"Kupandang wajah-Mu dan berseru:
Pertolonganku datang dari-Mu!
Peganglah tanganku jangan lepaskan,
Kaulah harapan dalam hidupku."
Lagu itu terus kunyanyikan, ketika hatiku merasa gelisah dan takut memikirkan tugas yang sudah Tuhan percayakan padaku untuk mengisi sharing di acara retret mahasiswa Katolik UPH, pada hari Sabtu 19 Maret 2011.
Memang ini adalah pengalaman pertamaku mengisi sharing dengan waktu panjang, yakni selama 2 jam. Aku bingung waktu selama itu harus kuisi dengan ngomong apa saja. Biasanya kan aku hanya mengisi sharing di sela-sela acara pokok, palingan hanya bicara selama setengah jam. Tapi kali ini, aku diberi waktu khusus selama 2 jam untuk memberikan sharing dengan tema "Mata Hati".
Untungnya aku sempat ngobrol dengan temanku, Deasy, tentang undangan sharing ini. Dan Deasy pun cerita tentang sebuah drama singkat yang biasa dibawakan oleh tim Mimi Institute, apabila mereka sedang melakukan presentasi mengenai aksesibilitas penyandang cacat.
Luar biasa!
Aku benar-benar senang bukan main, seperti baru mendapatkan sebuah pencerahan dari langit, hehehe...
Akhirnya aku pun mempersiapkan drama singkat tersebut untuk dibawakan dalam sesi sharingku nanti.
Aku membuat dialog yang terdiri dari 5 orang pemain : ibu, adik, guru, teman, pastur. Dan ditambah satu pemain yang berperan sebagai penyandang tunanetra.
Dialog tersebut berisi kata-kata negatif yang ditujukan kepada si tunanetra.
ISI DIALOG :
Ibu : “Sudah kamu diam di rumah saja! Percuma juga kamu pergi keluar, Toh, kamu kan juga tidak bisa melihat apa-apa di luar sana!”
Adik : „Aku malu punya kakak yang buta seperti kamu! Jadi, kalau ada teman-temanku datang ke rumah, kakak sebaiknya diam di kamar saja ya!””
Guru : „Wah, saya tidak pernah punya pengalaman mengajar murid cacat. Jadi sebaiknya kamu bersekolah di SLB saja ya!”
Teman : “Aduh gimana ya... Kita sih mau pergi ke Mall, mau mejeng. Lu ngapain ikut? kan lu nggak bisa lihat,, mana bisa mejeng? . Lagian harus nuntunin lu kan ribet!”
Pastur : „Jadi lektris? Wah, mana bisa? Kamu kan nggak bisa melihat. Jangan-jangan nanti bacanya jadi amburadul!”
===
Pemeran tunanetra hanya duduk saja di kursi dengan sebelah kakinya terikat. Kemudian setiap pemain akan membacakan dialog sesuai dengan perannya. Setelah satu pemain selesai membaca dialog, dia akan mengambil sisa tali yang mengikat kaki si tunanetra, lalu dililitkan satu kali ke tubuh tunanetra tersebut. Begitu seterusnya sampai semua pemain selesai melakukan tugasnya. Dengan demikian, tubuh si pemeran tunanetra akan terikat dari kaki sampai ke bahunya.
Penjelasannya :
Sebenarnya yang membuat tunanetra itu cacat adalah lingkungan terdekatnya sendiri. Padahal yang cacat hanyalah matanya, tapi seolah-olah tunanetra tersebut menjadi cacat semua tubuhnya oleh karena lingkunganya yang tidak mendukung. Respon yang negatif dari lingkungan sekitarnya telah membuat tunanetra tersebut semakin merasa terikat, tak berdaya, dan merasa tak berguna.
Kemudian pemain akan diminta untuk mengubah dialognya dengan kata-kata positif. Setelah mengucapkan dialog, maka mereka akan membuka lilitan pada tubuh tunanetra tersebut satu demi satu, hingga yang tersisa hanya ikatan terakhir pada kakinya.
Ikatan terakhir itu hanya dapat dibuka oleh tunanetra itu sendiri.
Penjelasan :
Meski lingkungan sudah memberi dukungan, jika tunanetra tersebut sendiri tidak berusaha untuk berjuang dan keluar dari ikatan kecacatannya, maka dia tetap akan menjadi tunanetra yang pasif, merasa diri tak berdaya dan lemah.
Karena tema yang diberikan adalah "Mata Hati", maka penjelasannya akan sedikit kutambahkan :
Di mana kita seringkali menilai seseorang atau sesuatu hanya dengan apa yang kita lihat dengan mata jasmani kita. Kita lupa kalau Tuhan juga sudah memberikan kepada kita mata hati yang tidak dimiliki mahluk ciptaan lainnya. Dengan mata hati kita dapat percaya kepada Tuhan yang sama sekali belum pernah kita lihat. Dengan mata hati juga kita dapat memandang seseorang atau sesuatu dengan lebih baik, tanpa terlebih dulu menilai atau menghakimi orang tersebut.
Meski aku sudah mempersiapkan semuanya, aku tetap merasa gelisah. Aku ngeri kalau memikirkan aku akan salah ngomong, atau tiba-tiba saja amnesia di tengah-tengah sesi, hehehehe...
Pada hari Jum'at malamnya, aku dijemput suami di kantor, sekitar jam 7.30 malam. Kami langsung menuju ke tempat retret di Cisarua Bogor, tepatnya di Puri Asih. Sesampainya di sana, kami langsung beristirahat di kamar yang sudah disediakan oleh panitia. Sementara menunggu mereka menyelesaikan acara Misa pembukaan, suamiku langsung tergeletak di kasur dan jatuh tertidur. Setelah berganti pakaian tidur. Aku berusaha tidur sebentar, tapi tidak bisa juga. memikirkan tugasku besok, sudah membuat jantungku berdegup dengan kencang. Aku benar-benar takut. Padahal bisa dibilang ini bukan yang pertama kalinya aku berbicara di depan umum, tapi tetap saja aku merasa degdegan.
Sekitar jam 11 malam, panitia mengetuk pintu kamarku, dan meminta aku untuk bertemu dengan panitia lainnya. Akhirnya aku kembali mengganti pakaian tidurku dengan pakaian resmi, sementara suamiku langsung terbangun dan mencuci mukanya.
Kami dihantar ke ruang utama yang barusan digunakan untuk Misa. Di sana sudah menunggu para panitia yang terdiri dari anak-anak muda yang masih tampak bersemangat. Ternyata oleh panitia aku hanya diberi waktu satu setengah jam untuk mengisi sesi sharingku. Dari jam 8.00 sampai jam 9.30 pagi. Mendengar itu, hatiku lumayan tenang. Tapi tetap saja buatku waktu satu setengah jam masih terasa lama.
Kira-kira jam 12.00 kami kembali ke dalam kamar. Aku tidak bisa tidur. Jantungku terus berdegup kencang sampai membuat dadaku terasa sakit. Nafasku juga jadi sesak. Mungkin aku hanya terlelap selama satu jam saja, setelahnya aku kembali gelisah di atas ranjang.
Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa aku pasti bisa! Mencoba mengalihkan pikiran dengan cara membayangkan yang lain, tapi tetap saja aku tak bisa tidur.
Aku berseru pada Tuhan dalam hati : "Aduh Tuhan, kalau seperti ini jadinya, lebih baik ini yang terakhir saja deh... Aku benar-benar tersiksa banget... Tolong aku Tuhan!"
Sampai jam empat pagi, perutku mulai terasa mules. Aku segera berlari ke kamar mandi yang untungnya terletak di dalam kamar. Tidak cuma sekali saja perutku mules, ketika jam enam pagi, satu kali lagi aku ke kamar mandi, sekalian saja langsung mandi.
Selama itu, aku terus menguatkan hati dengan menyanyikan lagu "Kupandang wajahMu..." (seperti pada kutipan di atas), atau lagu ciptaanku sendiri :
"Mengapa kau tertekan hai jiwaku,
berharaplah pada Tuhan penolongku.
Sebab ku kan berharap lagi kepadaNya.
Dia Allahku yang setia selamanya.
Reff:
Pada Tuhan kuserahkan segalanya.
Sebab hanya Dialah yang memeliharaku.
Pada Tuhan kuserahkan hati dan jiwaku,
kasih sayangNya takkan berkesudahan."
Kemudian aku duduk ditepi ranjang. Mataku tertutup, namun hatiku berteriak kepada Tuhan :
"Tolong aku Tuhan...! Pokoknya aku serahkan semuanya padaMu. Aku sudah pasrah! Tapi satu hal yang aku mohon, Tuhan... Jangan sampai aku dipermalukan!"
Melihat tingkahku, suami malah menertawaiku, sambil berkata :
"Ya ampun Yang... Kenapa sih sampai kelihatan stres kayak gitu...? Tenang sajalah... kamu pasti bisa kok!"
Tubuhku jadi terasa lemas. Bukan cuma karena tidak bisa tidur semalaman, tapi juga gara-gara isi perut sudah dibongkar dua kali, makanya sekarang perutku jadi perih dan lapaaaarrrr sekali!
Kami pun keluar kamar jam tujuh untuk sarapan. Untung saja suamiku membawa susu milo dari rumah, karena ternyata aku sama sekali tidak bisa makan. setiap kali menyuap sesendok nasi goreng, aku langsung kepengen muntah. Akhirnya suamiku yang menghabiskan sisa nasi gorengku. Sementara aku hanya meminum susu panas.
Panitia meminta ijin untuk memajukan waktu sesi acara sharingku jadi jam setengah delapan. Aku pun langsung menyanggupi, karena pikirku: semakin cepat selesai, semakin baik!
Para mahasiswa sudah berkumpul semua. Mereka duduk lesehan di lantai dengan beralaskan bantal. Kurang lebih ada 100 mahasiswa di sana.
Setelah panitia mempersilakanku maju, aku pun melangkah maju dengan diantar suami.
Sesampainya di depan, aneh bin ajaib, tubuhku tiba-tiba saja terasa kuat. Seluruh ketakutanku lenyap entah ke mana. Dengan suara lantang, aku pun menyapa para mahasiswa itu : "Apa kabar?"
Dan mereka pun menjawab dengan lantang : "Luar biasa antusias, yes, yes, yes!!"
Luar biasa!
Aku pun jadi tambah semangat!
Kumulai dengan doa. Aku minta supaya Tuhan saja yang beracara sepenuhnya.
Aku masih nggak kebayang mau ngomong apa... Tapi sekarang aku yakin kalau Tuhan yang akan sepenuhnya mengambil alih. Aku hanya sekedar alatNya.
Dan, sesi pun kumulai dengan drama singkat yang sudah kusiapkan seperti di atas.
Semua peserta, baik yang bermain maupun yang hanya menjadi penonton, terlihat begitu antusias. Malah ada pemain yang mencoba melucu, sehingga membuat suasana jadi tambah meriah.
Setelah drama selesai, aku pun mulai masuk ke dalam acara utamanya, yaitu sharing tentang kehidupanku sebagai seorang tunanetra.
Ternyata dengan diberikan waktu yang cukup panjang, aku malah jadi merasa lebih santai. Ceritaku tidak terburu-buru, sampai yang detil-detilnya pun kuceritakan semua.
Ketika sampai pada cerita romantis, di mana aku pernah naksir seorang cowok, dan tak kusangka sebelumnya, kalau cowok itu akan bertanya kepadaku: "Rachel mau dijemput?"
Seluruh mahasiswa pun dengan spontan tertawa!
Kata suamiku, respon para mahasiswa begitu sangat baik. Mereka semua mendengarkan dengan seksama. Walau sesekali mereka tertawa mendengar ceritaku, tapi mereka akan segera kembali mengendalikan suasana, sehingga tetap terkontrol dengan baik.
Di tengah-tengah sharingku, aku selingi dengan memberikan contoh bagaimana menuntun tunanetra yang benar. Aku memanggil seorang mahasiswi untuk menjadi model. Selain itu, aku juga memberitahu mereka untuk tidak menggunakan kata petunjuk yang tidak jelas ketika sedang berbicara dengan tunanetra, seperti : Di sana, di sini, ini, itu, dia, DLL. Tetapi menggunakan kata-kata petunjuk yang jelas, misalnya saja dengan menggunakan arah jarum jam : "Maju dua langkah ke depan, kemudian lihat ke arah jam satu, dan lempar senyum, karena di depanmu ada cowok ganteng!"
Dan, tak terasa, waktu pun sudah hampir habis. Ketika aku sedang menceritakan tentang pengalamanku bekerja di kantor, suamiku membisikiku "10 menit lagi!"
Aku pun menyelesaikan ceritaku, dan menyuruh peserta untuk berdiri.
Aku mengajak mereka untuk menutup mata, sehingga dapat terfokus pada mata hati yang tersembunyi di dalam jiwa.
"Perlahan-lahan bukalah mata hatimu, dan pandanglah salib Tuhan..."
Ketika aku pun sendiri memandang salib Tuhan, tak terasa air mata mulai mengalir. Sementara mulutku terus mengarahkan peserta untuk masuk lebih dalam lagi merasakan kasih Tuhan.
Semuanya terasa begitu indah!
Pemusik pun mulai mengalunkan lagu "Tetap Setia" dengan sangat lembut. Dan ketika kurasa cukup, aku pun mulai menyanyikan lagu tersebut, yang kemudian diikuti oleh semua peserta.
Aku benar-benar merasa Tuhan menuntunku. Biasanya aku lumayan susah untuk menyelaraskan antara suaraku dengan musik. Pernah ada pengalaman buruk di acara Natalan Kaum muda, di mana aku mendapat giliran menyanyi paling pertama, dan ketika buka suara, ternyata suaraku sumbang. Benar-benar memalukan!
Tapi kali ini, entah bagaimana, aku dapat menyanyi dengan sangat selaras.
Aku percaya kalau sungguh Tuhanlah yang telah mengambil alih seluruhnya, sehingga semuanya dapat berjalan dengan sangat baik!
Terima kasih yang sebanyak-banyaknya untuk-Mu, Tuhan Yesusku!
Tanpa bimbingan-Mu, aku pasti tak mampu berbuat apapun!
Segala hormat dan pujian hanyalah bagi nama-Mu di tempat yang mahatinggi!.
Amin!!!
Saking senangnya dengan keberhasilan menyelesaikan tugasku itu, Tak sadar aku pun meralat omonganku malam sebelumnya, dengan berkata:
"Kalau Begini jadinya, Tuhan, boleh deh aku diundang sharing lagi kapan-kapan!" :)))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar