Kamis

Novelku Yang Belom Berjudul (Lanjutan)

Bab 2

Malam itu, Rio dan kedua orang tuanya sedang menyantap makan malam mereka di rumahnya. Hawa dingin menelusup masuk membuat suasana hening dalam ruang makan
tersebut menjadi lebih terasa. Rio duduk berseberangan dengan orang tuanya yang duduk berdampingan mmenghadap meja makan persegi panjang besar yang terletak
tepat di tengah ruang makan mewah dengan lukisan bunga mawar besar terpampang indah di dinding sebelah depan, sementara setiap sudut dari ruangan tersebut
dihiasi perabot-perabot antik dari berbagai negara, membuat suasana di ruangan makan itu tampak semakin semarak. Tak satupun dari mereka berbicara, hanya
bunyi denting sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring mereka saja yang terdengar.

“Bagaimana kabar Sally sekarang,Yo?” tanya ayah Rio tiba-tiba membuat Rio tersedak saking terkejutnya.

“hmm...mm...” Rio gelagapan menanggapi pertanyaan yang tak disangkanya akan meluncur dari mulut ayahnya, karena yang Rio tahu selama ini ayahnya tak pernah
secara terang-terangan mau mencampuri urusan anak semata wayangnya, apalagi yang menyangkut urusan pribadinya.

“hmm..mm..,” lanjut Rio masih tampak gugup, “ operasi Sally... hmm.. operasinya .. gagal.”

Terdengar pekik terkejut dari ibu Rio, sementara wajah ayahnya masih tetap tampak tenang menatapnya.

“lantas,” tanya ayah Rio lagi dengan tetap menampilkan kharismanya sebagai seorang kepala rumah tangga dan pemilik salah satu perusahaan besar di jakarta,
“bagaimana keadaanya sekarang?”

“dia...,” terbersit keraguan dalam hati Rio untuk mengatakan yang sebenarnya, namun setelah Rio menghela nafas panjang, akhirnya diapun berkata: “Sally
sekarang buta.”

“Oh, Tuhan!” ibu Rio kembali terpekik kaget, tangannya terangkat menutupi mulutnya, Rio melihat mata ibunya mulai berkaca-kaca.

“Masih ada harapan untuk sembuh?” tanya ayahnya lagi. Rio mengangkat bahu. Kini terdengar ayahnya menghela nafas, “kalau begitu Rio,” lanjut ayahnya, “berusahalah
untuk melupakannya!”

“Papa!” pekik ibu Rio tak percaya, dan kini menatap tajam ke arah suaminya.

“Tak mungkin bukan ,kau akan menikahi seorang gadis buta?” sambung ayahnya lagi tanpa sedikitpun menghiraukan sikap protes yang muncul dari sang isteri.

“maksud papa,... aku harus mengakhiri hubunganku dengan Sally?” kini mata Riopun menatap lurus ke dalam mata ayahnya, mencoba mencari jawaban yang tak dapat
dimengertinya, atau mungkin dirinya memang tak mau mengerti.

“Ya!” jawab ayahnya mantap.

“Astaga, papa!” sahut ibunya yang sekarang mulai menangis.

“sekarang bukan waktunya lagi terbawa perasaan.” ujar ayahnya, tak jelas kepada siapa perkataan itu ditujukan. Tapi yang jelas bagi Rio bahwa mata ayahnya
masih menatap tajam ke arahnya, membuat Rio semakin tampak kebingungan.

“Ingat!” tambah ayahnya lagi,yang kini lebih ditujukan kepadanya, “kamu adalah satu-satunya harapan papa, apa jadinya nanti jika kamu memiliki seorang isteri
yang buta, yang tidak mampu lagi berbuat apa-apa?...jalanmu masih panjang,... cobalah untuk mencari seorang gadis yang dapat lebih diharapkan... Janganlah
mengorbankan masa depanmu hanya karena sebuah perasaan yang akan menjerumuskan dirimu sendiri... Mengerti?”

tanpa menunggu lagi jawaban dari Rio, ayahnya langsung berdiri dan meninggalkan ruang makan menuju ke kamarnya.

Sempurnalah kini perasaan bingung yang berkecamuk dalam benak Rio, di satu sisi di dalam pikirannya mengatakan bahwa apa yang baru saja disampaikan ayahnya
memang benar, tapi entah di sudut sebelah mana dihatinya juga merasakan sebuah perasaan yang membuatnya sulit untuk melepaskan gadis yang sudah selama
dua tahun ini sangat dicintainya, dan yang kini telah menjadi seorang gadis cacat. Sebenarnya perasaan apakah yang sedang dirasakanya saat itu, perasaan
sayang?... Cinta?... atau hanya...perasaan kasihan?? Entahlah, Rio tak mampu lagi berpikir.

Dipandanginya sang ibu yang saat itu masih menangis tersedu-sedu. Karena tak tahu lagi harus berbuat apa, akhirnya Riopun bangkit dari kursinya dan berlalu
menuju ke kamarnya yang terletak dilantai dua, meninggalkan ibunya meratap sendirian di ruang makan.

“Dor!” teriak Odi yang tiba-tiba melompat dari arah belakang dan langsung berdiri dihadapan Rio sambil melambai-lambaikan satu telunjuknya yang buntet ke
wajah Rio yang saat itu sedang bersandar dibatang sebuah pohon menatap kosong ke deretan mobil-mobil yang sedang terparkir sejajar dengan BMW hitamnya.

“Kemana aja sih, lu?” tanya Rio berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar teriakan Odi tadi. “nggak inget apa orang nungguin disini sampai kaki
kesemutan?”

“sorry jek,” jawab Odi sambil buru-buru menyusul Rio berjalan ke mobilnya, “abis ketemu Sandra di depan ruang dosen, dia tadi tanya tentang kabar Sally
ke gue, yah, gue ceritain aja semua,... dia juga tanya tentang lu kog.” Sambung Odi bersemangat.

Rio mengijak gas memundurkan mobilnya, dan langsung mengeremnya mendadak, Jedot! Tubuh Odi terbanting ke depan, dahinya membentur kaca depan mobil dan meninggalkan
sebuah benjolan besar segede telur bebek.

“aduuuh!!” rintih Odi kesakitan. Tangannya terus mengusap-usap benjol di dahinya.

“Sori, jek, nggak sengaja!” Rio melirik temannya itu, merasa kasihan. Tapi Rio malah langsung menancap gas lagi, melesat keluar meninggalkan area kampus.

Sudah enam hari berlalu dari sejak Rio menerima kabar tentang Sally, namun sedikitpun Rio belum juga mampu menyingkirkan perasaan kecewanya terhadap kebutaan
Sally. Perubahan sikapnya yang semakin pendiam, membuat Odi jadi ikut-ikutan linglung. Sering Odi dibiarkan mengoceh sendirian malah kadang ketawa sendiri
kayak orang sakit jiwa, sementara Rio hanya terdiam kayak patung bali.

Mobil Rio terus melaju dengan kecepatan tinggi, sementara Odi masih sibuk mengusap-usap dahinya berusah mengempeskan benjolanya. Tapi bukannya kempes, benjolnya
sekarang malah terasa semakin membesar.

“Gara-gara elo, nih, dahi gue jadi benjol gede kayak gini!” protes Odi kesal.

“Kan gue sudah bilang sori.” Sahut Rio mengingatkan.

“Sora, sori, sora, sori, benjol mana ngerti kata sori!” Rio hanya tersenyum hambar mendengar ocehan temannya.

Lama mereka saling terdiam. Setelah lelah mengusap-usap dahi, Odipun menyenderkan kepalanya ke sandaran jok. Matanya dipejamkan, merasakan hawa sejuk yang
keluar dari AC mobil.

“lu nggak telepon Sally,Yo?” tanya Odi tiba-tiba memecahkan kesunyian yang sesaat lalu telah tercipta di antara mereka. “lu masih sayang Sally, kan?”

“Sayang???” hati Rio mencelos ketika kata itu melintas kembali di benaknya. Namun perasaan itu segera lenyap, ketika handphone Rio bergetar disaku celananya.
Rio langsung mengambil handphone itu dan terkejut saat melihat nomor yang muncul dilayar handphonenya. “Sally.” Gumamnya pelan. Odi yang mendengar nama
itu disebut langsung menoleh dan menatap Rio lekat-lekat.

“Halo,” jawab Rio berusaha setenang mungkin.

“Halo!” terdengar sebuah jawaban yang membuat hati Rio kembali mencelos.

“suara itu,...” batin Rio lirih. Entah kenapa perasaan rindu yang selama ini seakan telah terkubur amat dalam di dasar hatinya, kembali meluap, membara,
membuat dadanya terasa kian mambakar. Rio menghela nafas, mencoba membuang selusin hawa panas yang menyelubungi hatinya.

“Halo!” kembali suara itu terdengar memanggilnya.

“O, halo!” jawab Rio yang kini tak dapat lagi menutupi kegugupannya, “hmm.., Sally, dimana kamu?” Astaga.., pertanyaan yang bodoh! Padahal kan Rio sudah
jelas-jelas tahu bahwa nomor yang muncul di layar handphonenya tadi adalah nomor rumah Sally di jakarta.

“kamu...,” kata Sally mengacuhkan pertanyaan Rio, “kenapa kamu nggak pernah lagi telepon aku?”

“aku... aku...”

klik. Suara telepon ditutup.

“halo,... Sally!..Sally!”

sunyi.

Tanpa pikir panjang lagi, Rio langsung mengambil arah memutar, melesat menuju jalan-jalan yang sudah sangat dikenalnya. Odi hanya diam terpana menyaksikan
tingkah temannya, membuattnya tak berani lagi mengajukan satu pertanyaanpun, ia hanya terus memandang jalan, mengira-ngira arah tujuan Rio.

Setengah jam kemudian, Rio memakirkan mobilnya di depan sebuah rumah besar berlantai dua dengan gerbang coklat memagari rumah tersebut.

“Den Rio!” terdengar seruan dari balik gerbang, dilihatnya mbok Sarmi berlari ke arah gerbang, membukanya dan mempersilakan kedua pemuda itu masuk.

“Aduh, den, kasihan non Sally, sekarang non dah nggak bisa lihat lagi.” Kata mbok Sarmi sedih sambil menyusul Rio dan Odi yang langsung bergegas menuju
ke ruang tamu yang tertata rapi dengan sofa biru tuanya yang terpajang sejajar dengan fotao keluarga berukuran cukup basar, di sana terlihat kedua orang
tua Sally sedang duduk berdampingan, sementara Sally dan kakak laki-lakinya, Sandy, berdiri tepat dibelakangnya.

“Bisa tolong panggilkan Sally, mbok?” tanya Rio sambil masih berdiri di tengah ruang tamu.

“o ya, den. Mudah-mudahan non mau keluar kalau ada den Rio, soalnya sejak pulang dari Prancis non mengurung diri terus di kamarnya.” Sementara mbok Sarmi
pergi memanggil Sally, Rio dan Odi menghampiri sofa dan duduk di atasnya, menunggu. Namun sesaat kemudian mbok Sarmi kembali, wajahnya terlihat makin sedih
dan matanya tampak berkaca-kaca .“maaf, den, non Sally nggak mau keluar juga, pintunya dikunci dari dalam.”

“biar saya saja yang ke kamarnya kalau begitu.” Kata Rio sambil berjalan menaiki tangga menuju ke kamar Sally yang terletak di lantai dua.

“Sal.., Sally.., tolong buka pintunya Sal!” seru Rio setibanya di depan pintu kamar Sally sambil terus mengetuknya, namun tak sedikitpun terdengar jawaban.
Rio mencoba membukanya, tapi pintu itu tetap terkunci rapat.

“please, Sal..., buka pintunya.., ini aku, Rio.., aku ingin bicara sama kamu...!”Rio terus berusaha membujuk Sally, namun sia-sia. Kamar itu seakan sunyi,
tak berpenghuni. “baiklah, kalau memang kamu belum mau ketemu sama aku, aku akan pergi!”kata Rio putus asa. Ditatapnya pintu itu sekali lagi, berharap
agar pintu itu bereaksi walau hanya setitik kecil getaran, tapi tetap tak terjadi apa-apa, seakan pintu itu sudah membatu. Akhirnya Riopun membalikan badannya,
dan baru hendak melangkah untuk pergi, ketika didengarnya suara kunci pintu yang diputar. Segera ia kembali membalikan badan, dan dilihatnya pintu bergerak
terbuka. Seorang gadis muncul dari balik pintu, matanya yang sembab menatap kosong ke arah jendela yang berada di seberang kamarnya. Rio yang masih berdiri
terpaku, memandang heran ke arah mata gadis itu yang kini berdiri tepat dihadapannya. Mata yang masih tampak sempurna, mata yang sama, yang pernah begitu
sangat dikaguminya, mata yang pernah membuatnya begitu tergila-gila, namun..., mata itu kini terlihat begitu hampa, kosong, seakan tak ada lagi kehidupan
di dalamnya.

“Sal!” akhirnya Riopun berkata, namun suaranya tercekat, membuatnya terdengar begitu pelan, hampir menyerupai bisikan. Mendengar itu, mata Sally langsung
bereaksi, bergerak seakan mencari arah datangnya sumber suara, dan berhenti tepat di bibir Rio yang saat itu sedang menunduk menatapnya.

“Oh, Tuhan!” batin Rio pedih melihat mata yang kini terasa begitu asing baginya. Dilambai-lambaikan tangannya mencoba melihat reaksi yang mungkin akan ditimbulkan
oleh mata itu.

“percuma, Yo.”

Rio tersentak mundur dan langsung menarik kembali tangannya, “lho, kog Sally bisa lihat tanganku, ya??”

Pikir Rio heran.namun pertanyaan itu segera teredam kembali ketika Sally melanjutkan kalimatnya, “percuma aja kamu bicara, Yo, karena aku sudah tahu apa
yang kamu ingin katakan.”

“maksud kamu apa??” tanya Rio semakin bingung.

Sally tak langsung menjawab, ia melangkah menghampiri kursi kayu yang terletak di dekat jendela. Langkahnya terlihat ragu-ragu namun pasti. Sementara tangannya
dibiarkannya tetap tergantung lemas di sisinya. Dan, ketika tubuhnya menabrak punggung kursi, barulah ia mengulurkan tangannya menyentuh kepala kursi itu,
menariknya mundur dan kemudian duduk di atasnya, menghadap jendela yang masih terbuka. Angin senja mengalir masuk membelai lembut wajah Sally yang masih
terlihat muram.

Rio yang masih berdiri waswas mengawasi gerak-gerik Sally, sekarang ikut menarik kursi dan duduk di sebelah Sally.

Sesaat mereka saling membisu, sampai akhirnya Rio memberanikan diri untuk berkata lebih dulu.

“maaf kalau aku..”

“aku ngerti, kog!” kata Sally menyela perkataan Rio yang belum sempat diselesaikannya.

Ditatapnya gadis itu lekat-lekat, mencoba memahimi apa yang sesungguhnya ada di dalam pikiran gadis yang seakan baru kali ini dikenalnya. Namun, semakin
di lihatnya, semakin ia merasakan getaran yang kian bergemuruh dalam hatinya. Sally yang begitu cantik, sally yang begitu sangat dicintainya, “ah...,
andai saja dia tidak buta.” pikirnya lirih.

“Rio,” ujar Sally memecah kebekuan yang sempat tercipta diantara mereka, “aku tahu ... pasti sulit bagi kamu buat terima keadaan aku yang sekarang ini,”
suara Sally terdengar begitu tenang, “aku juga bisa ngerasain kog, bagaimana kamu harus menghadapi semua kenyataan ini,... kamu pasti kecewa,..bingung,..
kuatir,... dan semua perasaan itu membuat kamu takut untuk mengatakan yang sejujurnya tentang perasaan kamu terhadap aku sekarang,karena itu semua mungkin
bisa membuat hatiku semakin terluka.,” Sally menarik nafas, terdiam sesaat, dan kembali melanjutkan, “kupikir sudah cukup waktu yang kupakai untuk merenung,...
dan sudah terlalu banyak Air mata yang kukeluarkan untuk meratapi kebutaanku. Sekarang saatnya buat aku untuk bangkit dan mulai menata kembali kehidupanku,
menapakinya dengan segala kemampuan yang ada dalam diriku, walaupun...., aku harus menjalaninya seorang diri,...aku nggak mau terkungkung terus-menerus
dalam perasaan mengasihani diri sendiri.”Sally menundukan kepalanya sedikit, memejamkan kedua matanya, namun dengan cepat ia telah membuka matanya kembali.
“sekarang, aku siap buat ngedengarin apa aja yang mau kamu katakan, meski itu akan terasa sangat menyakitkan bagiku.”

Mendengar semua penuturan Sally yang seakan begitu mengerti dirinya, mengerti apa yang dialaminya selama ini, yang sudah menguras habis pikirannya, membuat
sesuatu dalam hati Rio seakan terlepas, beban yang telah menindihnya begitu berat, kini seakan terangkat satu demi satu, membuatnya bisa kembali bernafas
lega. Namun, mengapa ketika perasaan dimengerti itu telah berhasil diperolehnya, malah membuatnya semakin sulit untuk meninggalkan Sally, membiarkannya
berjuang seorang diri dalam kebutaannya. Sesungguhnya perasaan apakah yang sedang dialaminya,...perasaan sayang??..cinta??..atau...hanya sekedar perasaan
kasihan??,... entahlah!!!

Kesunyian kembali menguasai ruangan itu, hanya kicau burung yang terdengar dari kejauhan, disusul dengan suara dengkur Odi yang terdengar sampai ke lanti
atas.

“kamu kesini sama Odi, Yo?”

Rio menganggukan kepalanya, tapi segera sadar bahwa Sally tidak bisa melihat anggukannya, maka ia buru-buru menjawab “iya!”

“kalau begitu, lebih baik kamu sekarang pulang, kasihan Odi menuggu terlalu lama.” Kata Sally pengertian.

“biarin aja, toh nyatanya dia menikmati tidurnya.” Jawab Rio masa bodoh.

Sally hanya tersenyum, karena sudah cukup mengenal bagaimana kelakuan dua sahabat itu.

Tiba-tiba Rio bangkit dari duduknya, dan berlutut di depan Sally, tangannya meraih kedua tangan Sally, menggenggamnya, dan kemudian menciumnya dengan sangat
hati-hati seakan kuatir bibirnya dapat melukai tangan yang lembut itu.

“Sal,” kata Rio, suaranya terdengar sangat pelan tapi mantap, sementara matanya menatap mata Sally yang masih memandang kosong ke arah jendela, “aku.., aku
nggak akan pernah meninggalkan kamu.”

“maksud kamu, kamu nggak akan meninggalkan aku, Yo,.. kamu akan tetap menyayangi aku seperti dulu???” kilatan cahaya melintas di mata Sally, membuat mata
itu seakan kembali hidup. Rio terperangah Melihat kilatan cahaya itu, tapi dirinya masih tetap menjawab “ten.., tentu!”

namun cahaya segera memudar dan mengembalikan kembali sosok mata yang kosong, hampa, seakan kilatan tadi hanyalah halusinasi Rio saja.

“tapi.., apa kamu yakin, Yo??... apa yang kamu rasain itu bukan hanya perasaan kasihan terhadap kebutaanku ini??”

Rio menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia berkata: “Sal,...memang aku akui kalau aku belum yakin dengan perasaanku sekarang, tapi aku mau belajar,..
belajar untuk terima kamu apa adanya,.. belajar lebih lagi memahami bukan saja diri kamu tapi juga semua perasaan kamu... kamu mau kan beri aku waktu
buat mempelajari semua itu?” tanya Rio penuh harap.

Sally menganggukan kepalanya. Seulas senyum menghiasi bibirnya.

“thanks ya, Sal!” Rio mengangkat tubuhnya sedikit dan menempelkan bibirnya ke kening Sally.
Angin terus berhembus melalui jendela yang terbuka. kicau burung masih terdengar dari kejauhan, mengiringi suara dengkur Odi yang masih bertahan pada volume
dan intonasi nada yang sama. Sangat harmonis!

1 komentar:

hiasmkd mengatakan...

hik... hik... hik...
basah dech clana.. eits... sapu tanganku...
rachel yg malang eh.. maksudku sally yg malang... rio yg (apa yah istilahnya?) mo blajar committed to love her dech! realitanya gak gampang loh..
jujur aja, spt dah aku bilang sbtulnya aku kurang suka baca novel (mending nonton film aja) tapi krn yg nulis critanya tuh... eemmm...... ca'em gitu! (he.. he... ati2 ntar idungnya bengkak tuh!) yah aku bela2in dech buat ngliatin, eh maksudku buat baca critanya. so far so good, very goooood.