Ini adalah perjalananku di bulan November 2013. Seperti biasa, waktu itu aku dan tim QQ sedang ada sesi di Surabaya selama 4 hari 3 malam. Training dilaksanakan di hotel Sativa Sanggraloka Pacet. Nah, karena sesiku ada di hari ke 2 dan 4, makanya di hari ke 3 aku dan suami memilih untuk melancong ke Trowulan, Mojokerto. Kami memesan travel dari hotel, hanya setengah hari dari jam 10 pagi sampai jam 5 sore, biayanya sebesar 400.000 rupiah, sudah berikut mobil dan supir.
Perjalanan dari Pacet menuju Trowulan ditempuh kurang lebih selama satu setengah jam.
Trowulan merupakan sebuah kecamatan di Kab Mojokerto, Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Kab Jombang dan terletak di jalan nasional yg menghubungkan Surabaya dengan Solo.
Di Trowulan terdapat puluhan situs berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan peninggalan Kerajaan Majapahit. Di duga kuat pusat kerajaan majapahit berada di wilayah ini seperti yg di tulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakertagama dan dalam sumber dari cina abad 15. Trowulan di hancurkan pada tahun 1478, saat Giridrawardhana mengalahkan Kertabumi dan sejak saat itu ibukota Majapahit pindah ke Daha.
Reruntuhan kota kuno di Trowulan ditemukan abad ke 19. Peninggalan di sekitar Trowulan banyak yang terkubur lumpur didalam tanah, hal ini dikarenakan meluapnya sungai brantas dan aktivitas gunung kelud. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.
Candi pertama yang kami kunjungi adalah Candi Tikus. Candi Tikus ditemukan 1914 sebagai sarang tikus saat itu. Jadi ceritanya, para petani kala itu diganggu oleh wabah tikus yang menghancurkan tanaman padi mereka. Agar mereka tahu di mana sarang tikus-tikus itu berada, mereka pun mengejar sampai tikus-tikus itu masuk ke sebuah lubang. Saat lubang itu digali, ditemukanlah sebuah candi di bawahnya. Makanya Candi itu diberi nama Candi Tikus. Sebenarnya Candi itu merupakan kolam pemandian ritual.
Kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan ini.
Waktu aku sedang meraba-raba dinding candi, ada dua ibu lain yang juga sedang mengelilingi candi sambil terdengar suaranya berkomat-kamit, sepertinya sedang membaca doa. Dan salah satu dari mereka berkata pada temannya, "Nah, di sini kerasa banget. Hawanya beda. Pasti mereka banyak berada di sini..." Kemudian mereka pun kembali berkomat-kamit. Mungkin maksud "Mereka ada di sini" itu adalah para arwah yang dulu tinggal di Candi itu, dan mungkin ibu-ibu itu sedang mendoakan arwah mereka.
Waktu aku sedang berdiri di puncak tangga Candi dan lagi bersiap-siap mau di foto, tiba-tiba ibu-ibu itu menghampiri kami dan menawarkan untuk membantu mengambil foto, jadi suamiku juga bisa sekalian di foto bareng aku. Setelah di foto, ibu-ibu itu pun bertanya tentang keadaan mataku. Mungkin mereka sudah memperhatikanku dari tadi, dan bisa mengira kalau ada yang nggak beres sama mataku, kok dari tadi kerjaannya meraba-raba Candi dan kalau jalan harus dituntun, hehehe...
Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja (bangsawan) yang kerdil atau cacat.'
Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik" karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara yang wafat pada 1328.
Lanjut ke Gapura Wringin Lawang, terletak tak jauh dari jalan utama di Jatipasar.
Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang" berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya 'candi bentar' atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali.
Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
Sekarang ke Candi Brahu yang berada Di desa Bejijong. Di candi inilah tempat diselenggarakan upacara kremasi (pembakaran jenazah) empat raja pertama Majapahit. Di dekat Candi Brahu terdapat reruntuhan Candi Gentong.
Saatnya makan siang. Pak supir menyarankan kami agar mencicipi makanan khas setempat, yaitu Sambel Wader. Lokasi nya di jalan raya, sebrang kolam Segaran.
Wader merupakan ikan kecil, suka disebut ikan bilis yg hidup di air tawar atau sungai. Waktu zaman majapahit, warga trowulan menangkap ikan wader ini di Kolam Segaran untuk dijadikan santapan lauk sehari-hari. Biasa nya ikan wader di goreng kering dan disajikan bersama sambel tomat, tetapi sebelum di goreng, ikan akan di bersihkan dan di rendam dengan campuran bumbu-bumbu warisan.
Ikan nya Mirip Teri Tapi Lebih Besar. Rasa sambelnya, wah..., super maknyos dan muantap pedesnya... pokoknya kalau ke sana lagi, pasti yang nggak boleh ketinggalan adalah makan sambel wader. Rasa ikannya juga gurih, garing, sampai duri-duri kecilnya bisa dimakan, jadi nggak perlu
takut keselek duri. Disajikan dengan nasi hangat, hmm, tambah yummie deh...:)
Jadi, kolam Segaran itu merupakan kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi yang dahulunya digunakan sebagai penampungan untuk memenuhi kebutuhan air bersih penduduk Majapahit.
Selain itu juga, menurut cerita bapak supir, dahulu kala di kolam ini ditemukan banyak perabotan yang terbuat dari emas murni, seperti piring, mangkuk, gelas, sendok, garpu, dan sebagainya.
Konon di kolam inilah para raja Majapahit akan membuang peralatan makan mereka setelah mengadakan pesta untuk menjamu para duta dan tamu kerajaan. Nah, biar dianggap kalau Majapahit itu adalah kerajaan yang kaya raya, dihadapan para tamu itu raja akan langsung memerintahkan para pelayannya untuk membuang peralatan makan yang baru saja mereka pakai ke kolam tersebut. Sekarang kolam Segaran oleh masyarakat sekitar digunakan sebagai kolam pemancingan. Ikan wader yang kumakan juga diambil dari kolam ini.
Setelah makan siang, kami berkunjung ke Museum Trowulan Di sana banyak terdapat arca peninggalan Majapahit, salah satunya adalah arca Gajah Mada. Ada juga miniatur rumah jaman Majapahit. Masih banyak lagi peninggalan-peninggalan sejarah di trowulan yg masih harus di gali dan dipugar. Sungguh, negeri kita ini benar-benar diberkahi bukan hanya dengan kekayaan alamnya, tapi juga situs-situs sejarahnya yang memukau. Sebagai warga negara Indonesia, aku sangat bangga dengan peninggalan-peninggalan sejarahnya yang kaya raya dengan ragam budaya dan agamanya.
Salah satu yang membuat kami terpukau juga adalah keberadaan patung Budha tidur yang sangat besar mirip di Thailand. Aku yakin, banyak orang Indonesia sendiri yang tidak mengetahui keberadaan patung raksasa ini. Di sinilah kita bisa membuktikan bahwa rakyat Indonesia adalah rakyat yang memiliki toleransi tinggi. Meski di Trowulan sekarang sudah mayoritas beragama Islam, namun dengan keberadaan patung Budha tidur ini sudah membuktikan bahwa penduduk Trowulan hidup saling menghormati dan menghargai antara satu sama lain, meski berbeda kepercayaan.
Saatnya kembali ke hotel.
Kami mampir dulu untuk membeli rujak cingur pesanan pak Markus, salah satu teman pembicara, dan juga untuk teman-teman lainnya yang pastinya iri karena mereka harus tetap di hotel, sementara kami bisa keluyuran menikmati sejarah Trowulan, hehehe....
Sesampainya di hotel sekitar jam enam sore. Peserta training sedang waktunya istirahat dan makan malam. Nah, ternyata bukan aku saja yang membawakan teman-teman kejutan berupa rujak cingur, tapi diam-diam mereka juga sudah menyiapkan kejutan yang lebih mengejutkan lagi, khususnya buat aku.
Saat aku memasuki ruangan training yang sudah kosong, tiba-tiba serentak mereka menyanyikan lagu Jambrud, "Hari ini, hari yang kautunggu... bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu...". Lalu Rani membawakan sebuah kue muffin yang diberi lilin kecil, dan tante Erna menyuruhku untuk meniupnya...
Oh my God!!! Ternyata hari itu adalah hari ulang tahunku!!! Tepat tanggal 13 November...
Wah..., senangnya... Makasih ya teman-teman... kalian sudah menyempurnakan kegembiraanku hari itu...
Kemudian bos telepon dari Jakarta hanya untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Waktu aku menanyakan kadonya, beliau menawarkan akan membelikan aku kaca mata hitam...
Hah..., kenapa nggak sekalian saja sama tongkat putihnya, bos, biar bisa langsung alih profesi jadi tukang pijat, hehehe...
2 komentar:
wah...runut ya nulisnya.....sekali perjalanan..bisa beberapa lokasi disinggahi...
Terima kasih sudah mampir Kang Eko.
Sebenarnya saya sekarang jadi lebih sering plesiran sejarah pas ada sesi training, yang mengharuskan kami untuk keliling Indonesia.
Seperti orang yang terus haus, kami juga semakin haus untuk tahu lebih dalam tentang sejarah dan kebesaran Indonesia. Dan semakin kami mendalami tentang Indonesia, kebanggaan kami menjadi orang Indonesia, semakin menjadi - jadi :)
Indonesia tanah airku, Indonesia tumpah darahku, Indonesiaku luar biasa!
Posting Komentar