"Kupandang wajah-Mu dan berseru:
Pertolonganku datang dari-Mu!
Peganglah tanganku jangan lepaskan,
Kaulah harapan dalam hidupku."
Lagu itu terus kunyanyikan, ketika hatiku merasa gelisah dan takut memikirkan tugas yang sudah Tuhan percayakan padaku untuk mengisi sharing di acara retret mahasiswa Katolik UPH, pada hari Sabtu 19 Maret 2011.
Memang ini adalah pengalaman pertamaku mengisi sharing dengan waktu panjang, yakni selama 2 jam. Aku bingung waktu selama itu harus kuisi dengan ngomong apa saja. Biasanya kan aku hanya mengisi sharing di sela-sela acara pokok, palingan hanya bicara selama setengah jam. Tapi kali ini, aku diberi waktu khusus selama 2 jam untuk memberikan sharing dengan tema "Mata Hati".
Untungnya aku sempat ngobrol dengan temanku, Deasy, tentang undangan sharing ini. Dan Deasy pun cerita tentang sebuah drama singkat yang biasa dibawakan oleh tim Mimi Institute, apabila mereka sedang melakukan presentasi mengenai aksesibilitas penyandang cacat.
Luar biasa!
Aku benar-benar senang bukan main, seperti baru mendapatkan sebuah pencerahan dari langit, hehehe...
Akhirnya aku pun mempersiapkan drama singkat tersebut untuk dibawakan dalam sesi sharingku nanti.
Aku membuat dialog yang terdiri dari 5 orang pemain : ibu, adik, guru, teman, pastur. Dan ditambah satu pemain yang berperan sebagai penyandang tunanetra.
Dialog tersebut berisi kata-kata negatif yang ditujukan kepada si tunanetra.
ISI DIALOG :
Ibu : “Sudah kamu diam di rumah saja! Percuma juga kamu pergi keluar, Toh, kamu kan juga tidak bisa melihat apa-apa di luar sana!”
Adik : „Aku malu punya kakak yang buta seperti kamu! Jadi, kalau ada teman-temanku datang ke rumah, kakak sebaiknya diam di kamar saja ya!””
Guru : „Wah, saya tidak pernah punya pengalaman mengajar murid cacat. Jadi sebaiknya kamu bersekolah di SLB saja ya!”
Teman : “Aduh gimana ya... Kita sih mau pergi ke Mall, mau mejeng. Lu ngapain ikut? kan lu nggak bisa lihat,, mana bisa mejeng? . Lagian harus nuntunin lu kan ribet!”
Pastur : „Jadi lektris? Wah, mana bisa? Kamu kan nggak bisa melihat. Jangan-jangan nanti bacanya jadi amburadul!”
===
Pemeran tunanetra hanya duduk saja di kursi dengan sebelah kakinya terikat. Kemudian setiap pemain akan membacakan dialog sesuai dengan perannya. Setelah satu pemain selesai membaca dialog, dia akan mengambil sisa tali yang mengikat kaki si tunanetra, lalu dililitkan satu kali ke tubuh tunanetra tersebut. Begitu seterusnya sampai semua pemain selesai melakukan tugasnya. Dengan demikian, tubuh si pemeran tunanetra akan terikat dari kaki sampai ke bahunya.
Penjelasannya :
Sebenarnya yang membuat tunanetra itu cacat adalah lingkungan terdekatnya sendiri. Padahal yang cacat hanyalah matanya, tapi seolah-olah tunanetra tersebut menjadi cacat semua tubuhnya oleh karena lingkunganya yang tidak mendukung. Respon yang negatif dari lingkungan sekitarnya telah membuat tunanetra tersebut semakin merasa terikat, tak berdaya, dan merasa tak berguna.
Kemudian pemain akan diminta untuk mengubah dialognya dengan kata-kata positif. Setelah mengucapkan dialog, maka mereka akan membuka lilitan pada tubuh tunanetra tersebut satu demi satu, hingga yang tersisa hanya ikatan terakhir pada kakinya.
Ikatan terakhir itu hanya dapat dibuka oleh tunanetra itu sendiri.
Penjelasan :
Meski lingkungan sudah memberi dukungan, jika tunanetra tersebut sendiri tidak berusaha untuk berjuang dan keluar dari ikatan kecacatannya, maka dia tetap akan menjadi tunanetra yang pasif, merasa diri tak berdaya dan lemah.
Karena tema yang diberikan adalah "Mata Hati", maka penjelasannya akan sedikit kutambahkan :
Di mana kita seringkali menilai seseorang atau sesuatu hanya dengan apa yang kita lihat dengan mata jasmani kita. Kita lupa kalau Tuhan juga sudah memberikan kepada kita mata hati yang tidak dimiliki mahluk ciptaan lainnya. Dengan mata hati kita dapat percaya kepada Tuhan yang sama sekali belum pernah kita lihat. Dengan mata hati juga kita dapat memandang seseorang atau sesuatu dengan lebih baik, tanpa terlebih dulu menilai atau menghakimi orang tersebut.
Meski aku sudah mempersiapkan semuanya, aku tetap merasa gelisah. Aku ngeri kalau memikirkan aku akan salah ngomong, atau tiba-tiba saja amnesia di tengah-tengah sesi, hehehehe...
Pada hari Jum'at malamnya, aku dijemput suami di kantor, sekitar jam 7.30 malam. Kami langsung menuju ke tempat retret di Cisarua Bogor, tepatnya di Puri Asih. Sesampainya di sana, kami langsung beristirahat di kamar yang sudah disediakan oleh panitia. Sementara menunggu mereka menyelesaikan acara Misa pembukaan, suamiku langsung tergeletak di kasur dan jatuh tertidur. Setelah berganti pakaian tidur. Aku berusaha tidur sebentar, tapi tidak bisa juga. memikirkan tugasku besok, sudah membuat jantungku berdegup dengan kencang. Aku benar-benar takut. Padahal bisa dibilang ini bukan yang pertama kalinya aku berbicara di depan umum, tapi tetap saja aku merasa degdegan.
Sekitar jam 11 malam, panitia mengetuk pintu kamarku, dan meminta aku untuk bertemu dengan panitia lainnya. Akhirnya aku kembali mengganti pakaian tidurku dengan pakaian resmi, sementara suamiku langsung terbangun dan mencuci mukanya.
Kami dihantar ke ruang utama yang barusan digunakan untuk Misa. Di sana sudah menunggu para panitia yang terdiri dari anak-anak muda yang masih tampak bersemangat. Ternyata oleh panitia aku hanya diberi waktu satu setengah jam untuk mengisi sesi sharingku. Dari jam 8.00 sampai jam 9.30 pagi. Mendengar itu, hatiku lumayan tenang. Tapi tetap saja buatku waktu satu setengah jam masih terasa lama.
Kira-kira jam 12.00 kami kembali ke dalam kamar. Aku tidak bisa tidur. Jantungku terus berdegup kencang sampai membuat dadaku terasa sakit. Nafasku juga jadi sesak. Mungkin aku hanya terlelap selama satu jam saja, setelahnya aku kembali gelisah di atas ranjang.
Aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa aku pasti bisa! Mencoba mengalihkan pikiran dengan cara membayangkan yang lain, tapi tetap saja aku tak bisa tidur.
Aku berseru pada Tuhan dalam hati : "Aduh Tuhan, kalau seperti ini jadinya, lebih baik ini yang terakhir saja deh... Aku benar-benar tersiksa banget... Tolong aku Tuhan!"
Sampai jam empat pagi, perutku mulai terasa mules. Aku segera berlari ke kamar mandi yang untungnya terletak di dalam kamar. Tidak cuma sekali saja perutku mules, ketika jam enam pagi, satu kali lagi aku ke kamar mandi, sekalian saja langsung mandi.
Selama itu, aku terus menguatkan hati dengan menyanyikan lagu "Kupandang wajahMu..." (seperti pada kutipan di atas), atau lagu ciptaanku sendiri :
"Mengapa kau tertekan hai jiwaku,
berharaplah pada Tuhan penolongku.
Sebab ku kan berharap lagi kepadaNya.
Dia Allahku yang setia selamanya.
Reff:
Pada Tuhan kuserahkan segalanya.
Sebab hanya Dialah yang memeliharaku.
Pada Tuhan kuserahkan hati dan jiwaku,
kasih sayangNya takkan berkesudahan."
Kemudian aku duduk ditepi ranjang. Mataku tertutup, namun hatiku berteriak kepada Tuhan :
"Tolong aku Tuhan...! Pokoknya aku serahkan semuanya padaMu. Aku sudah pasrah! Tapi satu hal yang aku mohon, Tuhan... Jangan sampai aku dipermalukan!"
Melihat tingkahku, suami malah menertawaiku, sambil berkata :
"Ya ampun Yang... Kenapa sih sampai kelihatan stres kayak gitu...? Tenang sajalah... kamu pasti bisa kok!"
Tubuhku jadi terasa lemas. Bukan cuma karena tidak bisa tidur semalaman, tapi juga gara-gara isi perut sudah dibongkar dua kali, makanya sekarang perutku jadi perih dan lapaaaarrrr sekali!
Kami pun keluar kamar jam tujuh untuk sarapan. Untung saja suamiku membawa susu milo dari rumah, karena ternyata aku sama sekali tidak bisa makan. setiap kali menyuap sesendok nasi goreng, aku langsung kepengen muntah. Akhirnya suamiku yang menghabiskan sisa nasi gorengku. Sementara aku hanya meminum susu panas.
Panitia meminta ijin untuk memajukan waktu sesi acara sharingku jadi jam setengah delapan. Aku pun langsung menyanggupi, karena pikirku: semakin cepat selesai, semakin baik!
Para mahasiswa sudah berkumpul semua. Mereka duduk lesehan di lantai dengan beralaskan bantal. Kurang lebih ada 100 mahasiswa di sana.
Setelah panitia mempersilakanku maju, aku pun melangkah maju dengan diantar suami.
Sesampainya di depan, aneh bin ajaib, tubuhku tiba-tiba saja terasa kuat. Seluruh ketakutanku lenyap entah ke mana. Dengan suara lantang, aku pun menyapa para mahasiswa itu : "Apa kabar?"
Dan mereka pun menjawab dengan lantang : "Luar biasa antusias, yes, yes, yes!!"
Luar biasa!
Aku pun jadi tambah semangat!
Kumulai dengan doa. Aku minta supaya Tuhan saja yang beracara sepenuhnya.
Aku masih nggak kebayang mau ngomong apa... Tapi sekarang aku yakin kalau Tuhan yang akan sepenuhnya mengambil alih. Aku hanya sekedar alatNya.
Dan, sesi pun kumulai dengan drama singkat yang sudah kusiapkan seperti di atas.
Semua peserta, baik yang bermain maupun yang hanya menjadi penonton, terlihat begitu antusias. Malah ada pemain yang mencoba melucu, sehingga membuat suasana jadi tambah meriah.
Setelah drama selesai, aku pun mulai masuk ke dalam acara utamanya, yaitu sharing tentang kehidupanku sebagai seorang tunanetra.
Ternyata dengan diberikan waktu yang cukup panjang, aku malah jadi merasa lebih santai. Ceritaku tidak terburu-buru, sampai yang detil-detilnya pun kuceritakan semua.
Ketika sampai pada cerita romantis, di mana aku pernah naksir seorang cowok, dan tak kusangka sebelumnya, kalau cowok itu akan bertanya kepadaku: "Rachel mau dijemput?"
Seluruh mahasiswa pun dengan spontan tertawa!
Kata suamiku, respon para mahasiswa begitu sangat baik. Mereka semua mendengarkan dengan seksama. Walau sesekali mereka tertawa mendengar ceritaku, tapi mereka akan segera kembali mengendalikan suasana, sehingga tetap terkontrol dengan baik.
Di tengah-tengah sharingku, aku selingi dengan memberikan contoh bagaimana menuntun tunanetra yang benar. Aku memanggil seorang mahasiswi untuk menjadi model. Selain itu, aku juga memberitahu mereka untuk tidak menggunakan kata petunjuk yang tidak jelas ketika sedang berbicara dengan tunanetra, seperti : Di sana, di sini, ini, itu, dia, DLL. Tetapi menggunakan kata-kata petunjuk yang jelas, misalnya saja dengan menggunakan arah jarum jam : "Maju dua langkah ke depan, kemudian lihat ke arah jam satu, dan lempar senyum, karena di depanmu ada cowok ganteng!"
Dan, tak terasa, waktu pun sudah hampir habis. Ketika aku sedang menceritakan tentang pengalamanku bekerja di kantor, suamiku membisikiku "10 menit lagi!"
Aku pun menyelesaikan ceritaku, dan menyuruh peserta untuk berdiri.
Aku mengajak mereka untuk menutup mata, sehingga dapat terfokus pada mata hati yang tersembunyi di dalam jiwa.
"Perlahan-lahan bukalah mata hatimu, dan pandanglah salib Tuhan..."
Ketika aku pun sendiri memandang salib Tuhan, tak terasa air mata mulai mengalir. Sementara mulutku terus mengarahkan peserta untuk masuk lebih dalam lagi merasakan kasih Tuhan.
Semuanya terasa begitu indah!
Pemusik pun mulai mengalunkan lagu "Tetap Setia" dengan sangat lembut. Dan ketika kurasa cukup, aku pun mulai menyanyikan lagu tersebut, yang kemudian diikuti oleh semua peserta.
Aku benar-benar merasa Tuhan menuntunku. Biasanya aku lumayan susah untuk menyelaraskan antara suaraku dengan musik. Pernah ada pengalaman buruk di acara Natalan Kaum muda, di mana aku mendapat giliran menyanyi paling pertama, dan ketika buka suara, ternyata suaraku sumbang. Benar-benar memalukan!
Tapi kali ini, entah bagaimana, aku dapat menyanyi dengan sangat selaras.
Aku percaya kalau sungguh Tuhanlah yang telah mengambil alih seluruhnya, sehingga semuanya dapat berjalan dengan sangat baik!
Terima kasih yang sebanyak-banyaknya untuk-Mu, Tuhan Yesusku!
Tanpa bimbingan-Mu, aku pasti tak mampu berbuat apapun!
Segala hormat dan pujian hanyalah bagi nama-Mu di tempat yang mahatinggi!.
Amin!!!
Saking senangnya dengan keberhasilan menyelesaikan tugasku itu, Tak sadar aku pun meralat omonganku malam sebelumnya, dengan berkata:
"Kalau Begini jadinya, Tuhan, boleh deh aku diundang sharing lagi kapan-kapan!" :)))
Aku ini seorang tunanetra. Katanya sih penyebabnya adalah Retinitis Pigmentosa. Makanya aku menjuluki diriku sendiri: "Si gadis remang-remang", karena duniaku memang selalu terlihat remang-remang, redup, nyaris padam! :)
Senin
Selasa
Kisah Masa Remajaku Bagian 2
Lanjutan dari :
Ketika mendaftar di SMU, seperti biasa aku dan ibu harus menghadapi penolakkan dari pihak sekolah. Tapi kali ini, kepala sekolah yang baru, yang akan menggantikan kepala sekolah lama di tahun ajaran baru, lebih mendukungku. Dan aku pun diterima sebagai muridnya.
Aku meminta ijin kepada ibu untuk belajar huruf braille, karena penglihatanku sudah semakin memburuk. Kemampuanku menulis pun sudah mulai naik turun gunung. Kadang menanjak ke atas, sehingga menabrak tulisan yang sudah ada sebelumnya, tapi kadang juga menurun ke bawah, menerobos garis-garis pembatas, hingga lebih menyerupai ular naga panjangnya yang sedang berlenggak-lenggok.
Kaca pembesarku pun sudah tidak dapat lagi menolongku. Melihat keadaan anaknya ini, akhirnya orang tuaku memanggil seorang guru SLBA untuk mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku.
Dua kali seminggu guru SLBA itu datang ke rumahku. Aku begitu antusias belajar huruf timbul tersebut, karena aku tak perlu lagi memaksa mataku untuk bekerja lebih keras, yang hanya akan mempercepat turunnya daya penglihatanku.
Guru SLBA itu sering bercerita kepadaku tentang teman-teman tunanetra yang ada di SLBA. Bagaimana mereka begitu mandiri, mampu berpergian sendiri, membersihkan rumah, memasak, dan mereka pun mempunyai permainan yang seru-seru.
Mendengar itu, aku jadi tertarik untuk berkunjung ke sana. Aku segera meminta ibu untuk mengantarku bermain ke SLBA.
Ibu pun bersedia. Dan setibanya aku di sana, aku langsung merasa senang bukan kepalang. Rasanya seperti baru menemukan duniaku sendiri. Ternyata banyak sekali teman-teman yang memiliki keterbatasan penglihatan sepertiku. Selama ini aku berpikir kalau hanya aku sajalah yang mengalami kelainan mata seperti ini.
Banyak sekali hal-hal baru yang kupelajari di sana. Dari cara mereka berjalan dengan tongkat putih, cara membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka mainkan. Aku jadi sering bermain ke sana dengan diantar jemput oleh ibu.
Selain itu, timbul juga keberanian dari dalam diriku untuk mencoba pulang sekolah sendiri.
“Mam, nanti siang nggak usah jemput aku di sekolah ya!”
“Kenapa?”
“Karena aku mau pulang bareng teman.”
“Teman kamu yang mana?” Ibu tampak curiga.
“Eva. Dia kan rumahnya satu jurusan denganku.”
“Lho, tapi kan Eva rumahnya sebelum kita? Terus, nanti kamu turun sama siapa
di sini?”
“Tenang saja, Mam,” jawabku dengan percaya diri, “Nanti Eva yang antar aku sampai di depan gerbang rumah.” Aku berusaha meyakinkan ibu, agar dia tidak kuatir dan mengijinkanku pulang sendiri.
“Ya sudah. Tapi kamu harus minta Eva buat antar kamu sampai sini ya!”
„Ok!” Jawabku senang.
Di kelas, aku janjian dengan Eva untuk pulang bareng, dan memintanya agar mau mengantarku sampai ke depan rumahku.
„Nanti aku deh yang bayarin semua ongkosnya!” Kataku lagi sedikit merayu.
Dan akhirnya Eva pun bersedia mengantarku sampai ke depan pintu gerbang rumahku, kemudian dia akan kembali lagi naik angkutan umum untuk menuju ke rumahnya.
Tapi pada suatu hari, aku menyuruh Eva untuk turun saja di rumahnya, dan membiarkanku melanjutkan perjalanan sendiri.
“Nanti nyeberang jalannya gimana?” Tanya Eva kuatir.
“Bisa kok. Kan aku masih bisa lihat bayangan mobil atau motor yang lewat.” Jawabku dengan tampang meyakinkan. Padahal, Sebenarnya aku juga masih lumayan takut sih. Apalagi jalanan di depan rumahku cukup besar. Tapi aku tetap saja menyuruh Eva untuk turun lebih dahulu.
Ketika aku sampai di seberang rumahku, aku langsung saja berlari sekencang-kencangnya menyeberangi jalan. Tiba-tiba dari arah berlawanan ada mobil yang juga berlari sekencang-kencangnya. Dan ketika melihatku menyeberang, pengemudi itu langsung menginjak rem, hingga roda-roda mobilnya mengeluarkan suara berdecit.
“Woi!!” Aku mendengar pengemudi mobil itu berteriak ke arahku. Sekujur tubuhku gemetaran. Beberapa waktu lamanya aku hanya diam berdiri merapat ke pintu gerbang rumahku.
Jantungku berdebar-debar tak terkendali, membuat kakiku yang gemetaran jadi terasa lemas. Aku segera masuk ke dalam rumah. Dan sesampainya di dalam kamar, aku langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan posisi menelungkup. Sekujur tubuhku masih saja gemetaran hebat. Hingga beberapa lamanya aku tetap dalam posisi seperti itu. Sedikit pun tak bergerak. Seolah-olah semua tulang-tulang di tubuhku tiba-tiba saja menjadi lumpuh. Ketika gemetarnya sudah berangsur-angsur mulai mereda,
barulah aku membalikan tubuh ke posisi terlentang. Aku berpikir kalau kejadian tadi tidak boleh sampai diketahui orang tuaku, karena sudah pasti mereka tidak akan mengijinkanku lagi untuk pulang sendiri. Aku hanya berjanji kepada diriku sendiri, agar lain kali lebih berhati-hati.
Tapi pada suatu sore, ketika aku meminta ibu untuk mengantarku lagi bermain ke SLBA, dengan tegas dia melarangku.
“Kamu itu berbeda dengan anak-anak di SLBA! Nggak bagus kamu terlalu sering bermain ke sana!”
Mendengar perkataan ibu, hatiku benar-benar sedih bukan main. Seolah-olah aku telah direnggut dari sahabat terbaik yang sudah lama kucari, dan baru saja berhasil kutemukan, tapi dalam sekejap mata, ia telah pergi lagi meninggalkan aku seorang diri.
Jangan-jangan ibu sudah mengetahui kejadian waktu aku hampir saja tertabrak mobil. Tapi tahu dari siapa?
Pelajaran braille-ku pun usai. Guru SLBA itu berkata kepada ayah kalau aku sudah mampu membaca dan menulis dengan jari-jari tanganku, hanya tinggal berlatih sendiri saja.
Meski aku tak diijinkan untuk bermain ke SLBA, tapi diam-diam aku masih sering menelepon teman-teman di SLBA itu. Aku senang mendengar cerita tentang pengalaman mereka selama bersekolah di SLBA, sampai akhirnya mereka juga masuk ke SMU negeri. Benar-benar mengasyikan. Belajar dengan teman-teman sesama tunanetra. Tidak perlu merasakan diejek atau ditertawai teman sekelas, seperti yang pernah kualami. Tidak perlu juga susah payah membaca tulisan yang ada di papan tulis, atau memaksakan mata untuk membaca buku dengan kaca pembbesar, karena mereka kan diajar dengan huruf-huruf timbul.
Untung saja kepala sekolah mau mengerti tentang tingkat kesulitan yang kualami kini dalam hal membaca dan menulis, sehingga dia mengijinkan ibu untuk mendampingiku sewaktu ujian berlangsung. Ibu akan membacakan soal-soalnya, dan menuliskan jawaban yang kuberikan secara lisan ke dalam lembar jawaban, sehingga aku bisa mengerjakannya dengan cepat. Ujian itu kami kerjakan di ruang guru, sehingga para guru masih bisa mengawasi kami.
Sebenarnya aku malu juga sih. Sudah besar masih didampingi ibu.
Seperti anak manja saja! Andaikan aku bisa mengerjakan ujian ini seperti teman-temanku yang lain…
Ah, sudahlah! Sudah bagus ibu bersedia membacakanku.
Memang ibu adalah ibu yang hebat!
===
Tak sengaja aku mendengar obrolan orang tuaku yang hendak membawaku ke pengobatan tusuk jarum. Membayangkannya saja aku sudah ngeri. Aku langsung berlari ke dalam kamarku, dan menangis. Aku benci kalau sampai aku harus merasakan sakit disuntik lagi.
Tiba-tiba seseorang memegang bahuku.
„Kenapa lu nangis?” Ternyata yang datang itu kakakku.
„Gue nggak mau ditusuk jarum!” jawabku masih menangis.
„Memangnya siapa yang mau tusuk lu pakai jarum?” kakakku kebingungan.
„Tadi gue dengar kalau mami sama papi mau bawa gue ke pengobatan tusuk jarum. Gue nggak mau! Gue takut!”
„Itu kan supaya mata lu sembuh.”
„nggak! Pokoknya gue nggak mau!” Tolakku sengit.
„Ya sudah... Nanti biar gue yang bilang sama mami kalau lu nggak mau ditusuk jarum. Sekarang lu nggak usah nangis lagi ya.” Setelah berkata seperti itu, kakakku pun keluar dari kamarku.
Ketika kami sedang makan malam sekeluarga, ayah bertanya kepadaku :
„Kenapa kamu nggak mau mencoba pengobatan tusuk jarum?”
kujawab hanya dengan gelengan kepala.
„Nggak sakit kok,” sambung ibu mencoba merayuku, „palingan Cuma terasa seperti digigit semut.”
„Yah, karena kayak digigit semut, makanya aku nggak mau. Digigit semut itu kan sakit. Apalagi kalau yang gigitnya semut rangrang!” elakku cepat. „Lagian, kenapa sih aku harus terus-terusan ngerasain sakit?” suaraku mulai gemetar menahan tangis. “Sudah buta, harus ngerasain sakit pula!” Keluhku makin lirih. Kepalaku tertunduk. Tenggorokanku terasa tercekat. Napsu makanku tiba-tiba saja hilang. Aku hanya mengaduk-aduk makananku di piring dengan menggunakan sendok.
“Kenapa sih aku harus ngalamin semua ini?”
Semua orang terdiam. Hanya sesekali terdengar ayah berdeham, seperti sedang membersihkan tenggorokannya.
“Yah, kalau kamu nggak mau ditusuk jarum, ya, nggak usah saja. Toh, papi dan mami juga nggak memaksa kamu.” Kata ayahku kemudian. „Papi sama mami Cuma ingin mencoba yang terbaik buat kamu.”
Mendengar penuturan ayah, aku jadi merasa menyesal. Kenapa juga aku harus mengeluarkan kata-kata bodoh seperti itu. Hanya membuat keluargaku menjadi sedih saja.
====
Aku sering menyaksikan orang menari di televisi. Meski aku tak dapat melihatnya dengan jelas, tapi aku mencoba membayangkannya. Wah, pasti senang ya bisa menari di atas panggung. Berlarian ke sana ke mari, berputar-putar, dan melompat setinggi-tingginya. Benar-benar merasakan kebebasan!
Aku berpikir kalau aku pasti juga bisa menari. Toh, menari itu kan hanya membutuhkan tangan dan kaki, tidak perlu menggunakan mata.
Akhirnya aku menyampaikan keinginanku itu kepada ibu.
„Aku pengen kursus nari, Mam!” Seruku bersemangat.
„Kursus nari?” Tanya ibu bingung.
„Ya. Aku pasti bisa kok!”
Ibu masih terlihat berpikir.
„Ya sudah, nanti kamu kursus sama Mis Fa ing saja.”
Jawaban ibu membuatku senang.
Ibu memang sudah mengenal Mis Fa ing, guru tari yang pernah juga mengajar adikku menari.
Karena penglihatanku yang terbatas, dan usiaku yang sudah besar, maka Mis Fa ing mengajarku secara privat.
Sebelumnya, aku sudah berlatih senam lantai sendiri di rumah. Dari koprol di atas lantai, mencium lutut, melakukan kayang (melengkungkan tubuh ke belakang, hingga membentuk huruf ‘n’),
sampai berhasil melakukan split (satu kaki lurus ke depan, dan satunya lagi lurus ke belakang). Sehingga ketika Mis Fa ing mulai mengajarkanku dasar-dasar menari, tubuhku sudah lentur.
Dan ketika kakiku disuruh untuk diangkat lurus ke depan, kesamping, atau ke belakang, aku dapat melakukannya sampai tinggi.
Aku sering meraba tangan atau kaki Mis Fa ing untuk mengetahui gerakan seperti apa yang sedang dia peragakan. Terkadang juga sebaliknya, Mis Fa ing yang mengarahkan tangan atau kakiku untuk memperagakan gerakan yang benar. Setiap gerakan memiliki nama. Jadi aku tinggal berlatih lagi sendiri di rumah, dan ketika Mis Fa ing ingin mengajari sebuah tarian, maka dia hanya perlu menyebutkan nama gerakannya saja padaku, dan aku akan langsung mengikutinya. Katanya, aku memiliki daya ingat yang baik.
Waktu ujian pun, aku berhasil memperoleh nilai yang cukup memuaskan. Padahal, aku baru beberapa bulan saja diajar olehnya.
Aku pernah pentas di Jakarta Internasional School bersama murid-murid Mis Fa ing lainnya. Selain itu juga aku pernah menari di acara ulang tahun sekolahku. Pernah juga aku mendapat peran sebagai peri dalam pertunjukkan tari yang diadakan oleh Mis Fa ing sendiri. Seluruh keluargaku hadir untuk menyaksikan aku menari sebagai seorang peri!
Sungguh menyenangkan!
=====
Pacar Pertamaku
Waktu kelas 3 SMU, aku berkenalan dengan seorang cowok bernama Andre. Dia adalah adik kelasku di kelas satu. Kami sama-sama tergabung dalam kelompok vokal, dan dia merupakan pemain gitarnya. Selesai berlatih vokal, biasanya Andre menghampiriku untuk mengobrol. Melihat kedekatan kami, teman-temanku pun langsung berusaha menjodohkan kami berdua. Pernah suatu hari ketika sehabis pentas vokal, aku ditinggal hanya berdua saja dengan Andre. Akhirnya, Andre yang mengantar aku pulang sampai ke depan rumahku. Teman-temanku bilang kalau wajah Andre itu tampan.
Dan ternyata diam-diam ada juga salah satu teman sekelasku yang naksir Andre.
Hingga suatu hari, Andre berkata kepadaku :
“Gue sayang lu… Mau nggak lu jadi pacar gue?”
Bukannya menjawab, aku malah menangis. Melihat itu, Andre jadi bingung.
Aku merasakan tangan Andre membelai-belai rambutku.
Tanpa kusadari sebelumnya, ternyata dia telah memelukku. Aku menyembunyikan wajahku di dadanya. Rasanya nyaman sekali.
“Kenapa lu jadi sedih?” Tanyanya dengan suara yang lembut.
“Kenapa lu bisa sayang sama gue?” Aku malah balik bertanya. Untung saja aku belum mengangkat wajahku dari dadanya. Kalau tidak, mungkin Andre bisa melihat wajahku yang tiba-tiba saja berubah menjadi merah seperti tomat busuk karena malu.
„Lu kan tau kalau gue ini nggak bisa lihat.” Lanjutku dengan suara pelan.
„Terus, kenapa?” Pertanyaan Andre malah bikin aku jadi makin salah tingkah. Aku tidak tau harus jawab apa.
„Gue sayang lu apa adanya.” Bisiknya perlahan di dekat telingaku. „Gue bakal jagain lu kok.”
Hatiku tiba-tiba saja seperti tumbuh sekuntum bunga
yang langsung mekar berkembang. Perkataan Andre terdengar seperti suara seorang malaikat saja. Akhirnya, kami pun resmi berpacaran.
Sekarang, aku selalu pulang sekolah bareng Andre. Biasanya Andre akan bermain dulu di rumahku sampai jam empat sore, kemudian dia akan pulang untuk membantu ayahnya menjaga toko.
Setelah sepuluh bulan kami berpacaran, Tiba-tiba saja Andre memberitahuku kalau ayahnya baru saja berkata kepadanya:
„Buat apa sih kamu berpacaran sama Rachel. Lama-kelamaan Rachel itu bisa jadi beban saja buat kamu!”
Mendengar itu, hatiku benar-benar terasa sakit bukan kepalang. Tega sekali ayah Andre berkata seperti itu.
Setelah hari itu, Andre mulai jarang datang ke rumahku. Saat kutanya kenapa, ia menjawab kalau dia mulai ragu dengan perasaannya terhadapku.
Aku benar-benar sedih. Semalaman aku menangis sendirian di dalam kamar, hingga kedua mataku menjadi bengkak, mirip seperti mata kodok.
Ketika adikku melihatku keesokan harinya, ia pun bertanya dengan perasaan bingung bercampur geli :
„Kenapa mata lu jadi kayak orang yang habis ditonjok?”
Aku tak mempedulikan pertanyaan adikku itu. Aku yakin kalau adikku pasti akan langsung menceritakan keadaanku ini kepada ibu. Dan ternyata dugaanku benar. Tak berapa lama, aku mendengar langkah kaki seseorang menghampiri kamarku.
„Kenapa kamu nangis?” Tanya ibu segera, setibanya di dalam kamarku, dan melihat mataku yang kata adikku tadi, seperti orang yang baru saja kena tonjok.
„Ayo, cerita sama mami, kenapa kamu nangis?”
Desak ibu kuatir campur penasaran.
„Aku putus sama Andre.” Jawabku sedih.
„Kenapa dia putusin kamu?”
„Katanya dia sudah nggak lagi sayang sama aku. Mungkin karena mataku yang nggak bisa lihat.”
Sejenak ibu terdiam.
„Nggakk usah dipikirin. Cowok nggak Cuma dia saja.” Ibu berusaha menghiburku.
„Tapi, mana ada lagi cowok yang mau sama cewek cacat kayak aku?”
Air mataku kembali mengalir. Terdengar ibu menghela nafas berat.
„Siapa bilang kamu cacat? Kamu Cuma nggak bisa lihat dengan jelas. Kamu kan cantik. Pasti nanti ada cowok yang benar-benar sayang sama kamu. Sudah, jangan nangis lagi! Ngapain nangisin cowok macam dia!”
Sebenarnya ibu ini ingin menghiburku, apa ingin mengumpat Andre sih? Tapi perkataan ibu ada benarnya juga. Buat apa aku menangisi Andre yang sudah tidak lagi sayang padaku. Lebih baik air mataku kusimpan sebagai cadangan, siapa tahu nanti diperlukan untuk menangisi yang lain. He he he…
Lagi-lagi aku harus kembali menguatkan hati, agar tidak terpuruk terlalu lama dalam kesedihan.
====
Ketika mendaftar di SMU, seperti biasa aku dan ibu harus menghadapi penolakkan dari pihak sekolah. Tapi kali ini, kepala sekolah yang baru, yang akan menggantikan kepala sekolah lama di tahun ajaran baru, lebih mendukungku. Dan aku pun diterima sebagai muridnya.
Aku meminta ijin kepada ibu untuk belajar huruf braille, karena penglihatanku sudah semakin memburuk. Kemampuanku menulis pun sudah mulai naik turun gunung. Kadang menanjak ke atas, sehingga menabrak tulisan yang sudah ada sebelumnya, tapi kadang juga menurun ke bawah, menerobos garis-garis pembatas, hingga lebih menyerupai ular naga panjangnya yang sedang berlenggak-lenggok.
Kaca pembesarku pun sudah tidak dapat lagi menolongku. Melihat keadaan anaknya ini, akhirnya orang tuaku memanggil seorang guru SLBA untuk mengajariku membaca dan menulis dengan jari-jariku.
Dua kali seminggu guru SLBA itu datang ke rumahku. Aku begitu antusias belajar huruf timbul tersebut, karena aku tak perlu lagi memaksa mataku untuk bekerja lebih keras, yang hanya akan mempercepat turunnya daya penglihatanku.
Guru SLBA itu sering bercerita kepadaku tentang teman-teman tunanetra yang ada di SLBA. Bagaimana mereka begitu mandiri, mampu berpergian sendiri, membersihkan rumah, memasak, dan mereka pun mempunyai permainan yang seru-seru.
Mendengar itu, aku jadi tertarik untuk berkunjung ke sana. Aku segera meminta ibu untuk mengantarku bermain ke SLBA.
Ibu pun bersedia. Dan setibanya aku di sana, aku langsung merasa senang bukan kepalang. Rasanya seperti baru menemukan duniaku sendiri. Ternyata banyak sekali teman-teman yang memiliki keterbatasan penglihatan sepertiku. Selama ini aku berpikir kalau hanya aku sajalah yang mengalami kelainan mata seperti ini.
Banyak sekali hal-hal baru yang kupelajari di sana. Dari cara mereka berjalan dengan tongkat putih, cara membersihkan rumah, memasak, dan permainan-permainan apa saja yang biasa mereka mainkan. Aku jadi sering bermain ke sana dengan diantar jemput oleh ibu.
Selain itu, timbul juga keberanian dari dalam diriku untuk mencoba pulang sekolah sendiri.
“Mam, nanti siang nggak usah jemput aku di sekolah ya!”
“Kenapa?”
“Karena aku mau pulang bareng teman.”
“Teman kamu yang mana?” Ibu tampak curiga.
“Eva. Dia kan rumahnya satu jurusan denganku.”
“Lho, tapi kan Eva rumahnya sebelum kita? Terus, nanti kamu turun sama siapa
di sini?”
“Tenang saja, Mam,” jawabku dengan percaya diri, “Nanti Eva yang antar aku sampai di depan gerbang rumah.” Aku berusaha meyakinkan ibu, agar dia tidak kuatir dan mengijinkanku pulang sendiri.
“Ya sudah. Tapi kamu harus minta Eva buat antar kamu sampai sini ya!”
„Ok!” Jawabku senang.
Di kelas, aku janjian dengan Eva untuk pulang bareng, dan memintanya agar mau mengantarku sampai ke depan rumahku.
„Nanti aku deh yang bayarin semua ongkosnya!” Kataku lagi sedikit merayu.
Dan akhirnya Eva pun bersedia mengantarku sampai ke depan pintu gerbang rumahku, kemudian dia akan kembali lagi naik angkutan umum untuk menuju ke rumahnya.
Tapi pada suatu hari, aku menyuruh Eva untuk turun saja di rumahnya, dan membiarkanku melanjutkan perjalanan sendiri.
“Nanti nyeberang jalannya gimana?” Tanya Eva kuatir.
“Bisa kok. Kan aku masih bisa lihat bayangan mobil atau motor yang lewat.” Jawabku dengan tampang meyakinkan. Padahal, Sebenarnya aku juga masih lumayan takut sih. Apalagi jalanan di depan rumahku cukup besar. Tapi aku tetap saja menyuruh Eva untuk turun lebih dahulu.
Ketika aku sampai di seberang rumahku, aku langsung saja berlari sekencang-kencangnya menyeberangi jalan. Tiba-tiba dari arah berlawanan ada mobil yang juga berlari sekencang-kencangnya. Dan ketika melihatku menyeberang, pengemudi itu langsung menginjak rem, hingga roda-roda mobilnya mengeluarkan suara berdecit.
“Woi!!” Aku mendengar pengemudi mobil itu berteriak ke arahku. Sekujur tubuhku gemetaran. Beberapa waktu lamanya aku hanya diam berdiri merapat ke pintu gerbang rumahku.
Jantungku berdebar-debar tak terkendali, membuat kakiku yang gemetaran jadi terasa lemas. Aku segera masuk ke dalam rumah. Dan sesampainya di dalam kamar, aku langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur dengan posisi menelungkup. Sekujur tubuhku masih saja gemetaran hebat. Hingga beberapa lamanya aku tetap dalam posisi seperti itu. Sedikit pun tak bergerak. Seolah-olah semua tulang-tulang di tubuhku tiba-tiba saja menjadi lumpuh. Ketika gemetarnya sudah berangsur-angsur mulai mereda,
barulah aku membalikan tubuh ke posisi terlentang. Aku berpikir kalau kejadian tadi tidak boleh sampai diketahui orang tuaku, karena sudah pasti mereka tidak akan mengijinkanku lagi untuk pulang sendiri. Aku hanya berjanji kepada diriku sendiri, agar lain kali lebih berhati-hati.
Tapi pada suatu sore, ketika aku meminta ibu untuk mengantarku lagi bermain ke SLBA, dengan tegas dia melarangku.
“Kamu itu berbeda dengan anak-anak di SLBA! Nggak bagus kamu terlalu sering bermain ke sana!”
Mendengar perkataan ibu, hatiku benar-benar sedih bukan main. Seolah-olah aku telah direnggut dari sahabat terbaik yang sudah lama kucari, dan baru saja berhasil kutemukan, tapi dalam sekejap mata, ia telah pergi lagi meninggalkan aku seorang diri.
Jangan-jangan ibu sudah mengetahui kejadian waktu aku hampir saja tertabrak mobil. Tapi tahu dari siapa?
Pelajaran braille-ku pun usai. Guru SLBA itu berkata kepada ayah kalau aku sudah mampu membaca dan menulis dengan jari-jari tanganku, hanya tinggal berlatih sendiri saja.
Meski aku tak diijinkan untuk bermain ke SLBA, tapi diam-diam aku masih sering menelepon teman-teman di SLBA itu. Aku senang mendengar cerita tentang pengalaman mereka selama bersekolah di SLBA, sampai akhirnya mereka juga masuk ke SMU negeri. Benar-benar mengasyikan. Belajar dengan teman-teman sesama tunanetra. Tidak perlu merasakan diejek atau ditertawai teman sekelas, seperti yang pernah kualami. Tidak perlu juga susah payah membaca tulisan yang ada di papan tulis, atau memaksakan mata untuk membaca buku dengan kaca pembbesar, karena mereka kan diajar dengan huruf-huruf timbul.
Untung saja kepala sekolah mau mengerti tentang tingkat kesulitan yang kualami kini dalam hal membaca dan menulis, sehingga dia mengijinkan ibu untuk mendampingiku sewaktu ujian berlangsung. Ibu akan membacakan soal-soalnya, dan menuliskan jawaban yang kuberikan secara lisan ke dalam lembar jawaban, sehingga aku bisa mengerjakannya dengan cepat. Ujian itu kami kerjakan di ruang guru, sehingga para guru masih bisa mengawasi kami.
Sebenarnya aku malu juga sih. Sudah besar masih didampingi ibu.
Seperti anak manja saja! Andaikan aku bisa mengerjakan ujian ini seperti teman-temanku yang lain…
Ah, sudahlah! Sudah bagus ibu bersedia membacakanku.
Memang ibu adalah ibu yang hebat!
===
Tak sengaja aku mendengar obrolan orang tuaku yang hendak membawaku ke pengobatan tusuk jarum. Membayangkannya saja aku sudah ngeri. Aku langsung berlari ke dalam kamarku, dan menangis. Aku benci kalau sampai aku harus merasakan sakit disuntik lagi.
Tiba-tiba seseorang memegang bahuku.
„Kenapa lu nangis?” Ternyata yang datang itu kakakku.
„Gue nggak mau ditusuk jarum!” jawabku masih menangis.
„Memangnya siapa yang mau tusuk lu pakai jarum?” kakakku kebingungan.
„Tadi gue dengar kalau mami sama papi mau bawa gue ke pengobatan tusuk jarum. Gue nggak mau! Gue takut!”
„Itu kan supaya mata lu sembuh.”
„nggak! Pokoknya gue nggak mau!” Tolakku sengit.
„Ya sudah... Nanti biar gue yang bilang sama mami kalau lu nggak mau ditusuk jarum. Sekarang lu nggak usah nangis lagi ya.” Setelah berkata seperti itu, kakakku pun keluar dari kamarku.
Ketika kami sedang makan malam sekeluarga, ayah bertanya kepadaku :
„Kenapa kamu nggak mau mencoba pengobatan tusuk jarum?”
kujawab hanya dengan gelengan kepala.
„Nggak sakit kok,” sambung ibu mencoba merayuku, „palingan Cuma terasa seperti digigit semut.”
„Yah, karena kayak digigit semut, makanya aku nggak mau. Digigit semut itu kan sakit. Apalagi kalau yang gigitnya semut rangrang!” elakku cepat. „Lagian, kenapa sih aku harus terus-terusan ngerasain sakit?” suaraku mulai gemetar menahan tangis. “Sudah buta, harus ngerasain sakit pula!” Keluhku makin lirih. Kepalaku tertunduk. Tenggorokanku terasa tercekat. Napsu makanku tiba-tiba saja hilang. Aku hanya mengaduk-aduk makananku di piring dengan menggunakan sendok.
“Kenapa sih aku harus ngalamin semua ini?”
Semua orang terdiam. Hanya sesekali terdengar ayah berdeham, seperti sedang membersihkan tenggorokannya.
“Yah, kalau kamu nggak mau ditusuk jarum, ya, nggak usah saja. Toh, papi dan mami juga nggak memaksa kamu.” Kata ayahku kemudian. „Papi sama mami Cuma ingin mencoba yang terbaik buat kamu.”
Mendengar penuturan ayah, aku jadi merasa menyesal. Kenapa juga aku harus mengeluarkan kata-kata bodoh seperti itu. Hanya membuat keluargaku menjadi sedih saja.
====
Aku sering menyaksikan orang menari di televisi. Meski aku tak dapat melihatnya dengan jelas, tapi aku mencoba membayangkannya. Wah, pasti senang ya bisa menari di atas panggung. Berlarian ke sana ke mari, berputar-putar, dan melompat setinggi-tingginya. Benar-benar merasakan kebebasan!
Aku berpikir kalau aku pasti juga bisa menari. Toh, menari itu kan hanya membutuhkan tangan dan kaki, tidak perlu menggunakan mata.
Akhirnya aku menyampaikan keinginanku itu kepada ibu.
„Aku pengen kursus nari, Mam!” Seruku bersemangat.
„Kursus nari?” Tanya ibu bingung.
„Ya. Aku pasti bisa kok!”
Ibu masih terlihat berpikir.
„Ya sudah, nanti kamu kursus sama Mis Fa ing saja.”
Jawaban ibu membuatku senang.
Ibu memang sudah mengenal Mis Fa ing, guru tari yang pernah juga mengajar adikku menari.
Karena penglihatanku yang terbatas, dan usiaku yang sudah besar, maka Mis Fa ing mengajarku secara privat.
Sebelumnya, aku sudah berlatih senam lantai sendiri di rumah. Dari koprol di atas lantai, mencium lutut, melakukan kayang (melengkungkan tubuh ke belakang, hingga membentuk huruf ‘n’),
sampai berhasil melakukan split (satu kaki lurus ke depan, dan satunya lagi lurus ke belakang). Sehingga ketika Mis Fa ing mulai mengajarkanku dasar-dasar menari, tubuhku sudah lentur.
Dan ketika kakiku disuruh untuk diangkat lurus ke depan, kesamping, atau ke belakang, aku dapat melakukannya sampai tinggi.
Aku sering meraba tangan atau kaki Mis Fa ing untuk mengetahui gerakan seperti apa yang sedang dia peragakan. Terkadang juga sebaliknya, Mis Fa ing yang mengarahkan tangan atau kakiku untuk memperagakan gerakan yang benar. Setiap gerakan memiliki nama. Jadi aku tinggal berlatih lagi sendiri di rumah, dan ketika Mis Fa ing ingin mengajari sebuah tarian, maka dia hanya perlu menyebutkan nama gerakannya saja padaku, dan aku akan langsung mengikutinya. Katanya, aku memiliki daya ingat yang baik.
Waktu ujian pun, aku berhasil memperoleh nilai yang cukup memuaskan. Padahal, aku baru beberapa bulan saja diajar olehnya.
Aku pernah pentas di Jakarta Internasional School bersama murid-murid Mis Fa ing lainnya. Selain itu juga aku pernah menari di acara ulang tahun sekolahku. Pernah juga aku mendapat peran sebagai peri dalam pertunjukkan tari yang diadakan oleh Mis Fa ing sendiri. Seluruh keluargaku hadir untuk menyaksikan aku menari sebagai seorang peri!
Sungguh menyenangkan!
=====
Pacar Pertamaku
Waktu kelas 3 SMU, aku berkenalan dengan seorang cowok bernama Andre. Dia adalah adik kelasku di kelas satu. Kami sama-sama tergabung dalam kelompok vokal, dan dia merupakan pemain gitarnya. Selesai berlatih vokal, biasanya Andre menghampiriku untuk mengobrol. Melihat kedekatan kami, teman-temanku pun langsung berusaha menjodohkan kami berdua. Pernah suatu hari ketika sehabis pentas vokal, aku ditinggal hanya berdua saja dengan Andre. Akhirnya, Andre yang mengantar aku pulang sampai ke depan rumahku. Teman-temanku bilang kalau wajah Andre itu tampan.
Dan ternyata diam-diam ada juga salah satu teman sekelasku yang naksir Andre.
Hingga suatu hari, Andre berkata kepadaku :
“Gue sayang lu… Mau nggak lu jadi pacar gue?”
Bukannya menjawab, aku malah menangis. Melihat itu, Andre jadi bingung.
Aku merasakan tangan Andre membelai-belai rambutku.
Tanpa kusadari sebelumnya, ternyata dia telah memelukku. Aku menyembunyikan wajahku di dadanya. Rasanya nyaman sekali.
“Kenapa lu jadi sedih?” Tanyanya dengan suara yang lembut.
“Kenapa lu bisa sayang sama gue?” Aku malah balik bertanya. Untung saja aku belum mengangkat wajahku dari dadanya. Kalau tidak, mungkin Andre bisa melihat wajahku yang tiba-tiba saja berubah menjadi merah seperti tomat busuk karena malu.
„Lu kan tau kalau gue ini nggak bisa lihat.” Lanjutku dengan suara pelan.
„Terus, kenapa?” Pertanyaan Andre malah bikin aku jadi makin salah tingkah. Aku tidak tau harus jawab apa.
„Gue sayang lu apa adanya.” Bisiknya perlahan di dekat telingaku. „Gue bakal jagain lu kok.”
Hatiku tiba-tiba saja seperti tumbuh sekuntum bunga
yang langsung mekar berkembang. Perkataan Andre terdengar seperti suara seorang malaikat saja. Akhirnya, kami pun resmi berpacaran.
Sekarang, aku selalu pulang sekolah bareng Andre. Biasanya Andre akan bermain dulu di rumahku sampai jam empat sore, kemudian dia akan pulang untuk membantu ayahnya menjaga toko.
Setelah sepuluh bulan kami berpacaran, Tiba-tiba saja Andre memberitahuku kalau ayahnya baru saja berkata kepadanya:
„Buat apa sih kamu berpacaran sama Rachel. Lama-kelamaan Rachel itu bisa jadi beban saja buat kamu!”
Mendengar itu, hatiku benar-benar terasa sakit bukan kepalang. Tega sekali ayah Andre berkata seperti itu.
Setelah hari itu, Andre mulai jarang datang ke rumahku. Saat kutanya kenapa, ia menjawab kalau dia mulai ragu dengan perasaannya terhadapku.
Aku benar-benar sedih. Semalaman aku menangis sendirian di dalam kamar, hingga kedua mataku menjadi bengkak, mirip seperti mata kodok.
Ketika adikku melihatku keesokan harinya, ia pun bertanya dengan perasaan bingung bercampur geli :
„Kenapa mata lu jadi kayak orang yang habis ditonjok?”
Aku tak mempedulikan pertanyaan adikku itu. Aku yakin kalau adikku pasti akan langsung menceritakan keadaanku ini kepada ibu. Dan ternyata dugaanku benar. Tak berapa lama, aku mendengar langkah kaki seseorang menghampiri kamarku.
„Kenapa kamu nangis?” Tanya ibu segera, setibanya di dalam kamarku, dan melihat mataku yang kata adikku tadi, seperti orang yang baru saja kena tonjok.
„Ayo, cerita sama mami, kenapa kamu nangis?”
Desak ibu kuatir campur penasaran.
„Aku putus sama Andre.” Jawabku sedih.
„Kenapa dia putusin kamu?”
„Katanya dia sudah nggak lagi sayang sama aku. Mungkin karena mataku yang nggak bisa lihat.”
Sejenak ibu terdiam.
„Nggakk usah dipikirin. Cowok nggak Cuma dia saja.” Ibu berusaha menghiburku.
„Tapi, mana ada lagi cowok yang mau sama cewek cacat kayak aku?”
Air mataku kembali mengalir. Terdengar ibu menghela nafas berat.
„Siapa bilang kamu cacat? Kamu Cuma nggak bisa lihat dengan jelas. Kamu kan cantik. Pasti nanti ada cowok yang benar-benar sayang sama kamu. Sudah, jangan nangis lagi! Ngapain nangisin cowok macam dia!”
Sebenarnya ibu ini ingin menghiburku, apa ingin mengumpat Andre sih? Tapi perkataan ibu ada benarnya juga. Buat apa aku menangisi Andre yang sudah tidak lagi sayang padaku. Lebih baik air mataku kusimpan sebagai cadangan, siapa tahu nanti diperlukan untuk menangisi yang lain. He he he…
Lagi-lagi aku harus kembali menguatkan hati, agar tidak terpuruk terlalu lama dalam kesedihan.
====
Kisah Masa Remajaku
Inilah kisah masa remajaku.
Setelah lulus SD
Baca Ibuku Adalah Pahlawanku
Ibu kembali mendaftarkanku di sekolah yang sama dengan kakakku. Tapi kini pertempuran ibu dengan pihak sekolah lebih sengit.
„Maaf ibu, kami tidak bisa menerima anak ibu menjadi murid kami!” Jawab kepala sekolah setelah mengetahui kalau aku memiliki hambatan penglihatan.
„Tapi anak saya mampu lulus SD dengan hasil yang bagus!” tukas ibuku tak mau kalah, sambil menunjukkan NEM-ku.
„Ya..., tapi sekolah kami memang tidak menerima murid cacat. Mengapa ibu tidak menyekolahkan anak ibu ini ke SLBA saja, yang memang disediakan bagi anak-anak yang memiliki hambatan penglihatan seperti anak ibu?”
„Tidak!” tolak ibuku tegas, „saya yakin kalau anak saya mampu bersekolah di sekolah umum!”
Sesaat keduanya terdiam. Sesekali terdengar bapak kepala sekolah menarik nafas. Mungkin baru kali ini dia menghadapi seorang ibu yang memiliki semangat kuat seperti banteng.
“Begini saja…” tiba-tiba ibu kembali bersuara, “bagaimana jika bapak memberi kesempatan kepada anak saya untuk mencoba selama setahun. Kalau anak saya terbukti tidak mampu, maka bapak boleh mengeluarkan anak saya. Tapi jika ternyata anak saya mampu mengikuti pelajaran, maka bapak harus menerima anak saya menjadi murid di sini!”
Bapak kepala sekolah tak langsung menjawab. Terlihat dia sedang berpikir keras.
“Baiklah,” jawab bapak sekolah itu akhirnya, “selama satu tahun, anak ibu akan menjadi murid percobaan di sekolah kami. Dia akan tetap belajar seperti anak-anak lainnya, hanya dia tidak akan menerima rapot sungguhan sampai dia dinyatakan berhasil naik kelas. Dan jikalau anak ibu ini ternyata menggangu kegiatan belajar murid-murid lainnya, maka terpaksa kami tolak!””
Seulas senyum lebar terhias di bibir ibu. Akhirnya sekali lagi ibu menang!
Akupun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatanku makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri tidak perlu di tuntun orang lain. Proteksiku terhadap kecacatanku pun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja aku juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaanku pun menjadi lebih sensitif.
Sebenarnya aku tidak pernah mengetahui kalau ternyata aku ini hanya diterima sebagai murid percobaan saja. Ibu sama sekali tidak pernah memberitahuku.
Kembali ibu pun menempatkan aku di deretan bangku paling depan. Ini sudah biasa kami lakukan sedari aku masih di SD, setiap kali kenaikkan kelas. Kadang kami harus berebutan dengan murid-murid lainnya yang ingin juga duduk di meja terdepan. Tapi ibu selalu sigap. Sambil menarik tanganku, ia akan berlari ke meja yang tepat berada di tengah dan terdepan. Jika ada murid yang sudah mendahuluinya, maka ibu akan mengusirnya dengan berkata :
„Maaf, kamu pindah saja ya, karena anak saya ini tidak bisa melihat dengan jelas.” Biasanya murid-murid itu pun segera pindah ke tempat duduk lain. Aku tidak tahu bagaimana tepatnya perasaan mereka. Mungkin mereka bisa maklum, atau mungkin juga mereka kesal, karena berarti harus mencari tempat duduk lain.
Untuk melihat, aku hanya menggunakan mata sebelah kiriku, bukan karena mata sebelah kananku sudah buta sama sekali, tetapi jika aku mencoba menggunakan kedua mataku sekaligus, yang terlihat olehku hanya warna hitam. Makanya kalau sedang membaca buku dengan kaca pembesar, kepalaku sampai miring-miring ke sebelah kanan karena aku membacanya dengan menggunakan sudut mata. Sebenarnya aku sendiri pun tidak menyadarinya, sampai pada suatu hari seorang teman baruku bertanya kepada teman lainnya: “Dia kenapa sih, kok baca buku sampai kepala miring-miring kayak gitu?”
Karena hanya menggunakan satu mata, maka bola mata sebelah kananku pun menjadi juling. Aku pernah melakukan operasi untuk membetulkan mata julingku ini, agar kembali sejajar dengan bola mata sebelah kiriku, tapi tetap saja bola mata kananku akan tampak melenceng, jika sedang melihat sesuatu atau seseorang, kan aku hanya melihatnya dengan sebelah mata.
Pernah suatu hari, aku sedang bertanya kepada seorang cowok tentang sesuatu. Dia bukannya langsung menjawab pertanyaanku, tapi malah menoleh ke belakang, seperti sedang mencari seseorang, dan ketika tidak menemukan siapa pun di belakangnya, barulah dia menoleh lagi kepadaku dan menjawab pertanyaanku dengan nada yang agak bingung. Mungkin dia berpikir: “ Ini anak bicara sama siapa sih? Kok matanya kayak lagi lihat ke belakangku.”
Sebenarnya aku merasa sedih sekali mengetahui tingkah lakunya, tapi aku berusaha menekan perasaanku itu, dan bersikap biasa-biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal di sebelah dalam dadaku terasa perih sekali, seperti habis tergores pisau yang sangat tajam.
Aku pernah mencoba menutup mata kananku dengan telapak tangan, jika sedang berbicara dengan seseorang, dan ternyata caraku itu ampuh. Karena setiap orang yang kuajak bicara tidak lagi menoleh ke belakang, atau ke kiri kanannya, melainkan tetap lurus menatapku. Tapi cara itu pun tidak terus kugunakan, karena nanti dikirannya aku sedang mengejeknya atau tidak punya sopan santun.
Makanya, aku jadi malas bertemu orang, apalagi orang baru yang belum mengetahui keadaan mataku.
Jika sedang ada tamu berkunjung ke rumah,
Aku cepat-cepat masuk ke dalam kamar dan mengurung diri, rasanya lebih tenang dan damai, sampai terdengar teriakan ibu memanggilku untuk menemui tamu-tamunya. Akhirnya dengan terpaksa, aku pun keluar dari lubang persembunyianku yang terasa nyaman, dan menemui mereka sekedarnya saja, tidak ada obrolan yang panjang lebar, apalagi canda tawa.
Sering kali, sepulang sekolah, aku langsung masuk ke dalam kamar. Aku menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur, dan menutup wajahku dengan bantal. aku menangis sepuasnya. Menumpahkan semua kesedihanku yang terasa memadati hatiku, sehingga membuat dadaku terasa sesak.
„Kenapa sih Tuhan tega memberiku mata seperti ini?” Jeritku frustasi, „Kenapa tidak orang lain saja yang diberi mata seperti ini? Kenapa harus aku?” Aku terus menangis sampai merasa lelah sendiri. Aku sering membayangkan tentang masa depanku. Apa selamanya aku harus bergantung terus pada orang tuaku?, apa aku tidak akan bisa hidup mendiri? Apa nantinya aku bisa bekerja dan mencari uang sendiri? Apa akan ada cowok yang mau menikahi cewek cacat sepertiku? Semakin memikirkannya, hatiku semakin terasa seperti diremas-remas saja. Benar-benar sakit., pedih, dan menyebalkan!.
Setelah aku puas mengeluarkan semua unek-unekku dengan cara menangis, aku pun akan segera melupakannya dan kembali menguatkan hatiku, berusaha bersikap seperti biasa lagi. Berjuang menjalani hari-hariku dengan semangat seorang prajurit.
Suatu hari, ibu melihat di sebuah majalah tentang sebuah tempat yang menjual alat-alat bantu untuk anak-anak tunanetra. Segera ibu membawaku mengunjungi tempat itu. Banyak sekali alat-alat bantu yang kutemui di sana. Seperti: kacamata yang dirancang khusus untuk anak-anak lowvision (lemah penglihatan) seperti yang kualami ini. Kacamata itu diberi dua buah teropong yang diletakkan di masing-masing kaca. Jadi mirip seperti yang ada di film Startreck.
Kacamata berteropong itu bisa membantuku melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya ssudah di berikan kaca pembesar, sehingga setiap objek yang ditangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Selain itu juga, aku menemukan sebuah jam tangan yang dapat bersuara. Jadi setiap kali kupencet tombolnya, maka jam itu akan menyebutkan pukul berapa sekarang. Ada juga kaca pembesar yang berbentuk seperti penggaris, jadi aku hanya tinggal meletakkannya di atas tulisan yang akan kubaca.
Semua alat-alat bantu itu ibu belikan untukku. Aku benar-benar senang. Bagiku, mereka bagaikan teman-teman sejati yang siap kapan saja membantuku.
Aku gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, sehingga aku tidak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar, sahingga membuat mataku cepat lelah dan tentu ssaja memaksaku untuk menahan malu di depan teman-temanku, apalagi di depan cowok incaranku. Kemampuanku membaca dengan alat itu pun tidak bertahan lama. Demikian juga dengan kaca pembesar penggarisku. Penglihatanku terus menurun. Aku kembali menggunakan kaca pembesar yang lama, karena kemampuan untuk membesarkan hurufnya masih lebih besar daripada kaca pembesar penggaris. Aku juga kembali meminta tolong kepada teman-temanku agar membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis. Meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan, “sedang malas!”.
Kegiatan menangis sendiri di dalam kamarpun semakin padat dan intonasi nada menangisnya pun semakin bervariasi. Aku tidak mau kalau hobiku menangis sampai diketahui orang lain apalagi orang tuaku. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hatiku pun hanya kutujukan pada Tuhan. Tapi semakin aku menjerit dalam hati, aku semakin merasakan Tuhan dekat denganku, semakin aku sering protes sama Tuhan, semakin hatiku merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah padaku, malah aku semakin merasakan Tuhan tambah sayang padaku. Karenanya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan, aku menganggap kalau sampai aku melakukan hal itu lagi berarti aku termasuk orang yang tidak tahu terimakasih.
Aku mengikuti setiap kegiatan sekolah seperti anak-anak lainnya. Seperti Pramuka, olahraga, dan kegiatan rekreasi. Untuk olahraga, aku paling banyak mengambil nilai dari olahraga renang. Kebetulan dari SD, aku sudah mengikuti kursus renang, dan aku berhasil menjadi murid renang terbaik, walau pun sering juga bibirku terbentur ujung kolam, sampai berdarah dan membengkak. Aku sering diminta guru renangku untuk berenang lebih lama dari murid-murid lainnya. Katanya dia sedang mempersiapkanku untuk mengikuti lomba renang. Tapi sebelum terwujud, aku sudah keburu berhenti kursus, karena aku terkena sakit tipus, hingga harus diopnam di rumah sakit.
Ini adalah sakit tipus keduaku, dan ketika aku sudah di SMU, aku kena tipus sekali lagi. Jadi total tipus yang mampir di hidupku sebanyak tiga kali. Dua kali masuk rumah sakit, dan satu kali lagi jadi pasien ibuku di rumah. Waktu tipus yang ketiga, ibu memperingatkanku:
„Kata dokter, kalau sampai kamu kena tipus sekali lagi, maka usus kamu mau dipotong!”
Pengalaman paling sedih adalah pada saat mengikuti ujian.
Sama seperti di SD, aku membaca soal-soal ujian dengan menggunakan kaca pembesar. Tapi karena penglihatanku semakin memburuk, makanya aku semakin kesulitan membaca atau pun menulis. Sering kali, saat di tengah-tengah ujian, aku sudah merasa kelelahan. Tanganku mulai gemetar, dahiku berkeringat, dan punggungku juga terasa pegal, karena selama satu jam setengah, aku harus terus-menerus membungkuk sampai hampir menyentuh meja untuk mendekatkan mataku pada lembar soal. Jika teman-temanku sudah mulai beranjak dari kursinya untuk mengumpulkan lembar ujiannya, dan kemudian pergi meninggalkan kelas, aku akan semakin gelisah.
Soal yang belum kukerjakan masih begitu banyak, sementara untuk membaca saja aku sudah terlalu lelah. Ingin rasanya aku menangis, dan menyobek-nyobek lembar soal itu, lalu melemparkannya jauh-jauh keluar jendela kelas. Tapi semua itu hanya bisa kulakukan di dalam imajinasiku saja. Karena jika hal itu benar-benar kulakukan, maka sudah bisa dipastikan, guru-guruku akan langsung menyatakan bahwa aku tidak naik kelas!
Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, aku kembali memasang kaca pembesarku untuk membaca tulisan yang malah tampak semakin kabur.
Kalau lonceng tanda waktu ujian telah habis, dengan terpaksa aku pun segera mencentang jawaban dari semua soal yang belum kukerjakan dengan asal-asalan.
A, B, C, D, E, lalu kembali lagi mencentang jawaban dari A, B, C, D, E. Dari pada tidak diisi sama sekali, kan lebih baik untung-untungan. Siapa tau jawabanku yang asal-asalan ini ternyata benar.
Tak terasa setahun pun berlalu, dan ternyata aku mampu mengikuti semua pelajaran dengan cukup baik, serta berhasil naik kelas. Akhirnya pihak sekolah pun menerimaku menjadi muridnya yang sah.
Waktu di kelas dua SMP, aku pernah diam-diam naksir berat dengan seorang cowok seangkatanku, tapi kami berbeda kelas.
Aku di kelas C, sementara dia di kelas D. Aku naksir dia bukan karena wajahnya yang kata orang memang lumayan ganteng, berkulit putih dan bertubuh lumayan tinggi, tapi lebih karena suaranya yang lembut, tidak terlalu banyak bicara, dan kupikir dia pasti adalah cowok yang baik. Tidak seorang pun yang mengetahui tentang perasaanku ini, termasuk orang tuaku. Aku hanya menyimpannya dalam hati. Sering aku sengaja lewat di depan kelasnya hanya untuk merasakan kehadirannya. Walau aku tidak dapat memandang wajahnya, tapi aku sudah merasa senang dengan hanya membayangkan dia ada di dekatku. Syukur-syukur aku bisa mendengar suaranya yang bikin jantungku berdetak lebih cepat.
Tapi suatu hari, akhirnya rahasia hatiku itu terbongkar juga. Sore itu, aku dan teman dekatku, Peggy, sedang ngobrol di telepon. Kami saling bersepakat untuk membuka rahasia hati kami masing-masing dengan memberitahu cowok mana yang sedang kami taksir.
Awalnya kami hanya menyebutkan di kelasberapa sang cowok berada, dan ternyata kami menyebutkan kelas yang sama: 2D. Setelah kami saling main tebak-tebakan nama cowok yang mungkin menjadi inceran masing-masing, Akhirnya Peggy menebak sebuah nama yang membuat mulutku terbungkam. Aku tak bisa bilang “bukan!”, tapi juga tak berani untuk mengatakan: “Ya!”. Mengetahui kegagapanku itu, Peggy langsung saja mengambil kesimpulan kalau ternyata aku naksir „Sandy”, yang bukan lain adalah cowok incerannya juga.
Ketika aku sedang berada di rumah Peggy, Peggy menyarankan agar aku menelepon Sandy. Tapi aku menolak, karena aku malu dan nggak tahu harus ngomong apa.
Akhirnya Peggy yang mendahului menelepon Sandy dan membuka pembicaraan. Setelah beberapa saat, aku mendengar Peggy berkata: “Ini si Rachel mau ngomong sama lu!”, kemudian dia menyodorkan gagang telepon ke tanganku.
Spontan jari-jariku menggenggam gagang telepon itu, karena hatiku juga sangat ingin berbicara dengan Sandy, tapi aku masih kebingungan memilih kata-kata.
“Halo…”
“Halo Rachel.” Suara di seberang telepon hamper saja membuatku pingsan karena kesenangan. Jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat, seperti habis lomba lari marathon.
Aku sibuk mencari kata-kata agar obrolan kami tidak menjadi basi.
“Sabtu ini kamu ke Gereja??” Tanyaku datar.
“Iya. Rachel mau dijemput?”
Waaahhh….! mendengar tawaran Sandy membuatku seperti melayang ke langit ke tujuh. Benar-benar di luar dugaan. Hatiku senang bukan kepalang. Jantungku pun seperti melompat keluar, tapi untung saja keburu kutahan, kalau tidak, bisa-bisa aku sudah mati di tempat.
Tapi, pada saat itu aku hanya dapat tersenyum. Aku membayangkan
berjalan berdua dengan Sandy, dan itu saja sudah terasa sangat menakutkan buatku. Bukan menakutkan karena membayangkan Sandy akan mengajakku berjalan melewati kuburan tengah malam bolong, atau membayangkan gigi Sandy yang tiba-tiba saja bertumbuh makin panjang menyerupai vampir, dan mengejar-ngejar aku untuk dijadikan mahluk vampir berikutnya, seperti yang ada di serial Twilight. Tapi kengerianku lebih disebabkan karena
kondisi mataku yang remang-remang, hidup segan mati pun tak mau!
Nggak mungkin kan kalau nanti tiba-tiba saja aku langsung memegang tangannya, atau biar terlihat lebih sopan dan tidak mengejutkan sang pemilik tangan, aku akan permisi dulu kepada Sandy dengan berkata : “Boleh nggak kalau aku pegang tangan kamu?”.
Duuuhh, baru memikirkannya saja sudah membuatku salah tingkah.
Bagaimana kalau nanti kakiku tersandung batu, atau terpeleset saat menuruni tangga. Bagaimana juga kalau Sandy lupa bahwa cewek di sebelahnya ini memiliki senter yang tinggal setengah wat, alias matanya sudah setengah buta!
Hatiku pun kembali ciut. Aku nggak mungkin menerima tawaran Sandy. Walau pun Sandy mungkin mau menuntunku, tapi aku tetap tidak mau! Aku malu! Malu tapi mau!
Aku pun tidak memberikan jawaban.
Kami kembali ngobrol ke sana ke mari, nggak jelas arah. Kadang malah kami berdua hanya diam, tak tau lagi harus ngomong apa. Hingga akhirnya „Klik”, pembicaraan pun selesai.
Untuk menenangkan gejolak di hatiku yang mulai terdengar seperti guntur yang bergemuruh di tengah samudera luas, aku mulai berpikir kalau tawaran Sandy itu hanyalah main-main. Sandy tidak bermaksud serius dengan tawarannya itu. Meski dalam hati sih aku tetap berharap kalau tawaran itu sungguh-sungguh muncul dari dalam hati Sandy.
Akhirnya, Sabtu pun berlalu tanpa Sandi. Seperti biasa, orang yang menjemputku tak lain tak bukan adalah ibuku.
Ibu mencoba mengajakku berobat ke Singapura. Kami pergi hanya berdua saja, padahal bahasa Ingris kami amburadul. Aku kembali harus melakukan pemeriksaan dari awal lagi. Dari mencoba berbagai ukuran lensa, dan berusaha membaca huruf-huruf yang muncul dilayar, yang semakin membuatku merasa frustasi, karena huruf-huruf itu tak juga mampu kulihat. , Harus merasakan sakit lagi saat tanganku disuntik warna, agar saat mataku difoto, hasilnya jadi berwarna. Sampai disuruh melihat titik-titik cahaya yang muncul. Setiap kali ada titik yang muncul pada layar, aku harus memencet tombol. Lumayan sering aku memencet tombol, padahal aku sendiri tidak yakin apa titik-titik yang kulihat itu benar-benar terlihat oleh mataku, atau Cuma merupakan hasil dari imajinasiku saja. Yang pasti, dokter menyatakan bahwa seharusnya kedua mataku ini sudah buta sama sekali, karena bintik yang ada di tengah bola mataku sudah bolong. Sebenarnya hasil ini kuketahui juga dari ibu. Entah ibu yang salah dengar, atau dokternya yang salah diagnose. Yang pasti, saat itu aku masih mampu melihat, walau pun luas pandangku semakin sempit dan buram.
Kami pun kembali ke Indonesia dengan tangan kosong. Masalah pada mataku masih juga menjadi misteri.
Ketika aku di kelas tiga SMP, orang tuaku kembali mengusahakan agar aku bisa berobat ke Belanda. Mendengar rencana keberangkatanku ke Belanda, tiba-tiba saja ada tetanggaku yang baik hati, menyodorkan sejumlah uang kepada orang tuaku.
„Pegang saja uang ini, hanya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu nanti dibutuhkan di sana.” Ujarnya setengah memohon agar orang tuaku mau menerimanya. Akhirnya, demi menghargai niat baik tetanggaku itu, orang tuaku pun menerimanya dengan disertai ucapan terima kasih. Jadilah aku berangkat ke negeri kincir angin itu. Lagi-lagi hanya ditemani oleh ibuku.
Ketika kami sedang berada di ruang tunggu bandara, yang lebih didominasi oleh orang-orang asing, ibu melihat seorang wanita yang sebangsa dengan kami. Ibu segera melempar senyum yang langsung dibalas oleh wanita itu. Mereka pun segera saling berjabat tangan untuk berkenalan. Aku pun tidak ketinggalan ikut memperkenalkan diri. Suami wanita itu yang orang Belanda asli sangat ramah kepada kami. Ketika kami harus transit di Bangkok, karena sebelah sayap pesawat kami mengalami kerusakan, Wanita itulah, yang bernama Sukinah, berserta dengan suaminya, yang selalu menemani kami. Ibu sangat senang memperoleh teman satu bahasa. Seandainya tante Sukinah tidak ada, pastilah kami akan merasa seperti anak kelinci di tengah-tengah kerumunan jerapah. Selama berjalan-jalan di bandara Bangkok, suami tante Sukinah selalu menuntunku. Dia sudah menguasai sedikit bahasa Indonesia, sehingga kami bisa mengobrol dengan nyaman. Sekali-kali dia mengajariku bahasa Belanda.
„Ik wil eten, artinya, saya mau makan…
Ik wil drinken : saya mau minum…
Ik wil slapen, berarti saya mau tidur.”
„Kalau aku cinta kamu?” tanyaku penasaran.
„Ik hou van je!„ jawabnya sambil tertawa. Tangannya yang besar mengucek-ngucek rambutku.
Setelah sekitar dua jam kami menunggu di bandara Bangkok, akhirnya kami kembali memasuki pesawat dan melanjutkan perjalanan yang masih amat jauh.
Sewaktu akhirnya kami turun di bandara schiphol yang begitu luas, suami isteri yang baik itu kembali menemani kami sampai kami bertemu dengan saudara kami yang tinggal di sana, dan memang datang untuk menjemput kami. Tante Sukinah dan suaminya itu sudah seperti dua orang malaikat yang sengaja dikirim Tuhan untuk mendampingi kami selama di perjalanan. Tanpa mereka, mungkin kami berdua sudah kebingungan setengah mati.
Selama kurang lebih satu bulan di Belanda, kami tinggal di rumah saudara yang menjemputku dan ibu di bandara itu. Sayang aku tidak bisa menikmati indahnya negeri kincir angin ini, karena yang kulihat hanya samar-samar.
Tapi aku sangat menyukai negeri ini, karena orangnya ramah-ramah, dan suka menyapa orang lain, baik yang sudah kenal, maupun yang belum kenal.
Awalnya aku diperiksa oleh seorang dokter di Amsterdam. Tetapi dokter itu langsung menyarankan ibu untuk membawaku ke seorang profesor mata di Nijmegen. Setibanya di Nijmegen, lima orang dokter secara bergiliran
memeriksa mataku. Kelopak mataku dibukanya lebar-lebar, dan dengan menggunakan senter, mereka pun memperhatikan bola mataku. Setelah itu, datanglah seorang dokter tua yang ternyata merupakan seorang professor mata ternama. Dia pun melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan kelima dokter sebelumnya. Kemudian aku dibawa ke sebuah ruangan. Aku disuruh berbaring di tempat tidur yang ada di situ. Lalu kelopak mataku kembali dibukanya lebar-lebar, tetapi kali ini, sebuah benda seperti teropong kecil di masukkan ke dalam mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan. Tapi kelopakku terganjal oleh benda menyebalkan itu. Setelah benda kecil itu berhasil menempel di mata kiriku, kini giliran mata sebelah kananku di masukkan benda yang sama. Lalu, beberapa titik dikepalaku ditempeli semacam kabel-kabel yang terhubung dengan computer.
Aku hanya bisa terdiam dengan pasrah. Aku mendengar mereka, para dokter dan suster, termasuk ibu dan saudaraku sedang mengomentari gambar yang tampak di layer computer. Kata ibu, semua syaraf yang ada di kepalaku terlihat jelas. Begitu halus seperti serabut, dan banyak sekali.
Setelah selesai, aku lagi-lagi di suntik cairan berwarna yang akan menyebabkan bola mataku mengeluarkan warna-warna pada saat di foto. Mereka tidak percaya dengan data-data yang dibawa ibu dari pemeriksaanku sebelumnya di Indonesia maupun di Singapura.
Beberapa hari kemudian, kami pun kembali ke Nijmegen, dan mendapatkan hasil yang membuat harapanku untuk sembuh kembali terlempar sangat jauh, tercebur ke dalam lautan, dan langsung ditelan oleh seekor ikan hiu besar.
Profesor mata itu berkata kepada saudaraku, yang langsung meneruskannya kepada ibu dalam bahasa Indonesia:
“Ada sebuah syaraf di kepalanya yang terjepit, dan karena sudah terlalu lama dibiarkan, maka syaraf itu mengering. Padahal syaraf itu berfungsi menghubungkan antara mata dan otak. Syaraf itu sangat kecil dan halus, jika dilakukan operasi, besar kemungkinan syaraf-syaraf lainnya akan ikut terpotong, dan akibatnya sangat vital.”
Sepanjang perjalanan pulang di dalam mobil, aku terus memikirkan mataku yang tidak akan dapat sembuh. Tiba-tiba saja setetes air mata jatuh menuruni pipiku. Aku sengaja menyembunyikan wajahku dengan berpura-pura melihat ke jalan raya melalui jendela yang berada di sampingku. Tapi
air mataku semakin deras mengalir.
“Kenapa kamu nangis?” Tanya ibu yang mendengar isakanku.
Ditanya seperti itu, aku malah jadi semakin sedih. Aku langsung memeluk ibuku, dan meneruskan tangisanku yang sempat tertahan.
Ibu hanya mengusap-usap punggungku, sambil sesekali terdengar ia menghela nafas.
“Sudahlah…” kata ibu berusaha menenangkanku,
“sekarang kita pasrahkan saja semuanya pada Tuhan. Selama ini toh Tuhan selalu tolong kamu. Buktinya kamu masih bisa sekolah kayak anak-anak lainnya yang berpenglihatan normal.”
“Tapi aku mau mataku sembuh!” seruku di tengah-tengah tangisku.
Saudaraku yang duduk di jog depan, dan teman Belandanya yang duduk di bangku pengemudi, hanya terdiam. Mereka turut merasakan kesedihan yang sedang dialami oleh ibu dan anak ini.
Tiba-tiba saja mobil kami berhenti di pom bensin. Bukan untuk mengisi bensin, tapi pengemudi Belanda itu turun, dan masuk ke sebuah toko yang berada di area pom bensin tersebut.
Kami hanya menunggu di dalam mobil.
Aku sudah menghentikan tangisku, dan kembali menguatkan hati untuk menerima kenyataan yang ada.
Tiba-tiba saja pintu mobil di sampingku terbuka, dan pengemudi Belanda itu menyodorkan sebuah boneka kodok kepadaku, sambil bertanya dengan menggunakan bahasa Belanda, yang langsung diterjemahkan oleh saudaraku:
„Kamu suka boneka kodok ini?”
Aku sempat terkejut. Kuraba-raba boneka kodok itu dengan jari-jariku. Kemudian aku pun menganggukkan kepala sambil menjawab : „Ya. Bedang!”
Kupikir, mungkin dia ingin menghiburku dengan boneka kodok ini. Sungguh-sungguh orang yang baik hati.
Sampai sekarang, boneka kodok itu masih kusimpan, dan masih berbentuk kodok yang tersenyum lebar, dengan warna hijau cerah yang tidak juga menjadi pudar.
===
Lanjut ke :
Kisah Masa Remajaku Bagian 2
Setelah lulus SD
Baca Ibuku Adalah Pahlawanku
Ibu kembali mendaftarkanku di sekolah yang sama dengan kakakku. Tapi kini pertempuran ibu dengan pihak sekolah lebih sengit.
„Maaf ibu, kami tidak bisa menerima anak ibu menjadi murid kami!” Jawab kepala sekolah setelah mengetahui kalau aku memiliki hambatan penglihatan.
„Tapi anak saya mampu lulus SD dengan hasil yang bagus!” tukas ibuku tak mau kalah, sambil menunjukkan NEM-ku.
„Ya..., tapi sekolah kami memang tidak menerima murid cacat. Mengapa ibu tidak menyekolahkan anak ibu ini ke SLBA saja, yang memang disediakan bagi anak-anak yang memiliki hambatan penglihatan seperti anak ibu?”
„Tidak!” tolak ibuku tegas, „saya yakin kalau anak saya mampu bersekolah di sekolah umum!”
Sesaat keduanya terdiam. Sesekali terdengar bapak kepala sekolah menarik nafas. Mungkin baru kali ini dia menghadapi seorang ibu yang memiliki semangat kuat seperti banteng.
“Begini saja…” tiba-tiba ibu kembali bersuara, “bagaimana jika bapak memberi kesempatan kepada anak saya untuk mencoba selama setahun. Kalau anak saya terbukti tidak mampu, maka bapak boleh mengeluarkan anak saya. Tapi jika ternyata anak saya mampu mengikuti pelajaran, maka bapak harus menerima anak saya menjadi murid di sini!”
Bapak kepala sekolah tak langsung menjawab. Terlihat dia sedang berpikir keras.
“Baiklah,” jawab bapak sekolah itu akhirnya, “selama satu tahun, anak ibu akan menjadi murid percobaan di sekolah kami. Dia akan tetap belajar seperti anak-anak lainnya, hanya dia tidak akan menerima rapot sungguhan sampai dia dinyatakan berhasil naik kelas. Dan jikalau anak ibu ini ternyata menggangu kegiatan belajar murid-murid lainnya, maka terpaksa kami tolak!””
Seulas senyum lebar terhias di bibir ibu. Akhirnya sekali lagi ibu menang!
Akupun masuk ke SMP menjadi seorang gadis remaja. Jarak penglihatanku makin memburuk tetapi masih mampu berjalan sendiri tidak perlu di tuntun orang lain. Proteksiku terhadap kecacatanku pun semakin ketat, apalagi sebagai gadis remaja aku juga ingin mendapatkan perhatian lebih dari teman lawan jenis, dan itu membuat perasaanku pun menjadi lebih sensitif.
Sebenarnya aku tidak pernah mengetahui kalau ternyata aku ini hanya diterima sebagai murid percobaan saja. Ibu sama sekali tidak pernah memberitahuku.
Kembali ibu pun menempatkan aku di deretan bangku paling depan. Ini sudah biasa kami lakukan sedari aku masih di SD, setiap kali kenaikkan kelas. Kadang kami harus berebutan dengan murid-murid lainnya yang ingin juga duduk di meja terdepan. Tapi ibu selalu sigap. Sambil menarik tanganku, ia akan berlari ke meja yang tepat berada di tengah dan terdepan. Jika ada murid yang sudah mendahuluinya, maka ibu akan mengusirnya dengan berkata :
„Maaf, kamu pindah saja ya, karena anak saya ini tidak bisa melihat dengan jelas.” Biasanya murid-murid itu pun segera pindah ke tempat duduk lain. Aku tidak tahu bagaimana tepatnya perasaan mereka. Mungkin mereka bisa maklum, atau mungkin juga mereka kesal, karena berarti harus mencari tempat duduk lain.
Untuk melihat, aku hanya menggunakan mata sebelah kiriku, bukan karena mata sebelah kananku sudah buta sama sekali, tetapi jika aku mencoba menggunakan kedua mataku sekaligus, yang terlihat olehku hanya warna hitam. Makanya kalau sedang membaca buku dengan kaca pembesar, kepalaku sampai miring-miring ke sebelah kanan karena aku membacanya dengan menggunakan sudut mata. Sebenarnya aku sendiri pun tidak menyadarinya, sampai pada suatu hari seorang teman baruku bertanya kepada teman lainnya: “Dia kenapa sih, kok baca buku sampai kepala miring-miring kayak gitu?”
Karena hanya menggunakan satu mata, maka bola mata sebelah kananku pun menjadi juling. Aku pernah melakukan operasi untuk membetulkan mata julingku ini, agar kembali sejajar dengan bola mata sebelah kiriku, tapi tetap saja bola mata kananku akan tampak melenceng, jika sedang melihat sesuatu atau seseorang, kan aku hanya melihatnya dengan sebelah mata.
Pernah suatu hari, aku sedang bertanya kepada seorang cowok tentang sesuatu. Dia bukannya langsung menjawab pertanyaanku, tapi malah menoleh ke belakang, seperti sedang mencari seseorang, dan ketika tidak menemukan siapa pun di belakangnya, barulah dia menoleh lagi kepadaku dan menjawab pertanyaanku dengan nada yang agak bingung. Mungkin dia berpikir: “ Ini anak bicara sama siapa sih? Kok matanya kayak lagi lihat ke belakangku.”
Sebenarnya aku merasa sedih sekali mengetahui tingkah lakunya, tapi aku berusaha menekan perasaanku itu, dan bersikap biasa-biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal di sebelah dalam dadaku terasa perih sekali, seperti habis tergores pisau yang sangat tajam.
Aku pernah mencoba menutup mata kananku dengan telapak tangan, jika sedang berbicara dengan seseorang, dan ternyata caraku itu ampuh. Karena setiap orang yang kuajak bicara tidak lagi menoleh ke belakang, atau ke kiri kanannya, melainkan tetap lurus menatapku. Tapi cara itu pun tidak terus kugunakan, karena nanti dikirannya aku sedang mengejeknya atau tidak punya sopan santun.
Makanya, aku jadi malas bertemu orang, apalagi orang baru yang belum mengetahui keadaan mataku.
Jika sedang ada tamu berkunjung ke rumah,
Aku cepat-cepat masuk ke dalam kamar dan mengurung diri, rasanya lebih tenang dan damai, sampai terdengar teriakan ibu memanggilku untuk menemui tamu-tamunya. Akhirnya dengan terpaksa, aku pun keluar dari lubang persembunyianku yang terasa nyaman, dan menemui mereka sekedarnya saja, tidak ada obrolan yang panjang lebar, apalagi canda tawa.
Sering kali, sepulang sekolah, aku langsung masuk ke dalam kamar. Aku menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur, dan menutup wajahku dengan bantal. aku menangis sepuasnya. Menumpahkan semua kesedihanku yang terasa memadati hatiku, sehingga membuat dadaku terasa sesak.
„Kenapa sih Tuhan tega memberiku mata seperti ini?” Jeritku frustasi, „Kenapa tidak orang lain saja yang diberi mata seperti ini? Kenapa harus aku?” Aku terus menangis sampai merasa lelah sendiri. Aku sering membayangkan tentang masa depanku. Apa selamanya aku harus bergantung terus pada orang tuaku?, apa aku tidak akan bisa hidup mendiri? Apa nantinya aku bisa bekerja dan mencari uang sendiri? Apa akan ada cowok yang mau menikahi cewek cacat sepertiku? Semakin memikirkannya, hatiku semakin terasa seperti diremas-remas saja. Benar-benar sakit., pedih, dan menyebalkan!.
Setelah aku puas mengeluarkan semua unek-unekku dengan cara menangis, aku pun akan segera melupakannya dan kembali menguatkan hatiku, berusaha bersikap seperti biasa lagi. Berjuang menjalani hari-hariku dengan semangat seorang prajurit.
Suatu hari, ibu melihat di sebuah majalah tentang sebuah tempat yang menjual alat-alat bantu untuk anak-anak tunanetra. Segera ibu membawaku mengunjungi tempat itu. Banyak sekali alat-alat bantu yang kutemui di sana. Seperti: kacamata yang dirancang khusus untuk anak-anak lowvision (lemah penglihatan) seperti yang kualami ini. Kacamata itu diberi dua buah teropong yang diletakkan di masing-masing kaca. Jadi mirip seperti yang ada di film Startreck.
Kacamata berteropong itu bisa membantuku melihat dari jarak tertentu dan di dalamnya ssudah di berikan kaca pembesar, sehingga setiap objek yang ditangkap oleh lensa teropong itu bisa terlihat lebih dekat dan membesar. Selain itu juga, aku menemukan sebuah jam tangan yang dapat bersuara. Jadi setiap kali kupencet tombolnya, maka jam itu akan menyebutkan pukul berapa sekarang. Ada juga kaca pembesar yang berbentuk seperti penggaris, jadi aku hanya tinggal meletakkannya di atas tulisan yang akan kubaca.
Semua alat-alat bantu itu ibu belikan untukku. Aku benar-benar senang. Bagiku, mereka bagaikan teman-teman sejati yang siap kapan saja membantuku.
Aku gunakan kacamata teropong itu untuk membaca tulisan yang ada di papan tulis, sehingga aku tidak perlu lagi mondar-mandir dari meja ke papan tulis. Tapi kacamata itu begitu berat dan besar, sahingga membuat mataku cepat lelah dan tentu ssaja memaksaku untuk menahan malu di depan teman-temanku, apalagi di depan cowok incaranku. Kemampuanku membaca dengan alat itu pun tidak bertahan lama. Demikian juga dengan kaca pembesar penggarisku. Penglihatanku terus menurun. Aku kembali menggunakan kaca pembesar yang lama, karena kemampuan untuk membesarkan hurufnya masih lebih besar daripada kaca pembesar penggaris. Aku juga kembali meminta tolong kepada teman-temanku agar membantu membacakan setiap tulisan yang ada di papan tulis. Meski terkadang ada juga teman yang menolak dengan alasan, “sedang malas!”.
Kegiatan menangis sendiri di dalam kamarpun semakin padat dan intonasi nada menangisnya pun semakin bervariasi. Aku tidak mau kalau hobiku menangis sampai diketahui orang lain apalagi orang tuaku. Jadi setiap kepedihan, ketakutan, keputusasaan, dan jeritan hatiku pun hanya kutujukan pada Tuhan. Tapi semakin aku menjerit dalam hati, aku semakin merasakan Tuhan dekat denganku, semakin aku sering protes sama Tuhan, semakin hatiku merasa sangat bersalah. Tapi lewat semuanya itu, Tuhan tidak pernah marah padaku, malah aku semakin merasakan Tuhan tambah sayang padaku. Karenanya, aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak lagi menyalahkan, apalagi sampai marah pada Tuhan, aku menganggap kalau sampai aku melakukan hal itu lagi berarti aku termasuk orang yang tidak tahu terimakasih.
Aku mengikuti setiap kegiatan sekolah seperti anak-anak lainnya. Seperti Pramuka, olahraga, dan kegiatan rekreasi. Untuk olahraga, aku paling banyak mengambil nilai dari olahraga renang. Kebetulan dari SD, aku sudah mengikuti kursus renang, dan aku berhasil menjadi murid renang terbaik, walau pun sering juga bibirku terbentur ujung kolam, sampai berdarah dan membengkak. Aku sering diminta guru renangku untuk berenang lebih lama dari murid-murid lainnya. Katanya dia sedang mempersiapkanku untuk mengikuti lomba renang. Tapi sebelum terwujud, aku sudah keburu berhenti kursus, karena aku terkena sakit tipus, hingga harus diopnam di rumah sakit.
Ini adalah sakit tipus keduaku, dan ketika aku sudah di SMU, aku kena tipus sekali lagi. Jadi total tipus yang mampir di hidupku sebanyak tiga kali. Dua kali masuk rumah sakit, dan satu kali lagi jadi pasien ibuku di rumah. Waktu tipus yang ketiga, ibu memperingatkanku:
„Kata dokter, kalau sampai kamu kena tipus sekali lagi, maka usus kamu mau dipotong!”
Pengalaman paling sedih adalah pada saat mengikuti ujian.
Sama seperti di SD, aku membaca soal-soal ujian dengan menggunakan kaca pembesar. Tapi karena penglihatanku semakin memburuk, makanya aku semakin kesulitan membaca atau pun menulis. Sering kali, saat di tengah-tengah ujian, aku sudah merasa kelelahan. Tanganku mulai gemetar, dahiku berkeringat, dan punggungku juga terasa pegal, karena selama satu jam setengah, aku harus terus-menerus membungkuk sampai hampir menyentuh meja untuk mendekatkan mataku pada lembar soal. Jika teman-temanku sudah mulai beranjak dari kursinya untuk mengumpulkan lembar ujiannya, dan kemudian pergi meninggalkan kelas, aku akan semakin gelisah.
Soal yang belum kukerjakan masih begitu banyak, sementara untuk membaca saja aku sudah terlalu lelah. Ingin rasanya aku menangis, dan menyobek-nyobek lembar soal itu, lalu melemparkannya jauh-jauh keluar jendela kelas. Tapi semua itu hanya bisa kulakukan di dalam imajinasiku saja. Karena jika hal itu benar-benar kulakukan, maka sudah bisa dipastikan, guru-guruku akan langsung menyatakan bahwa aku tidak naik kelas!
Akhirnya, dengan sisa tenaga yang ada, aku kembali memasang kaca pembesarku untuk membaca tulisan yang malah tampak semakin kabur.
Kalau lonceng tanda waktu ujian telah habis, dengan terpaksa aku pun segera mencentang jawaban dari semua soal yang belum kukerjakan dengan asal-asalan.
A, B, C, D, E, lalu kembali lagi mencentang jawaban dari A, B, C, D, E. Dari pada tidak diisi sama sekali, kan lebih baik untung-untungan. Siapa tau jawabanku yang asal-asalan ini ternyata benar.
Tak terasa setahun pun berlalu, dan ternyata aku mampu mengikuti semua pelajaran dengan cukup baik, serta berhasil naik kelas. Akhirnya pihak sekolah pun menerimaku menjadi muridnya yang sah.
Waktu di kelas dua SMP, aku pernah diam-diam naksir berat dengan seorang cowok seangkatanku, tapi kami berbeda kelas.
Aku di kelas C, sementara dia di kelas D. Aku naksir dia bukan karena wajahnya yang kata orang memang lumayan ganteng, berkulit putih dan bertubuh lumayan tinggi, tapi lebih karena suaranya yang lembut, tidak terlalu banyak bicara, dan kupikir dia pasti adalah cowok yang baik. Tidak seorang pun yang mengetahui tentang perasaanku ini, termasuk orang tuaku. Aku hanya menyimpannya dalam hati. Sering aku sengaja lewat di depan kelasnya hanya untuk merasakan kehadirannya. Walau aku tidak dapat memandang wajahnya, tapi aku sudah merasa senang dengan hanya membayangkan dia ada di dekatku. Syukur-syukur aku bisa mendengar suaranya yang bikin jantungku berdetak lebih cepat.
Tapi suatu hari, akhirnya rahasia hatiku itu terbongkar juga. Sore itu, aku dan teman dekatku, Peggy, sedang ngobrol di telepon. Kami saling bersepakat untuk membuka rahasia hati kami masing-masing dengan memberitahu cowok mana yang sedang kami taksir.
Awalnya kami hanya menyebutkan di kelasberapa sang cowok berada, dan ternyata kami menyebutkan kelas yang sama: 2D. Setelah kami saling main tebak-tebakan nama cowok yang mungkin menjadi inceran masing-masing, Akhirnya Peggy menebak sebuah nama yang membuat mulutku terbungkam. Aku tak bisa bilang “bukan!”, tapi juga tak berani untuk mengatakan: “Ya!”. Mengetahui kegagapanku itu, Peggy langsung saja mengambil kesimpulan kalau ternyata aku naksir „Sandy”, yang bukan lain adalah cowok incerannya juga.
Ketika aku sedang berada di rumah Peggy, Peggy menyarankan agar aku menelepon Sandy. Tapi aku menolak, karena aku malu dan nggak tahu harus ngomong apa.
Akhirnya Peggy yang mendahului menelepon Sandy dan membuka pembicaraan. Setelah beberapa saat, aku mendengar Peggy berkata: “Ini si Rachel mau ngomong sama lu!”, kemudian dia menyodorkan gagang telepon ke tanganku.
Spontan jari-jariku menggenggam gagang telepon itu, karena hatiku juga sangat ingin berbicara dengan Sandy, tapi aku masih kebingungan memilih kata-kata.
“Halo…”
“Halo Rachel.” Suara di seberang telepon hamper saja membuatku pingsan karena kesenangan. Jantungku tiba-tiba saja berdetak lebih cepat, seperti habis lomba lari marathon.
Aku sibuk mencari kata-kata agar obrolan kami tidak menjadi basi.
“Sabtu ini kamu ke Gereja??” Tanyaku datar.
“Iya. Rachel mau dijemput?”
Waaahhh….! mendengar tawaran Sandy membuatku seperti melayang ke langit ke tujuh. Benar-benar di luar dugaan. Hatiku senang bukan kepalang. Jantungku pun seperti melompat keluar, tapi untung saja keburu kutahan, kalau tidak, bisa-bisa aku sudah mati di tempat.
Tapi, pada saat itu aku hanya dapat tersenyum. Aku membayangkan
berjalan berdua dengan Sandy, dan itu saja sudah terasa sangat menakutkan buatku. Bukan menakutkan karena membayangkan Sandy akan mengajakku berjalan melewati kuburan tengah malam bolong, atau membayangkan gigi Sandy yang tiba-tiba saja bertumbuh makin panjang menyerupai vampir, dan mengejar-ngejar aku untuk dijadikan mahluk vampir berikutnya, seperti yang ada di serial Twilight. Tapi kengerianku lebih disebabkan karena
kondisi mataku yang remang-remang, hidup segan mati pun tak mau!
Nggak mungkin kan kalau nanti tiba-tiba saja aku langsung memegang tangannya, atau biar terlihat lebih sopan dan tidak mengejutkan sang pemilik tangan, aku akan permisi dulu kepada Sandy dengan berkata : “Boleh nggak kalau aku pegang tangan kamu?”.
Duuuhh, baru memikirkannya saja sudah membuatku salah tingkah.
Bagaimana kalau nanti kakiku tersandung batu, atau terpeleset saat menuruni tangga. Bagaimana juga kalau Sandy lupa bahwa cewek di sebelahnya ini memiliki senter yang tinggal setengah wat, alias matanya sudah setengah buta!
Hatiku pun kembali ciut. Aku nggak mungkin menerima tawaran Sandy. Walau pun Sandy mungkin mau menuntunku, tapi aku tetap tidak mau! Aku malu! Malu tapi mau!
Aku pun tidak memberikan jawaban.
Kami kembali ngobrol ke sana ke mari, nggak jelas arah. Kadang malah kami berdua hanya diam, tak tau lagi harus ngomong apa. Hingga akhirnya „Klik”, pembicaraan pun selesai.
Untuk menenangkan gejolak di hatiku yang mulai terdengar seperti guntur yang bergemuruh di tengah samudera luas, aku mulai berpikir kalau tawaran Sandy itu hanyalah main-main. Sandy tidak bermaksud serius dengan tawarannya itu. Meski dalam hati sih aku tetap berharap kalau tawaran itu sungguh-sungguh muncul dari dalam hati Sandy.
Akhirnya, Sabtu pun berlalu tanpa Sandi. Seperti biasa, orang yang menjemputku tak lain tak bukan adalah ibuku.
Ibu mencoba mengajakku berobat ke Singapura. Kami pergi hanya berdua saja, padahal bahasa Ingris kami amburadul. Aku kembali harus melakukan pemeriksaan dari awal lagi. Dari mencoba berbagai ukuran lensa, dan berusaha membaca huruf-huruf yang muncul dilayar, yang semakin membuatku merasa frustasi, karena huruf-huruf itu tak juga mampu kulihat. , Harus merasakan sakit lagi saat tanganku disuntik warna, agar saat mataku difoto, hasilnya jadi berwarna. Sampai disuruh melihat titik-titik cahaya yang muncul. Setiap kali ada titik yang muncul pada layar, aku harus memencet tombol. Lumayan sering aku memencet tombol, padahal aku sendiri tidak yakin apa titik-titik yang kulihat itu benar-benar terlihat oleh mataku, atau Cuma merupakan hasil dari imajinasiku saja. Yang pasti, dokter menyatakan bahwa seharusnya kedua mataku ini sudah buta sama sekali, karena bintik yang ada di tengah bola mataku sudah bolong. Sebenarnya hasil ini kuketahui juga dari ibu. Entah ibu yang salah dengar, atau dokternya yang salah diagnose. Yang pasti, saat itu aku masih mampu melihat, walau pun luas pandangku semakin sempit dan buram.
Kami pun kembali ke Indonesia dengan tangan kosong. Masalah pada mataku masih juga menjadi misteri.
Ketika aku di kelas tiga SMP, orang tuaku kembali mengusahakan agar aku bisa berobat ke Belanda. Mendengar rencana keberangkatanku ke Belanda, tiba-tiba saja ada tetanggaku yang baik hati, menyodorkan sejumlah uang kepada orang tuaku.
„Pegang saja uang ini, hanya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu nanti dibutuhkan di sana.” Ujarnya setengah memohon agar orang tuaku mau menerimanya. Akhirnya, demi menghargai niat baik tetanggaku itu, orang tuaku pun menerimanya dengan disertai ucapan terima kasih. Jadilah aku berangkat ke negeri kincir angin itu. Lagi-lagi hanya ditemani oleh ibuku.
Ketika kami sedang berada di ruang tunggu bandara, yang lebih didominasi oleh orang-orang asing, ibu melihat seorang wanita yang sebangsa dengan kami. Ibu segera melempar senyum yang langsung dibalas oleh wanita itu. Mereka pun segera saling berjabat tangan untuk berkenalan. Aku pun tidak ketinggalan ikut memperkenalkan diri. Suami wanita itu yang orang Belanda asli sangat ramah kepada kami. Ketika kami harus transit di Bangkok, karena sebelah sayap pesawat kami mengalami kerusakan, Wanita itulah, yang bernama Sukinah, berserta dengan suaminya, yang selalu menemani kami. Ibu sangat senang memperoleh teman satu bahasa. Seandainya tante Sukinah tidak ada, pastilah kami akan merasa seperti anak kelinci di tengah-tengah kerumunan jerapah. Selama berjalan-jalan di bandara Bangkok, suami tante Sukinah selalu menuntunku. Dia sudah menguasai sedikit bahasa Indonesia, sehingga kami bisa mengobrol dengan nyaman. Sekali-kali dia mengajariku bahasa Belanda.
„Ik wil eten, artinya, saya mau makan…
Ik wil drinken : saya mau minum…
Ik wil slapen, berarti saya mau tidur.”
„Kalau aku cinta kamu?” tanyaku penasaran.
„Ik hou van je!„ jawabnya sambil tertawa. Tangannya yang besar mengucek-ngucek rambutku.
Setelah sekitar dua jam kami menunggu di bandara Bangkok, akhirnya kami kembali memasuki pesawat dan melanjutkan perjalanan yang masih amat jauh.
Sewaktu akhirnya kami turun di bandara schiphol yang begitu luas, suami isteri yang baik itu kembali menemani kami sampai kami bertemu dengan saudara kami yang tinggal di sana, dan memang datang untuk menjemput kami. Tante Sukinah dan suaminya itu sudah seperti dua orang malaikat yang sengaja dikirim Tuhan untuk mendampingi kami selama di perjalanan. Tanpa mereka, mungkin kami berdua sudah kebingungan setengah mati.
Selama kurang lebih satu bulan di Belanda, kami tinggal di rumah saudara yang menjemputku dan ibu di bandara itu. Sayang aku tidak bisa menikmati indahnya negeri kincir angin ini, karena yang kulihat hanya samar-samar.
Tapi aku sangat menyukai negeri ini, karena orangnya ramah-ramah, dan suka menyapa orang lain, baik yang sudah kenal, maupun yang belum kenal.
Awalnya aku diperiksa oleh seorang dokter di Amsterdam. Tetapi dokter itu langsung menyarankan ibu untuk membawaku ke seorang profesor mata di Nijmegen. Setibanya di Nijmegen, lima orang dokter secara bergiliran
memeriksa mataku. Kelopak mataku dibukanya lebar-lebar, dan dengan menggunakan senter, mereka pun memperhatikan bola mataku. Setelah itu, datanglah seorang dokter tua yang ternyata merupakan seorang professor mata ternama. Dia pun melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan kelima dokter sebelumnya. Kemudian aku dibawa ke sebuah ruangan. Aku disuruh berbaring di tempat tidur yang ada di situ. Lalu kelopak mataku kembali dibukanya lebar-lebar, tetapi kali ini, sebuah benda seperti teropong kecil di masukkan ke dalam mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghilangkan rasa sakit yang ditimbulkan. Tapi kelopakku terganjal oleh benda menyebalkan itu. Setelah benda kecil itu berhasil menempel di mata kiriku, kini giliran mata sebelah kananku di masukkan benda yang sama. Lalu, beberapa titik dikepalaku ditempeli semacam kabel-kabel yang terhubung dengan computer.
Aku hanya bisa terdiam dengan pasrah. Aku mendengar mereka, para dokter dan suster, termasuk ibu dan saudaraku sedang mengomentari gambar yang tampak di layer computer. Kata ibu, semua syaraf yang ada di kepalaku terlihat jelas. Begitu halus seperti serabut, dan banyak sekali.
Setelah selesai, aku lagi-lagi di suntik cairan berwarna yang akan menyebabkan bola mataku mengeluarkan warna-warna pada saat di foto. Mereka tidak percaya dengan data-data yang dibawa ibu dari pemeriksaanku sebelumnya di Indonesia maupun di Singapura.
Beberapa hari kemudian, kami pun kembali ke Nijmegen, dan mendapatkan hasil yang membuat harapanku untuk sembuh kembali terlempar sangat jauh, tercebur ke dalam lautan, dan langsung ditelan oleh seekor ikan hiu besar.
Profesor mata itu berkata kepada saudaraku, yang langsung meneruskannya kepada ibu dalam bahasa Indonesia:
“Ada sebuah syaraf di kepalanya yang terjepit, dan karena sudah terlalu lama dibiarkan, maka syaraf itu mengering. Padahal syaraf itu berfungsi menghubungkan antara mata dan otak. Syaraf itu sangat kecil dan halus, jika dilakukan operasi, besar kemungkinan syaraf-syaraf lainnya akan ikut terpotong, dan akibatnya sangat vital.”
Sepanjang perjalanan pulang di dalam mobil, aku terus memikirkan mataku yang tidak akan dapat sembuh. Tiba-tiba saja setetes air mata jatuh menuruni pipiku. Aku sengaja menyembunyikan wajahku dengan berpura-pura melihat ke jalan raya melalui jendela yang berada di sampingku. Tapi
air mataku semakin deras mengalir.
“Kenapa kamu nangis?” Tanya ibu yang mendengar isakanku.
Ditanya seperti itu, aku malah jadi semakin sedih. Aku langsung memeluk ibuku, dan meneruskan tangisanku yang sempat tertahan.
Ibu hanya mengusap-usap punggungku, sambil sesekali terdengar ia menghela nafas.
“Sudahlah…” kata ibu berusaha menenangkanku,
“sekarang kita pasrahkan saja semuanya pada Tuhan. Selama ini toh Tuhan selalu tolong kamu. Buktinya kamu masih bisa sekolah kayak anak-anak lainnya yang berpenglihatan normal.”
“Tapi aku mau mataku sembuh!” seruku di tengah-tengah tangisku.
Saudaraku yang duduk di jog depan, dan teman Belandanya yang duduk di bangku pengemudi, hanya terdiam. Mereka turut merasakan kesedihan yang sedang dialami oleh ibu dan anak ini.
Tiba-tiba saja mobil kami berhenti di pom bensin. Bukan untuk mengisi bensin, tapi pengemudi Belanda itu turun, dan masuk ke sebuah toko yang berada di area pom bensin tersebut.
Kami hanya menunggu di dalam mobil.
Aku sudah menghentikan tangisku, dan kembali menguatkan hati untuk menerima kenyataan yang ada.
Tiba-tiba saja pintu mobil di sampingku terbuka, dan pengemudi Belanda itu menyodorkan sebuah boneka kodok kepadaku, sambil bertanya dengan menggunakan bahasa Belanda, yang langsung diterjemahkan oleh saudaraku:
„Kamu suka boneka kodok ini?”
Aku sempat terkejut. Kuraba-raba boneka kodok itu dengan jari-jariku. Kemudian aku pun menganggukkan kepala sambil menjawab : „Ya. Bedang!”
Kupikir, mungkin dia ingin menghiburku dengan boneka kodok ini. Sungguh-sungguh orang yang baik hati.
Sampai sekarang, boneka kodok itu masih kusimpan, dan masih berbentuk kodok yang tersenyum lebar, dengan warna hijau cerah yang tidak juga menjadi pudar.
===
Lanjut ke :
Kisah Masa Remajaku Bagian 2
Sabtu
Dendeng
aku bersyukur, walaupun kalau mau bobo Glyn masih suka cari Grandma nya, tapi senggaknya sekarang dia ga nangis kalau kebangun dan cuma ada aku di sampingnya.
Seperti barusan, pas mau bobo Glyn cariin Grandma nya. Ga mau sama yang laih. Kalau dulu aku pasti sudah sedih bukan main, malah bisa sampai nangis kong hu, karena pikirku: aku sudah gagal jadi seorang ibu!. Tapi sekarang aku sudah bisa maklum dan sedikit demi sedikit sudah bisa menguasai emosiku, karena Glyn kan memang setiap hari bobo sama mamiku, jadi wajarlah kalau dia lebih cari grandmanya dibanding aku.
Pas Glyn sudah bobo, kebetulan mami dan papiku harus pergi keluar sebentar, jadi cuma aku yang temenin Glyn bobo. Pas ortuku pulang, snowi (anjingku) menggonggong dengan suaranya yang cempreng, bikin sakit telinga. glyn pun terbangun, dan cuma lihat aku di sampingnya.
"Mama..." panggilnya.
"iya sayang?"
"Dendeng!"
O iya, Snowi gandeng (berisik). Ya udah, Glyn bobo lagi aja."
Dan Glyn pun bobo kembali... :)
Seperti barusan, pas mau bobo Glyn cariin Grandma nya. Ga mau sama yang laih. Kalau dulu aku pasti sudah sedih bukan main, malah bisa sampai nangis kong hu, karena pikirku: aku sudah gagal jadi seorang ibu!. Tapi sekarang aku sudah bisa maklum dan sedikit demi sedikit sudah bisa menguasai emosiku, karena Glyn kan memang setiap hari bobo sama mamiku, jadi wajarlah kalau dia lebih cari grandmanya dibanding aku.
Pas Glyn sudah bobo, kebetulan mami dan papiku harus pergi keluar sebentar, jadi cuma aku yang temenin Glyn bobo. Pas ortuku pulang, snowi (anjingku) menggonggong dengan suaranya yang cempreng, bikin sakit telinga. glyn pun terbangun, dan cuma lihat aku di sampingnya.
"Mama..." panggilnya.
"iya sayang?"
"Dendeng!"
O iya, Snowi gandeng (berisik). Ya udah, Glyn bobo lagi aja."
Dan Glyn pun bobo kembali... :)
Jumat
Pulang Naik Ojek
Pulang naik ojek sendiri merupakan sebuah prestasi yang perlu dibanggakan buat tunanetra sepertiku, yang lebih terkesan anak mami, dan selalu mendapat pengawasan ketat dari sang ibu suri.
Tapi, akhir-akhir ini, sudah beberapa kali aku berhasil pulang sendiri naik ojek tanpa seorang pun yang dapat melarangku. Itu pun karena suamiku tidak ada pilihan lain. Pekerjaannya di Bitung masih belum selesai, kejebak macet di Meruya, dan untuk selanjutnya, dengan tingkat kepercayaan yang sudah berhasil kubangun, akhirnya dia pun lebih tenang untuk membiarkanku pulang sendiri.
Ketika tiba di rumah, aku benar-benar merasa senang dan bangga bukan main. Rasanya seperti baru pulang dari pertandingan olimpiade sambil menggenggam sebuah medali emas!
Tapi, akhir-akhir ini, sudah beberapa kali aku berhasil pulang sendiri naik ojek tanpa seorang pun yang dapat melarangku. Itu pun karena suamiku tidak ada pilihan lain. Pekerjaannya di Bitung masih belum selesai, kejebak macet di Meruya, dan untuk selanjutnya, dengan tingkat kepercayaan yang sudah berhasil kubangun, akhirnya dia pun lebih tenang untuk membiarkanku pulang sendiri.
Ketika tiba di rumah, aku benar-benar merasa senang dan bangga bukan main. Rasanya seperti baru pulang dari pertandingan olimpiade sambil menggenggam sebuah medali emas!
Rabu
Rabu Abu Ke-2
Ini adalah kedua kalinya aku mengikuti Misa Rabu Abu.
Dan untuk pertama kalinya setelah selama tujuh tahun bekerja di Mulia, aku menerima abu di kantor. :)
Aku bersyukur, karena Tuhan telah membawa hatiku kembali merenungkan akan kemurahan-Nya yang teramat besar.
Dikala jiwaku terasa mulai hampa, kasih Tuhan mengalir membasuh jiwaku. Hingga hatiku pun kembali bangkit untuk memandang Sang Kasih Ilahi yang bersinar cemerlang, menyingkirkan kehampaan yang sesaat lalu terasa menyelubungi hatiku.
O Yesusku,
kasih bagi-Mu merupakan sebuah harga mati, yang tidak dapat lagi ditawar-tawar!
Sebab Engkau sendiri adalah kasih sejati.
Kau begitu mengasihi kami meski kami seringkali melukai hati kudus-Mu.
Namun seberapa besar pun pelanggaran dan kesalahan kami, kasih-Mu tak dapat berpaling dari kami, para mahluk durhaka ini.
Seharusnya Kau memilih untuk membuang kami dari hadapan-Mu yang maha kudus!
Namun mengapa Kau malah memilih mati di Salib bagi kami?
O Tuhanku, Raja kerahiman termulia,
Siapakah yang berani berkata : "Kami tidak beruntung!"
padahal karena dosanya, Engkau tersiksa sedemikian rupa di salib!
Siapakah dengan tanpa malu berkata : "Kami menderita!"
Padahal karena ulahnya, Engkau yang tanpa cela malah menerima hukuman dan menderita hingga mati!
O Yesusku...
sadarkan kami, bahwa kami hanyalah setitik debu,
yang jika tertiup angin semilir pun akan terseret dan lenyap!
Apalah daya kami, o Tuhan yang murah hati?
Masihkah kami dapat berpikir: "Kami mampu berbuat segalanya!"
Sementara nafas hidup kami saja Kau yang punya?
Dengan jari-jari-Mu Kau hitung semuanya,
dan hanya dengan satu jari-Mu, Kau dapat memerintahkan hidup atau mati pada kami!
O Yesus, Tawanan Kasih,
aku mengasihi-Mu dengan segenap jiwaku.
Bantulah aku agar selalu taat akan setiap kehendak-Mu.
apalah gunanya hidup ini, tanpa ketaatan dan ketulusan.
Sebab hidup bagi Kristus adalah ketaatan pada semua kehendak Bapa!
Dan untuk pertama kalinya setelah selama tujuh tahun bekerja di Mulia, aku menerima abu di kantor. :)
Aku bersyukur, karena Tuhan telah membawa hatiku kembali merenungkan akan kemurahan-Nya yang teramat besar.
Dikala jiwaku terasa mulai hampa, kasih Tuhan mengalir membasuh jiwaku. Hingga hatiku pun kembali bangkit untuk memandang Sang Kasih Ilahi yang bersinar cemerlang, menyingkirkan kehampaan yang sesaat lalu terasa menyelubungi hatiku.
O Yesusku,
kasih bagi-Mu merupakan sebuah harga mati, yang tidak dapat lagi ditawar-tawar!
Sebab Engkau sendiri adalah kasih sejati.
Kau begitu mengasihi kami meski kami seringkali melukai hati kudus-Mu.
Namun seberapa besar pun pelanggaran dan kesalahan kami, kasih-Mu tak dapat berpaling dari kami, para mahluk durhaka ini.
Seharusnya Kau memilih untuk membuang kami dari hadapan-Mu yang maha kudus!
Namun mengapa Kau malah memilih mati di Salib bagi kami?
O Tuhanku, Raja kerahiman termulia,
Siapakah yang berani berkata : "Kami tidak beruntung!"
padahal karena dosanya, Engkau tersiksa sedemikian rupa di salib!
Siapakah dengan tanpa malu berkata : "Kami menderita!"
Padahal karena ulahnya, Engkau yang tanpa cela malah menerima hukuman dan menderita hingga mati!
O Yesusku...
sadarkan kami, bahwa kami hanyalah setitik debu,
yang jika tertiup angin semilir pun akan terseret dan lenyap!
Apalah daya kami, o Tuhan yang murah hati?
Masihkah kami dapat berpikir: "Kami mampu berbuat segalanya!"
Sementara nafas hidup kami saja Kau yang punya?
Dengan jari-jari-Mu Kau hitung semuanya,
dan hanya dengan satu jari-Mu, Kau dapat memerintahkan hidup atau mati pada kami!
O Yesus, Tawanan Kasih,
aku mengasihi-Mu dengan segenap jiwaku.
Bantulah aku agar selalu taat akan setiap kehendak-Mu.
apalah gunanya hidup ini, tanpa ketaatan dan ketulusan.
Sebab hidup bagi Kristus adalah ketaatan pada semua kehendak Bapa!
Langganan:
Postingan (Atom)