Rabu

Ibuku Adalah Pahlawanku

“Sebaiknya ibu menyekolahkan anak ibu ini di SLBA saja, karena mata anak ibu lambat laun akan menjadi buta!”
Mendengar kesimpulan yang disampaikan oleh dokter mata itu, sekujur tubuh ibuku langsung saja terasa lemas.
Ini merupakan dokter spesialis mata ketujuh yang kami datangi, dan semuanya angkat tangan dengan kasus mataku.
Saat itu aku baru kira-kira berusia enam tahun. Aku masih bisa melihat cukup jauh,. Masih bisa berjalan sendiri, dan memperhatikan orang-orang berlalu lalang di sekitarku. Hanya kalau melihat wajah orang atau menonton televisi, aku harus melihatnya dengan jarak kurang dari satu meter. Apalagi saat ibuku sedang mengajariku membaca, aku harus mendekatkan buku itu ke wajahku, agar aku bisa melihat tulisannya dengan cukup jelas. Hal itulah yang membuat orang tuaku kuatir, dan langsung memeriksakan mataku ke beberapa dokter mata, baik yang ada di Sukabumi maupun di luar kota. Dari berbagai ukuran lensa kacamata sudah dicobakan ke mataku, tapi semuanya itu tidak berpengaruh bagi penglihatanku, sehingga membuat para dokter itu pun jadi ikut-ikutan bingung. Dan akhirnya, sampailah kami pada dokter terakhir yang menyatakan dengan tegas kepada ibuku kalau mataku ini akan menjadi buta.

Sepanjang perjalanan pulang dari dokter mata itu, ibuku hanya terdiam.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Aku jadi merasa tak nyaman. Biasanya kan ibu cukup cerewet. Selalu saja ada perkataan yang diucapkan, walau kadang-kadang perkataannya tidak jelas ditujukan pada siapa. Misalnya saja : „Aduuuhh, lucunya tuh anak!” atau „Eh, tadi dompet sudah dimasukin belum ya?”.„
Tapi sekarang ibuku diam seribu bahasa, membuatku jadi ikut-ikutan bingung.

Waktu di ruang dokter tadi, aku hanya mendengar kalau dokter itu menyebut-nyebut tentang sekolah luar biasa, tapi aku tidak begitu mengerti dengan maksudnya.

„Memangnya mataku ini kenapa sih, mam?” Tanyaku akhirnya kepada ibuku yang juga masih terdiam dan terlihat amat sedih.

„Oh, kamu hanya mengidap kelainan mata saja...”

„kelainan mata seperti apa?”

“Yah…, mata kamu lain dari anak-anak biasanya. Kamu nggak bisa melihat dengan jelas.”

Otakku berputar-putar berusaha mengolah jawaban ibu, tapi masih saja aku tidak bisa mengerti. Sejak saat itu, dalam pikiranku sudah terpatri kalau aku ini memiliki kelainan mata. Aku jadi merasa sedih, tapi aku yakin perasaan sedihku saat itu, tidak sedalam yang dirasakan oleh ibuku. Karena setelah hari itu, aku sering mendengar ibu menangis sendirian di dalam kamar.

„Tidak! Saya tidak setuju anak saya disekolahkan di SLBA!” Tolak ayahku dengan tegas setelah mendengar penuturan ibu mengenai saran dokter yang menyarankan agar aku dimasukan ke sekolah luar biasa untuk anak-anak tunanetra.
Ayahku tidak bisa menerima keputusan dokter yang berkata kalau mataku akan menjadi buta. Baginya hal itu merupakan pukulan yang sangat hebat. Ibu sering menemukan ayah sedang membenturkan kepalanya ke tembok, sambil sesekali terlontar pertanyaan : “Dosa apa saya sampai anak saya yang harus menanggungnya?”

Ibu selalu mencoba untuk menghibur ayah agar tidak terus-menerus menyalahkan diri sendiri. Padahal saat itu hati ibu sendiri juga sedang hancur lebur. Tapi karena harus menguatkan ayah, akhirnya ibu mampu juga menekan perasaan sedihnya, dan meyakinkan ayah kalau aku akan tetap disekolahkan di sekolah umum yang sama dengan sekolah kakak laki-lakiku.

===

Bersekolah di Sekolah Umum

Setiap pagi ibu selalu mengantarkan aku dan kakak laki-lakiku ke sekolah. Kakakku di kelas tiga, sementara aku di kelas satu.
Teman-teman sekelasku banyak, kira-kira berjumlah 40 murid, lebih banyak dari teman-temanku di taman kanak-kanak. Beberapa dari mereka sudah kukenal, karena mereka merupakan teman sekelasku waktu di TK.

Bagiku tidak mudah untuk diterima di sekolah itu, ibu sempat ditolak oleh pihak sekolah karena daya penglihatanku yang tak sempurna. Mereka berkata kepada ibu kalau mereka tak pernah punya pengalaman untuk menerima murid cacat. Tapi ibu tetap berusaha sekuat tenaga untuk meyakinkan pihak sekolah agar memberiku kesempatan menjadi murid mereka. Melihat kegigihan ibu, akhirnya kepala sekolah pun melunak dan menerima aku sebagai muridnya.

ketika hari pertama masuk sekolah, pagi-pagi buta ibu sudah membangunkan aku dan kakak, agar kami dapat sampai sekolah lebih awal dari murid-murid lainnya, dan supaya ibu dapat menempatkanku di deretan bangku paling depan.

Tetapi meski aku sudah duduk di bangku paling depan, aku tetap harus berlari ke dekat papan tulis untuk membaca tulisan yang tertera di sana, kemudian kembali ke tempat dudukku untuk menuliskannya ke dalam buku catatanku. Begitulah yang terus kulakukan sampai semua tulisan yang ada di papan tulis selesai kucatat. Sementara untuk membaca tulisan yang ada di buku, aku menggunakan alat bantu kaca pembesar, sehingga membacaku menjadi lambat.

Sering kali saat pulang sekolah ibu menemukanku sedang menangis di dekat papan tulis karena belum bisa menyelesaikan catatanku sementara teman-temanku yang lain ssudah pada pulang.


Guru-guruku pun tak terlalu memperdulikanku, karena mereka sudah bilang pada ibuku, kalau mereka tidak mempunyai pengalaman untuk menerima murid tunanetra sepertiku, sehingga tidak akan ada perlakuan kusus bagiku.


Banyak sekali tantangan dan hambatan yang harus kulalui, baik dari teman-teman yang sering mengejekku, bermainpun tidak lagi selincah anak-anak lain, maupun dari sistem pengajaran yang memang tidak di khususkan buat anak tunanetra sepertiku, jadi mau tidak mau aku harus berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pengajaran mereka agar tidak ketinggalan pelajaran. Tidak jarang nilai-nilai pelajaranku pun menjadi buruk karena saat ujian, aku sering tidak bisa menyelesaikannya karena lambatnya aku membaca sementara waktu yang disediakan sangat terbatas.
Tapi, meski langkahku seakan tertatih-tatih untuk dapat melewati semuanya ini, aku bersyukur karena aku tidak pernah tinggal kelas.

Ibu tidak pernah membiarkan aku menyerah dalam keadaan apa pun. Dengan sekuat tenaga, dia akan terus membantuku.
Kadang sepulang sekolah, ibuku sering meminjam catatan dari teman-temanku untuk dibawa pulang. Dan ketika sudah di rumah, ia akan menyuruhku untuk meneruskan catatanku yang belum selesai, sementara dia membacakan catatan punya temanku itu secara perlahan-lahan.

Kalau untuk hal mengajariku dan kakak, ibu merupakan guru yang cukup galak. Kami sering dimarahi jika tidak bisa menjawab soal-soal yang ditanyakan berulang-ulang olehnya. Tapi berkat kegalakan ibu jugalah, aku pernah berhasil mendapat nilai 100 dari mata pelajaran IPS, sampai guru IPS-ku memuji-mujiku di depan kelas.

Ibu atau ayah memang tidak pernah menganggapku berbeda dengan kakakku. Aku dan kakak sama saja. Jika aku nakal, maka aku pasti juga kena pukul. Makanya, aku tidak pernah dilarang bermain apa pun.
Ketika kakaku diajari ayah naik sepeda roda dua, aku pun ikut diajarinya.
Aku pernah jatuh ke tepi jalan raya, ketika ayah mencoba melepaskan pegangan tangannya dari sepedaku. Untung saja saat itu tidak ada mobil yang sedang lewat. Ayah buru-buru membantuku berdiri sambil menertawaiku.
Sebal juga sih mendengar ayah malah menertawaiku. Tapi karena ayah jugalah, aku jadi bisa mengendarai sepeda roda dua sendiri.

Di depanku, ibu atau ayah memang tidak pernah menyinggung-nyinggung lagi tentang kelainan pada mataku ini. Tapi sebenarnya diam-diam, sering juga aku merasa sedih dan malu dengan keadaan mataku yang lain daripada yang lain. Sehingga sering aku mencoba menutupi kecacatanku itu dengan menyembunyikan setiap kesulitan-kesulitan yang ada dihadapanku, aku tidak mau diperlakukan berbeda dengan teman-teman, jadi aku berusaha sekuatnya agar aku tetap sama dengan kondisi mereka, jika temanku bermain lompat tali atau benteng-bentengan, atau petak umpet, aku akan tetap ikut walaupun akhirnya aku harus juga mengalah untuk hanya menjadi anak bawang.

Di rumah pun, aku selalu bermain seperti anak-anak lainnya. Pernah suatu hari, aku bermain sepeda di halaman rumahku, dan tidak sengaja menabrak adikku yang saat itu kira-kira masih berusia 5 tahun, hingga terjengkang. Aku juga pernah mengikuti kakak laki-lakiku naik ke atas genting rumah. Dengan sangat hati-hati aku menaiki tangga kayu yang telah dipasang oleh kakakku untuk sampai ke atas genting. Tapi ketika aku sedang seru-serunya saling melempar ejekan dengan anak-anak tetangga yang sedang bermain di sebelah rumahku, tiba-tiba aku mendengar ibu berteriak dari bawah :
„Turun! dasar anak nakal!... memangnya kamu pikir kelakuan kamu itu bagus, hah?... kamu nih anak cewek, nggak pantas bertingkah kayak gitu!”

Aku terkejut setengah mati. Dengan perasaan ngeri karena mendengar omelan ibu yang menyerbuku seperti serentetan peluru, aku lekas-lekas mencari ujung tangga kayu dan menuruninya. Aku mendengar anak-anak tetangga yang sedang menertawaiku habis-habisan sambil berteriak:
„Sukurin...! sukurin...!”

Di kelas, Kalau teman-temanku disuruh membaca bergiliran oleh guru, aku pun harus membaca seperti mereka, walaupun akhirnya aku menjadi bahan tertawaan teman-teman karena bacaku sangat lambat dan sering salah-salah, sehingga sering tanganku menjadi gemetaran dan mengeluarkan keringat dingin. Buatku membaca adalah kegiatan yang sangat menakutkan dan melelahkan.

Jika aku sudah merasa lelah berlari mondar-mandir dari meja ke dekat papan tulis, aku sering meminta tolong teman sebangkuku agar dia membacakan tulisan di papan itu untukku. Tapi untuk membalas bantuannya itu, aku harus memberikan sesuatu yang dia minta.
„Aku mau bacain kamu, asal penggaris kamu itu buat aku ya?” Begitulah kira-kira cara temanku mengajukan penawarannya.
Awalnya aku tidak merasa keberatan untuk memberikan penggarisku kepadanya. Karena pikirku, ayah atau ibu pasti akan membelikan penggaris baru lagi buatku. Tapi lama-kelamaan aku jadi kesal juga, karena setiap aku meminta bantuannya, aku harus merelakan salah satu dari alat-alat tulisku berpindah tempat ke dalam tempat pensilnya.
Dari Penggaris, penghapus, pensil, penggarisku lagi yang masih baru, penghapusku lagi, sampai permen atau minta dibelikan sesuatu di kantin sekolah.
Hingga suatu hari ibu bertanya kepadaku :
„Kenapa sih kamu sering minta dibelikan alat-alat tulis baru? Memangnya alat-alat tulis kamu ke mana?”
Akhirnya aku menceritakan semuanya pada ibu tentang sikap temanku itu. Ibu jadi marah. Keesokan harinya,
saat pulang sekolah, ibu sudah menunggu di depan kelasku. Dan ketika dia melihat teman sebangkuku keluar dari kelas, dia langsung mendekati temanku itu dari belakang, dan memegang bahunya. Temanku langsung menoleh dan terkejut saat melihat wajah ibu yang cemberut.
„Kamu jangan suka ambil barang-barang Rachel lagi dong!” tegur ibu perlahan tapi terdengar galak. Temanku langsung cepat-cepat melarikan diri dari hadapan ibuku.

Setelah hari itu, temanku tidak berani lagi untuk meminta sesuatu dariku. Tapi untungnya, dia masih bersedia membacakanku. Mungkin dia takut pada ibuku, atau mungkin juga dia sebenarnya anak yang baik. Walau pun kadang-kadang dia suka menolak membantuku, dan membiarkanku mondar-mandir sendiri dari meja ke papan tulis.

Waktu aku sudah di kelas enam SD, dan akan mengikuti Ujian kelulusan, tiba-tiba saja kepala sekolah melarangku untuk mengikutinya. Alasannya karena dia takut peringkat sekolah akan menjadi paling rendah di antara sekolah-sekolah lainnya hanya gara-gara anak cacat yang satu ini!

Tentu saja ibu tidak bisa menerima begitu saja. Dengan gagah berani dia mendatangi kepala sekolah dan memintanya untuk mengijinkan aku mengikuti ujian akhir. Beberapa kali aku melihat ibu menemui kepala sekolah. Kadang dia datang sendirian, tapi kadang juga dia datang bersama temannya yang tentu saja ikut memihakku.

Ketika suatu sore, ibu menjemputku di tempat les dengan wajah yang pucat.
Ternyata dia bercerita kepadaku dan guru lesku, bahwa tadi dia hampir saja mengalami kecelakaan di jalan.
Mendengar itu, guru lesku langsung menasihatiku :
„Lihat! Mami kamu sampai hampir kecelakaan karena pusing mikirin kamu. Makanya kamu harus lebih rajin belajar supaya lulus ujian!”

Suatu sore, ketika aku sedang asyik bermain dengan adikku, tiba-tiba ibu memanggilku dari kamarnya. Aku segera berlari menuju ke kamar ibu.
„Iya Mam?” Tanyaku sesampainya di depan pintu kamar.
„ke Sini!” ibu menyuruhku mendekat ke arahnya. Aku pun menghampiri ibu yang sedang duduk di tepi ranjang.
„Ayo kita berdoa bareng!” lanjut ibuku. Suaranya terdengar pelan, seperti orang yang sedang capek.
Aku segera duduk di tepi tempat tidur tepat di hadapannya. Aku masih bingung dengan ajakan ibu yang tiba-tiba. Tak biasanya ibu mengajakku berdoa bareng, apalagi waktu sore begini.
Ibu pun memulai doanya. Kututup mataku, dan hanya diam mendengarkan. Ternyata ibu memohon kepada Tuhan agar melunakkan hati kepala sekolah, sehingga aku diijinkan
ikut ujian akhir. Aku mendengar ibu mengucapkan doanya sambil menangis. Hattiku benar-benar sedih menyaksikan air mata ibuku yang jatuh hanya untuk seorang anak sepertiku. Mulai saat itu, setiap malam aku memohon kepada Tuhan untuk memberiku kesempatan ikut ujian akhir, dan agar aku dapat lulus ujian.
Lagi pula, guru lesku berjanji, jika aku berhasil lulus dengan rata-rata enam saja, maka dia akan memberikan tiga buah bolpen kepadaku.

„Bagaimana kalau NEM-ku rata-rata tujuh?” Tanyaku pada guru lesku, ketika dia mengajukan tawaran itu padaku.
„Berarti ibu akan kasih kamu dua kali lipatnya.”
„enam bolpen?” tanyaku lagi memastikan.
„ya!”
„Setuju!” Jawabku bersemangat, sambil mengacungkan dua jempol ke arahnya.

Akhirnya, setelah pihak sekolah mengadakan rapat yang dihadiri oleh semua guru, aku pun mendapat dukungan terbanyak dari guru-guruku. Aku diijinkan untuk mengikuti ujian kelulusan!

Saat ujian berlangsung, aku tetap menggunakan kaca pembesar sebagai alat bantu membaca. Bacaku masih lambat, tapi anehnya, aku bisa menyelesaikan semua soal sebelum waktu habis, bahkan aku masih punya kesempatan untuk mengoreksi kembali hasil jawabanku dari soal nomer satu.
Sering kali guru-guru pengawas dari sekolah-sekolah lain yang saat itu sedang bertugas mengawasi jalannya ujian, berdiri lama di samping mejaku untuk memperhatikan cara membacaku yang dibantu kaca pembesar. Sebenarnya hal itu sangat menggangu konsentrasiku. Tapi apa boleh buat. Aku tak mungkin mengusir mereka. Aku hanya bisa berdoa dalam hati agar mereka cepat-cepat berlalu dari dekatku. Mungkin mereka baru melihat murid langka sepertiku, atau jangan-jangan mereka penasaran ingin juga mencoba membaca dengan kaca pembesar? Entahlah!
Yang pasti, aku sebal sekali jika ada orang yang memperhatikanku seperti aku ini mahluk langka saja!

Waktu Hasil NEM keluar, aku sungguh terkejut dengan nilai yang kuperoleh. Ternyata Tuhan tidak menjawab doaku. Padahal aku hanya minta padaNya NEM dengan rata-rata 6, tapi Tuhan malah memberiku NEM dengan rata-rata 8, hanya selisih dua poin dengan NEM tertinggi yang diperoleh teman sekelasku!

Begitu senangnya aku sampai aku lupa dengan janji guru lesku yang akan memberiku tiga buah bolpen jika aku berhasil mendapat NEM dengan rata-rata 6, dan berlaku kelipatannya jika aku memperoleh NEM yang lebih tinggi. Seharusnya aku mendapatkan sembilan bolpen darinya. Tapi baik guru lesku, maupun diriku sendiri sudah tidak lagi mempedulikan bolpen-bolpen itu. Kami sudah terlalu senang dengan hasil kelulusanku!

Yipiiii...!!

Hingga sekarang mataku bukannya membaik, tetapi malah bertambah parah. Namun aku mampu menjalani hari-hariku, bahkan hingga menjadi seorang sarjana, semua tak lain dan tak bukan adalah karena ibuku!

Ibu adalah orang pertama yang menghiburku ketika aku merasa sedih dan malu dengan keadaan mataku. Ibu juga yang pertama kali menghapus air mataku ketika aku putus cinta karena orang tua pacarku tidak setuju anaknya berhubungan dengan gadis cacat sepertiku. Ibu juga yang mendobrak pintu sekolah-sekolah, sehingga aku bisa mengenyam pendidikan seperti anak-anak lainnya, bahkan membawaku hingga meraih gelar sarjana. Ibu... ibu... semua karena ibu...!

Meski kini aku sudah ada yang memiliki, menjaga, dan mencintaiku, namun kasih ibu tidak pernah akan terganti. Selamanya ibulah yang terbaik!!

Selamat hari ibu, o ibuku sayang...
Kiranya kasih Tuhan selalu bersinar cemerlang di setiap langkahmu.

Sampai sekarang pun aku belum dapat membalas segala cinta dan pengorbananmu yang tak terhingga, tetapi aku seringnya malah melukaimu dengan ulahku. Maafkan aku ya, mamaku sayang.

Peluk dan cium dari hatiku yang terdalam untuk mamaku tercinta, Yulia Halim.
Dari anakmu yang selalu menyayangimu.


***
***

Tidak ada komentar: