“Kenapa ini semua harus terjadi..., kenapa.., kenapa??” jerit Rio membatin. Perasaan kecewa yang kini bermuara dalam hatinya semakin membuatnya tak mampu lagi menyelaraskan antar pikiran dan hati nuraninya.
Rio yang sejak tadi berbaring menelungkup dan membenamkan wajahnya ke atas bantal, kini membalik tubuhnya menelentang, Matanya yang sayu menatap kosong ke langit-langit kamarnya yang masih terang oleh cahaya lampu. Sesekali bibirnya menggumamkan sebuah nama yang sudah begitu akrab ditelinganya.
“Sally...,” ratapnya lirih.
Wajahnya meringis menahan sesak yang sekarang terasa makin menekan dadanya, tanganya mengepal membuat guling yang berada tepat di sebelahnya menjadi korban sasaran tinjunya.
“Kenapa Sally yang harus mengalami semua ini...? ”
Pikirannya terus bergulat melawan keharusanya untuk mempercayai kabar yang baru saja diterimanya melalui pesawat telepon yang mengabarkan bahwa Sally, cewek manis yang selama dua tahun ini telah memadati ruang hatinya dengan berjuta perasaan cinta, yang demi mendapatkanya, Rio rela mengorbankan mobil BMW hitam kesayangannya dipinjam Odi buat ngegebet cewek dari fakultas hukum yang baru dikenalnya saat mereka ngantri beli bakso di kantin kampus, lantaran Rio nggak berhasil mengajak Sally (yang saat itu masih jadi cewek incerannya) buat menemaninya berdansa di acara ulang tahun Fira, sahabat kental Sally sejak mereka masih duduk di sekolah dasar, dan yang sekerang menjadi teman sekelas Rio dan Odi di fakultas ekonomi. kini Sally yang sama, Sally yang telah menjadi miliknya, harus kehilangan penglihatannya akibat kecelakaan sialan yang dialaminya dua hari lalu.
Siang itu, Sally sedang terburu-buru menyeberang jalan besar di depan kampusnya untuk mengambil tugasnya yang tertinggal di rumah Lia, teman sekelasnya di fakultas psikologi semester 8. Kebetulan rumah Lia memang tidak terlalu jauh dari seberang kampus. Biasanya mereka menyeberangi jalan besar itu dengan melewati jembatan penyeberangan, tapi siang itu Sally sedang terburu-buru sehingga ia tidak mau buang-buang waktu lagi dengan menaiki tangga jembatan. Setelah melirik kiri kanan, dan merasa sudah cukup aman untuk menyeberang, Sally pun tancap gas berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba sebuah taksi melintas dengan kecepatan tinggi dan Sallypun tidak dapat lagi menghidarinya,ia tertabrak hingga tubuhnya terpental jauh, kepalanya membentur trotoar yang berada di sisi seberang jalan.

“Ujubile buzzeet...!” teriak Odi keesokan harinya saat dia membuka pintu kamar Rio dan dilihatnya Rio yang masih terbaring menelungkup dengan sebelah tanganya menggantung lemas di sisi tempat tidur.
“woi..., bangun pemalas..!” Odi mengguncang-guncang tubuh Rio dan sesekali memukulnya dengan guling. Rio membalik tubuhnya dan segera mengibaskan guling yang hampir mendarat lagi di wajahnya.
“Aduh..., nggak tahu apa orang lagi enak tidur.” Gerutu Rio yang sekarang menguap besar-besar sebesar bola basket.
“Ya ampun..., lihat dong ini sudah jam berapa.., mau lu dipelototin dosen killer itu lagi? Ich, gue sih ogah deh!”
Sementara Odi masih meluncurkan sejuta ocehanya yang kayak klakson mobil konslet itu, Rio melirik jam dinding yang terletak tepat di depannya dan dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat delapan belas menit. Secepat kilat Rio langsung melompat dari tempat tidurnya dan melesat masuk ke kamar mandi.

Brak!!

“Astaga!” pekik Odi kaget mendengar Rio membanting pintu kamar mandi, “untung jantung gue masih nempel ditempatnya…”

Lima menit kemudian, pintu kamar mandi dibuka dan Rio keluar dengan masih telanjang bulat dan basah kuyup.
“Aaaa.....!” teriak Odi sambil menutupi wajahnya dengan kedua belah tanganya.
“Sorry, sorry, gue lupa bawa handuk ke kamar mandi, lagian kita kan sama-sama cowok ini.” Kata Rio sambil terus menyeka air dari tubuhnya dengan handuk yang baru saja diambilnya dan bergegas mengenakan pakaianya.
“AYo, kita cabut!” katanya lagi buru-buru sambil mengambil kunci mobil dan berlari ke mobilnya. Odi yang dari tadi masih menutupi wajahnya dengan kedua tanganya, tapi lama-kelamaan jari-jarinya mulai merenggang, sehingga dia bisa mengintip Rio dari sela-sela jarinya, kini bergegas juga menyusul Rio ke mobil.

Sepanjang perjalanan menuju ke kampus, Rio hanya terdiam, wajahnya tampak murung. Sementara di sebelahnya, Odi, sedang asyik mengunyah permen karet yang berhasil di temukanya di laci dashboard tempat Rio menyimpan segala perlengkapannya, seperti kaca mata hitam, sisir, handuk kecil, jel rambut, bahkan sampai sabun, sikat gigi beserta dengan odolnya ada di situ semua, “kenapa nggak sekalian aja gayung lu masukin kesini juga?” begitu yang pernah dikatakan Odi saat pertama kali ia mencoba membuka laci dashboard Rio untuk melihat-lihat apa saja isi di dalamnya.
“Kenapa sih lu dari tadi diam aja? Memangnya sudah dapat kabar apa dari Sally?” tanya Odi memecah kesunyian, “bukannya Sally sudah ditangani oleh dokter top di Prancis sana, terus, kenapa lu masih sedih kayak gitu sih?”
Rio tak langsung menjawab, wajahnya masih tampak diam membatu. Odi terus menatapnya bingung.
“Gue baru dapat kabar semalam ,” akhirnya Rio mampu membuka mulutnya, “kalau operasi Sally...,” Rio menghela nafas dan kemudian dengan perlahan ia melanjutkan, “operasi Sally, nggak berhasil, Di.”
“Apa?” Odi tersentak kaget, permen karet dimulutnya sampai ikut melompat keluar dan mendarat tepat di atas tongkat persneleng yang saat itu sedang berada di gigi dua.
“Yakh.., jijay banget sih lu!” teriak Rio jijik
“Sorry jek, nggak sengaja, lagian lu jaga sih yang bikin gue kaget.” Sahut Odi cepat sambil merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sapu tangan lusuh yang kemudian digunakannya untuk mencomot permen karet yang menempel di tongkat persneleng itu.
“Lu bilang tadi kalau operasi Sally nggak berhasil, maksudnya apa?”, lanjut Odi penasaran bercampur cemas, “keadaan Sally bagaimana sekarang?”
Namun Rio kembali terdiam, wwajahnya tampak semakin murung, kerongkongannya tercekat, membuat dadanya terasa sesak. Odi hanya dapat menunggu dengan gelisah, matanya terus mengamati Rio . Tapi Rio malah mempercepat laju mobilnya. Pikirannya begitu kalut. Ingin rasanya dia melarikan diri saja dari semua kenyataan pahit ini.
“Ayo bilang, Yo!”, akhirnya Odi sudah tak sabar lagi menunggu jawaban Rio yang tidak juga keluar dari mulutnya, “bagaimana keadaan Sally sekarang?”
“Sally..,dia..,” jawab Rio tergagap, “Sally sekarang buta , Di.”
“Apa?” teriak Odi lagi kaget, tapi kali ini Rio langsung merapatkan tubuhnya ke pintu mobil di sebelah kanannya, takut kalau-kalau ada benda lain lagi melompat keluar dari mulut Odi. Tapi ternyata tidak ada yang terjadi, akhirnya Rio kembali membetulkan posisi duduknya sambil terus mengawasi laju mobilnya.
“Sally buta, Yo?...maksud lu nggak bisa lihat gitu?”tanya Odi mencoba meyakini apa yang baru saja didengarnya. Rio mengangguk mengiyakan.
“Oh GOD…!” ratap Odi tak percaya, sambil sebelah tangan menepuk dahinya yang lebar kayak lapangan terbang,
“Gue turut bersedih, Yo.” Lanjutnya lirih, “tapi, menurut gue, inilah saat lu menunjukkan rasa sayang lu ke Sally, sekarang ini pasti dia lagi sangat membutuhkan kehadiran lu buat memberikan semangat.”
“Itulah yang bikin gue bingung, Di,” Rio menghela nafas untuk yang sekian kalinya, “gue nggak tahu harus bagaimana...gue...”, namun Rio tidak melanjutkan perkataannya. Mereka saling terdiam, menciptakan suasana hening di dalam mobil, hanya suara mesin mobil saja yang masih giat berbicara.
Ketika akhirnya mereka sampai di halaman kampus, Rio dan Odi masih tak saling bicara. Setelah Rio memarkirkan mobilnya di bawah pohon rindang tempat biasanya dia memajang BMW hitamnya selama di kampus. Rio dan Odipun segera turun dari mobilnya dan secepat kilat melesat menuju ke kelasnya yang terletak di fakultas ekonomi lantai 5. Pintu kelas hampir saja ditutup, ketika Rio berhasil menahannya dari arah depan . Dengan masih terengah-engah merekapun masuk dan mengambil bangku dideretan paling belakang.

Rio dan Odi merupakan mahasiswa semester 8 di fakultas ekonomi. Sejak awal mereka kenalan di depan ruang pendaftaran mahasiswa baru, Rio dan Odi sudah merasa cocok satu sama lain dan mereka berjanji untuk selalu mengambil mata kuliah yang sama, itupun kalau yang satu tidak ketinggalan yang lain dalam menyelesaikan setiap mata kuliah. Tentu saja Rio cukup beruntung mendapatkan teman seperti Odi, karena walaupun tampangnya agak sedikit dongo, tapi Odi merupakan anak yang cerdas, setiap mata kuliah mampu diserapnya dengan mudah, karena itu Rio sering meminta Odi untuk mengajarinya atau kalau bisa menyelesaikan semua tugas-tugasnya, dengan imbalan Odi bakal ditraktir Rio apa saja makanan yang Odi mau. Sebenarnya Rio juga nggak kalah cerdasnya dengan Odi, hanya bedanya Rio memang tipe cowok yang super cuek, ia lebih peduli dengan hobinya tentang otomotif dibandingan dengan kuliah yang menurutnya sangat membosankan. Rio memiliki postur tubuh yang tinggi , berkulit putih dan berwajah tampan, membuat setiap mata cewek-cewek kampus selalu melirik kepadanya ketika mereka berpapasan denganya, ditambah BMW hitam yang sering digunakan Rio dengan segala modifikasinya, membuat dia semakin tenar dikalangan anak-anak kampus. Odi, yang walaupun tidak setampan Rio, malah lebih dibilang mirip dosen matakuliah filsafat karena sama-sama memiliki hidung sebesar bakpao, rambut keriting, ditambah lagi kaca mata minusnya, namun Odi banyak disukai cewek-cewek kampus karena kebaikan hatinya yang suka menolong, dan kebanyakan cewek-cewek yang sering ditolong Odi adalah cewek-cewek yang berusaha meminta keterangan tentang Rio atau yang berusaha meminta Odi untuk langsung mengenalkanya dengan Rio, sehingga tak jarang Odi mendapatkan banyak coklat, dibelikan bakso oleh cewek-cewek tersebut, atau malah ada yang sampai rela ngobrol berjam-jam dengan Odi di HP demi hanya untuk mendapat secuil informasi tentang sipemilik BMW hitam itu. Yah lumayanlah.., ada untungnya juga buat Odi . begitulah, dua sahabat yang mutualistik alias saling menguntungkan.

Selama kuliah berlangsung, Rio tak mampu berkonsentrasi, tak satupun materi kuliah yang disampaikan dosen pagi itu mampir di otaknya. Bayangan Sally yang cantik, sederhana namun sempurna dengan rambut hitamnya yang panjang tergerai indah, terus menari-nari dibenaknya, membangkitkan sejuta perasaan rindu yang terasa semakin erat mencengkram hatinya. Namun ketika kabar itu kembali terngiang-ngiang di telinga Rio, seketika itu pula bayangan tentang Sally beserta segala perasaan manis yang sejenak tadi sempat menguasainya, lenyap begitu saja, seakan ada batu hitam besar jatuh menimpa dirinya, menghancurkan segalanya, meremukan semua perasaan indah yang sesaat membawanya melambung tinggi dalam kekaguman akan kesempurnaan seorang gadis yang sangat dicintainya, kini yang terasa di dalam hatinya tinggalah kepingan-kepingan kekecewaan yang menghimpitnya semakin terpuruk dalam kesedihan yang menyakitkan.

“Masihkah sebenarnya aku mencintainya?” Rio membatin sendiri.
“Mungkinkah aku mampu mencintai seorang gadis buta?...ah..., entahlah.” pikiranya terus melayang, menerawang jauh, menenggelamkan dirinya semakin larut dalam keragu-raguan akan perasaan yang tengah berkecamuk dalam hatinya.

“Astaga Yoooo,”
Rio tersentak bangun dari lamunannya yang panjang ketika mendengar sebuah teriakan dari arah depannya. Dilihatnya Odi yang sedang berdiri dihadapanya sambil berkacak pinggang menatapnya.
“jadi lu dari tadi nggak dengerin omongan gue?” lanjut Odi sambil masih berteriak kesal.
Sejenak Rio tampak kebingungan, ditatapnya sekeliling ruang kelas yang sudah kosong.
“pada kemana yang lain?” tanya Rio polos.
“ke laut!” jawab Odi sekenanya.
“emangnya lu ngomong apa sih tadi?” tanya Rio lagi tanpa rasa bersalah.
“nggak tahu, ah!” jawab Odi ketus sambil membantu Rio memasukan alat-alat tulisnya ke dalam tas Rio , kemudian merekapun bergegas meninggalkan kelas.

berlanjut...

Tidak ada komentar: