Horeee..., sekarang aku udah bisa goreng tempe 'n tahu sendiri lho!!
Waktu pertama kalinya sih, aku coba goreng telur, dan agak sedikit gosong. hehehe...
Tapi, kemarin aku berhasil goreng tempe dan tahu tanpa gosong!
Cuma ada satu tempe yang mental dan jatuh ke lantai, gara-gara waktu aku mau pindahin tempe yang udah matang itu dari kuali ke saringan, aku pegang saringannya miring kekiri. alhasil tempenya terjun bebas deh ke lantai. Untung yang jatuh cuma satu. coba kalo semuanya, wah..., bisa batal deh kita makan malam. hehehe...
Dulu, aku paling takut sama minyak panas. Setiap mau coba menggoreng sesuatu, pasti aku udah ancang-ancang dari jarak tertentu buat melempar lauknya ke kuali, padahal, aku kan nggak bisa lihat dimana persisnya letak kuali tersebut. Yang ada, minyaknya jadi muncrat ke sana-sini.
Melihat tingkahku yang super konyol itu, akhirnya ko Wiria mengambil alih urusan goreng-menggoreng.
Aku mulai berpikir, gimana ya supaya aku berani dan bisa menggoreng sendiri...????
Akhirnya, aku diam-diam mencoba menggoreng lagi.
Dengan berbekal keberanian master cook, aku mencoba memasukan tempe dan tahunya itu perlahan-lahan. Pertama-tama aku pastikan dulu letak pinggiran kuali dengan ujung centong, setelah itu, aku mulai menaruh tempe dan tahu tersebut satu per satu dari pinggir kuali. Alhasil, tempe dan tahu itu menggelosor sendiri dengan manisnya ke tengah kuali, di mana sudah menanti minyak goreng yang bergolak.
Nah, sekarang, tinggal gimana caranya membalikan tempe dan tahunya, biar nggak gosong sebelah. Kan kasihan kalo ko Wiria harus makan tempe gosong lagi. hehehe...
Aku mengambil sendok atau garpu, dan kupegang di tangan sebelah kiri untuk meraba-raba di mana letak tempe dan tahunya, sementara tangan kanan tetap memegang centong. Dan saat membalik, sendok berfungsi untuk menahan, supaya tempenya nggak kabur ke mana-mana, sementara centong untuk membalik.
Ahha..., hidangan sudah siap...!!!
Waktunya menyicipi tempe dan tahu goreng buatan Rachel...!! :-D
Aku ini seorang tunanetra. Katanya sih penyebabnya adalah Retinitis Pigmentosa. Makanya aku menjuluki diriku sendiri: "Si gadis remang-remang", karena duniaku memang selalu terlihat remang-remang, redup, nyaris padam! :)
Jumat
Senin
Puncak, Cimori, Dan Romo Yohanes
Sabtu kemarin, aku,suami dan mertua perempuanku pergi ke Puncak, dalam rangka mengendorkan otot-otot yang kencang, dan mengencangkan kembali semangat yang sudah agak kendor.
Membuang semua hawa Jakarta yang bikin mumet, dan menggantinya dengan udara segar pegunungan.
Kami berangkat sekitar jam setengah dua, dengan mengendarai si Merah, mobil Atoz mungil yang selalu setia menemani perjalanan kami. Biar kecil, tapi si Merah sudah menjelajah cukup jauh, bukan cuma antar kota, tapi juga antar propinsi!
Emang si Merah itu kecil-kecil cabe merah!
biar kecil, tapi warnanya merah!
hehehe...
Mmmuaaach, i love you Merah!!
Perjalanan cukup lancar.
Sekitar jam tiga, kami mampir ke Cimori untuk makan siang. Eitz, sori, bukan makan siang, karena aku dan ko Wiria sebelum pergi tadi sudah makan bakwan dulu, jadi ini bisa dibilang makan sore.
Sebenernya sih aku ke situ cuma mau ngincer susu segarnya doang, tapi kayaknya nggak enak deh kalo nggak dibarengi dengan makan juga. Padahal aku udah tahu kalo makanan di situ kurang enak. Mahal sih, iya.
Akhirnya aku memesan Steak ayam.
Waktu pelayan datang dan menyajikan steak pesananku,
Wow..., sungguh luar biasa!!!
ternyata bukan hanya daging ayamnya aja yang dihidangkan di atas Hot-plate, tapi bulu ayamnya juga nggak ketinggalan turut dihidangkan!
Untung aja ko Wiria langsung melihatnya, dan minta segera diganti dengan yang baru.
Hu-hu-hu..., selera makanku langsung menyusut deh...
Entah steak itu benaran diganti atau cuma bulu ayamnya aja yang disingkirkan...,
who knows???
Yang pasti, aku tetap menyantap steak tersebut dengan kepercayaan penuh pada sang pelayan yang berkata :
"Maaf, kami sudah mengganti yang baru..., benar-benar baru!"
Ho-ho-ho, aku harus buru-buru menyetel otakku nih biar daging ayam ini bisa tetap masuk ke perutku yang sebenarnya nggak terlalu lapar. Anggap aja bulu ayam itu memiliki vitamin yang belum sempat diteliti oleh profesor manapun!
wakswakswakswaks...
Untung masih ada susu segar rasa pisang yang cukup menghiburku. Yah..., mudah-mudahan aja susu itu bisa menetralisir racun-racun yang sedang bergrilia di dalam perutku. hehehe...
Selesai makan, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju ke Vila yang terletak di Kota Bunga.
Vila bertipe Jepang itu masih berdiri dengan anggunya, tapi sayang, karena jarang ditinggali, para rayap mulai berpesta pora menggerogoti kayu-kayunya.
Vila ini sudah cukup lama dimiliki keluargaku. Dulu kami sering berlibur di sini, berkumpul dengan saudara-saudara dan para sepupuhku, terutama kalo lagi libur panjang. Terakhir kami menginap di sini waktu tahun baru kemarin.
Ko Wiria harus adu kuat dulu dengan kunci pintu yang susah banget diputar, sampe akhirnya pertarungan dimenangkan oleh ko Wiria yang berhasil membuka pintunya.
Di dalam nggak terlalu kotor, soalnya dua Minggu yang lalu mami dan papi baru aja datang dan menginap di sini.
Kami beristirahat sebentar, dan sekitar jam stengah delapan, kami pergi untuk mencari makan malam.
Setelah memilah-milah makanan apa yang akan mampir di perut kami, akhirnya pilihan jatuh pada 'Bakso Lapangan Tembak'.
Sempat terjadi perpindahan daging tetelan dari mangkuk ko Wiria ke mangkuk mamanya, dan dari mangkuk mamanya ke mangkuk ko Wiria. Alhasil, daging tetelan itu tersingkirkan dari mangkuk keduanya.
aku sih cuma jadi penonton aja, soalnya ruang di perutku tidak pernah pilih-pilih dalam menerima penghuni. Asalkan bersih dan layak, silakan aja! Tapi jangan lupa keluar lagi setelah merasa cukup puas di dalam, biar perutku nggak kembung dan menjadi gendut!
Harga satu mangkuk = Rp. 17.000. Dengan ataupun tanpa tetelan! :-P
Setelah itu, kami mampir ke Brasko. Aku ingin sekali membeli sweater warna merah. Ada sih yang lumayan bagus, dengan tulisan "ITALI" di dadanya. Tapi pas ngintip harganya, "Rp. 200 ribu lebih"?
Ogah ah..., masa sweter kayak gitu aja sampe 200 ribu. nggak rela ah...!!
kami cuma berputar-putar sebentar, sangat sebentar, dan keluar dari Brasko dengan hanya menenteng sebuah handuk kecil untuk mertuaku yang kelupaan bawa handuk, plus, kantong bertuliskan 'Brasko'!
wkwkwkwkakakakakkkkk...
Lumayan kan???? :-D
Besoknya, kami pergi Misa di Lembah Karmel (Romo Yohanes).
Aku nggak tau kalo ada Misa penyembuhan, soalnya yang aku pernah denger kalo Misa penyembuhan itu diadakan pada Minggu kedua dan keempat, sementara kemarin kan masih Minggu ketiga.
Emang kadang-kadang Rachel ini sok tahu ya! hehehe...
Dan gara-gara ke-soktahuan aku yang bilang kalo Misa itu dimulai jam 10, akibatnya, kami terlambat 15 menit, soalnya ternyata Misa dimulainya jam setengah sepuluh!
Maap ya. :-)
Gereja bener-bener penuh, sampe kami harus duduk di Jendela paling belakang.
Ini adalah yang kedua kalinya aku mengikuti Misa di sini. Pertama kali aku pergi dengan anak-anak Legio Maria. Dan waktu itu juga pas ada Misa penyembuhan.
Aku berdoa dalam hati agar Tuhan mau menyembuhkan mataku, sementara Romo terus mengundang umat yang jenis penyakitnya disebutkan untuk bangkit berdiri, karena Tuhan akan menyembuhkannya.
Aku merasa seperti sedang menunggu antrian untuk masuk ke ruang priksa dokter. Hatiku H2C, alias Harap-Harap Cemas. Kira-kira jenis penyakitku akan disebutkan apa nggak ya?
Tiba-tiba aku mendengar Romo berkata :
"Di sini ada seseorang yang memiliki gangguan pada matanya..."
Deg!
Rasanya jantungku berhenti berdetak, berikut nafasku yang ikut-ikutan mogok.
"Aku bukan ya?" Aku masih menunggu Romo melanjutkan kata-katanya.
"Seorang yang matanya terkena glukoma!"
Gubrak!
Glukoma?
kenapa harus yang glukoma??
aku ini Retina Pigmentosa, bukan glukoma!
Dan seorang pemuda bangkit berdiri.
"bersyukurlah pada Tuhan, karena Tuhan akan menyembuhkanmu!" Begitulah perintah Romo pada pemuda itu.
Aku segera memeriksa jantungku. ow, ternyata sudah berfungsi lagi dengan normal.
Baguslah, jadi kan aku nggak perlu susah-susah berdiri kalo Romo menyebutkan jenis penyakit jantung. hihihi...
Sekarang, waktu hari Minggu kemarin, Romo kembali menyebutkan jenis-jenis penyakit yang ia denger langsung dari Tuhan. Ada yang kena tumor payu dara, tidak bisa tidur, tenggorokan sakit sehingga tidak bisa menelan makanan, ada yang sakit ginjal, Etc, etc.
Tapi sama sekali aku nggak mendengar tentang mata. Entah itu mata glukoma, mata mines, mata sipit, mata-mata..., hehehe...
Pokoknya penyakitku sama sekali nggak disebutkan.
aku bertanya-tanya pada Tuhan :
"Kenapa aku dilewatkan, Tuhan?"
"Kenapa Tuhan tidak mengingatku?"
"Apa aku terlalu belakang, sampe-sampe Tuhan melupakanku?"
Aku teringat dengan perkataan teman baikku, Ferdi.
Waktu itu, kami sedang pergi ke KKR penyembuhan di Bandung. Dan waktu pulang, mami mengajukan pertanyaan kepada kami dan beberapa orang yang semobil dengan kami :
"Kenapa ya Tuhan kok malah menyembuhkan anak tetangga (Nonkristen), tapi anak sendiri nggak Dia sembuhkan?"
Ferdi yang menjawab :
"Mungkin Tuhan tahu , walaupun Rachel nggak Dia sembuhkan, tapi Rachel akan tetap setia sama Tuhan. Sementara mereka..., mereka membutuhkan tanda untuk bisa percaya pada Tuhan!""
Perkataan itulah yang sampe sekarang menjadi kekuatan buatku.
Aku nggak lagi merasa kecewa seperti dulu.
Dulu, aku sering merasa kecewa kalo Tuhan nggak menyembuhkanku di KKR atau Misa penyembuhan seperti ini. Bahkan aku sering pulang dengan perasaan sedih dan marah. Tapi sekarang, aku mulai bisa menyingkirkan perasaan kecewa itu dan menggantinya dengan keyakinan bahwa Tuhan tetap memperhatikanku dan menjagaku. Aku nggak mau kalo sampe perasaan kecewa itu membuat hatiku menjadi lemah.
Meski nggak bisa dipungkiri juga kalo aku masih berharap sekali Tuhan akan melirikku dan mengulurkan tangan-Nya untuk menjamah mataku.
Dan alhasil, kemarin aku bisa meninggalkan Gereja dengan perasaan ringan dan senang. Melanjutkan perjalanan kami kembali dengan penuh keceriaan dan berkat yang sudah kami terima tadi dari Tuhan.
Nah, Diary, begitulah kisah perjalananku kemarin.
Yang pasti, kami pulang dengan selamat sampe rumah, soalnya kalo nggak, mana mungkin sekarang aku bisa bercerita pada kamu.
Iya kan, Diary sayang??
Sayonara...
Membuang semua hawa Jakarta yang bikin mumet, dan menggantinya dengan udara segar pegunungan.
Kami berangkat sekitar jam setengah dua, dengan mengendarai si Merah, mobil Atoz mungil yang selalu setia menemani perjalanan kami. Biar kecil, tapi si Merah sudah menjelajah cukup jauh, bukan cuma antar kota, tapi juga antar propinsi!
Emang si Merah itu kecil-kecil cabe merah!
biar kecil, tapi warnanya merah!
hehehe...
Mmmuaaach, i love you Merah!!
Perjalanan cukup lancar.
Sekitar jam tiga, kami mampir ke Cimori untuk makan siang. Eitz, sori, bukan makan siang, karena aku dan ko Wiria sebelum pergi tadi sudah makan bakwan dulu, jadi ini bisa dibilang makan sore.
Sebenernya sih aku ke situ cuma mau ngincer susu segarnya doang, tapi kayaknya nggak enak deh kalo nggak dibarengi dengan makan juga. Padahal aku udah tahu kalo makanan di situ kurang enak. Mahal sih, iya.
Akhirnya aku memesan Steak ayam.
Waktu pelayan datang dan menyajikan steak pesananku,
Wow..., sungguh luar biasa!!!
ternyata bukan hanya daging ayamnya aja yang dihidangkan di atas Hot-plate, tapi bulu ayamnya juga nggak ketinggalan turut dihidangkan!
Untung aja ko Wiria langsung melihatnya, dan minta segera diganti dengan yang baru.
Hu-hu-hu..., selera makanku langsung menyusut deh...
Entah steak itu benaran diganti atau cuma bulu ayamnya aja yang disingkirkan...,
who knows???
Yang pasti, aku tetap menyantap steak tersebut dengan kepercayaan penuh pada sang pelayan yang berkata :
"Maaf, kami sudah mengganti yang baru..., benar-benar baru!"
Ho-ho-ho, aku harus buru-buru menyetel otakku nih biar daging ayam ini bisa tetap masuk ke perutku yang sebenarnya nggak terlalu lapar. Anggap aja bulu ayam itu memiliki vitamin yang belum sempat diteliti oleh profesor manapun!
wakswakswakswaks...
Untung masih ada susu segar rasa pisang yang cukup menghiburku. Yah..., mudah-mudahan aja susu itu bisa menetralisir racun-racun yang sedang bergrilia di dalam perutku. hehehe...
Selesai makan, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju ke Vila yang terletak di Kota Bunga.
Vila bertipe Jepang itu masih berdiri dengan anggunya, tapi sayang, karena jarang ditinggali, para rayap mulai berpesta pora menggerogoti kayu-kayunya.
Vila ini sudah cukup lama dimiliki keluargaku. Dulu kami sering berlibur di sini, berkumpul dengan saudara-saudara dan para sepupuhku, terutama kalo lagi libur panjang. Terakhir kami menginap di sini waktu tahun baru kemarin.
Ko Wiria harus adu kuat dulu dengan kunci pintu yang susah banget diputar, sampe akhirnya pertarungan dimenangkan oleh ko Wiria yang berhasil membuka pintunya.
Di dalam nggak terlalu kotor, soalnya dua Minggu yang lalu mami dan papi baru aja datang dan menginap di sini.
Kami beristirahat sebentar, dan sekitar jam stengah delapan, kami pergi untuk mencari makan malam.
Setelah memilah-milah makanan apa yang akan mampir di perut kami, akhirnya pilihan jatuh pada 'Bakso Lapangan Tembak'.
Sempat terjadi perpindahan daging tetelan dari mangkuk ko Wiria ke mangkuk mamanya, dan dari mangkuk mamanya ke mangkuk ko Wiria. Alhasil, daging tetelan itu tersingkirkan dari mangkuk keduanya.
aku sih cuma jadi penonton aja, soalnya ruang di perutku tidak pernah pilih-pilih dalam menerima penghuni. Asalkan bersih dan layak, silakan aja! Tapi jangan lupa keluar lagi setelah merasa cukup puas di dalam, biar perutku nggak kembung dan menjadi gendut!
Harga satu mangkuk = Rp. 17.000. Dengan ataupun tanpa tetelan! :-P
Setelah itu, kami mampir ke Brasko. Aku ingin sekali membeli sweater warna merah. Ada sih yang lumayan bagus, dengan tulisan "ITALI" di dadanya. Tapi pas ngintip harganya, "Rp. 200 ribu lebih"?
Ogah ah..., masa sweter kayak gitu aja sampe 200 ribu. nggak rela ah...!!
kami cuma berputar-putar sebentar, sangat sebentar, dan keluar dari Brasko dengan hanya menenteng sebuah handuk kecil untuk mertuaku yang kelupaan bawa handuk, plus, kantong bertuliskan 'Brasko'!
wkwkwkwkakakakakkkkk...
Lumayan kan???? :-D
Besoknya, kami pergi Misa di Lembah Karmel (Romo Yohanes).
Aku nggak tau kalo ada Misa penyembuhan, soalnya yang aku pernah denger kalo Misa penyembuhan itu diadakan pada Minggu kedua dan keempat, sementara kemarin kan masih Minggu ketiga.
Emang kadang-kadang Rachel ini sok tahu ya! hehehe...
Dan gara-gara ke-soktahuan aku yang bilang kalo Misa itu dimulai jam 10, akibatnya, kami terlambat 15 menit, soalnya ternyata Misa dimulainya jam setengah sepuluh!
Maap ya. :-)
Gereja bener-bener penuh, sampe kami harus duduk di Jendela paling belakang.
Ini adalah yang kedua kalinya aku mengikuti Misa di sini. Pertama kali aku pergi dengan anak-anak Legio Maria. Dan waktu itu juga pas ada Misa penyembuhan.
Aku berdoa dalam hati agar Tuhan mau menyembuhkan mataku, sementara Romo terus mengundang umat yang jenis penyakitnya disebutkan untuk bangkit berdiri, karena Tuhan akan menyembuhkannya.
Aku merasa seperti sedang menunggu antrian untuk masuk ke ruang priksa dokter. Hatiku H2C, alias Harap-Harap Cemas. Kira-kira jenis penyakitku akan disebutkan apa nggak ya?
Tiba-tiba aku mendengar Romo berkata :
"Di sini ada seseorang yang memiliki gangguan pada matanya..."
Deg!
Rasanya jantungku berhenti berdetak, berikut nafasku yang ikut-ikutan mogok.
"Aku bukan ya?" Aku masih menunggu Romo melanjutkan kata-katanya.
"Seorang yang matanya terkena glukoma!"
Gubrak!
Glukoma?
kenapa harus yang glukoma??
aku ini Retina Pigmentosa, bukan glukoma!
Dan seorang pemuda bangkit berdiri.
"bersyukurlah pada Tuhan, karena Tuhan akan menyembuhkanmu!" Begitulah perintah Romo pada pemuda itu.
Aku segera memeriksa jantungku. ow, ternyata sudah berfungsi lagi dengan normal.
Baguslah, jadi kan aku nggak perlu susah-susah berdiri kalo Romo menyebutkan jenis penyakit jantung. hihihi...
Sekarang, waktu hari Minggu kemarin, Romo kembali menyebutkan jenis-jenis penyakit yang ia denger langsung dari Tuhan. Ada yang kena tumor payu dara, tidak bisa tidur, tenggorokan sakit sehingga tidak bisa menelan makanan, ada yang sakit ginjal, Etc, etc.
Tapi sama sekali aku nggak mendengar tentang mata. Entah itu mata glukoma, mata mines, mata sipit, mata-mata..., hehehe...
Pokoknya penyakitku sama sekali nggak disebutkan.
aku bertanya-tanya pada Tuhan :
"Kenapa aku dilewatkan, Tuhan?"
"Kenapa Tuhan tidak mengingatku?"
"Apa aku terlalu belakang, sampe-sampe Tuhan melupakanku?"
Aku teringat dengan perkataan teman baikku, Ferdi.
Waktu itu, kami sedang pergi ke KKR penyembuhan di Bandung. Dan waktu pulang, mami mengajukan pertanyaan kepada kami dan beberapa orang yang semobil dengan kami :
"Kenapa ya Tuhan kok malah menyembuhkan anak tetangga (Nonkristen), tapi anak sendiri nggak Dia sembuhkan?"
Ferdi yang menjawab :
"Mungkin Tuhan tahu , walaupun Rachel nggak Dia sembuhkan, tapi Rachel akan tetap setia sama Tuhan. Sementara mereka..., mereka membutuhkan tanda untuk bisa percaya pada Tuhan!""
Perkataan itulah yang sampe sekarang menjadi kekuatan buatku.
Aku nggak lagi merasa kecewa seperti dulu.
Dulu, aku sering merasa kecewa kalo Tuhan nggak menyembuhkanku di KKR atau Misa penyembuhan seperti ini. Bahkan aku sering pulang dengan perasaan sedih dan marah. Tapi sekarang, aku mulai bisa menyingkirkan perasaan kecewa itu dan menggantinya dengan keyakinan bahwa Tuhan tetap memperhatikanku dan menjagaku. Aku nggak mau kalo sampe perasaan kecewa itu membuat hatiku menjadi lemah.
Meski nggak bisa dipungkiri juga kalo aku masih berharap sekali Tuhan akan melirikku dan mengulurkan tangan-Nya untuk menjamah mataku.
Dan alhasil, kemarin aku bisa meninggalkan Gereja dengan perasaan ringan dan senang. Melanjutkan perjalanan kami kembali dengan penuh keceriaan dan berkat yang sudah kami terima tadi dari Tuhan.
Nah, Diary, begitulah kisah perjalananku kemarin.
Yang pasti, kami pulang dengan selamat sampe rumah, soalnya kalo nggak, mana mungkin sekarang aku bisa bercerita pada kamu.
Iya kan, Diary sayang??
Sayonara...
Kamis
Tambah Satu Lagi Deh, Umurku
Jam 2 pagi tadi, aku dan suamiku sama-sama terbangun. Awalnya dia merogoh HP yang ada di antara bantal kami, dan bergumam : „O, ternyata masih jam 2...!”
Baru aja aku mau kembali tidur, ketika pipiku dicium.
„Selamat ulang tahun ya, sayang!” bisik ko Wiria ditelingaku. Terus dia peluk aku lamaaaaa... sekali.
Surprise!
Bener-bener surprise!!!
Aku nggak pernah nyangka kalo ko Wiria akan ngucapin sepagi ini. Boro-boro nyangka, kepikiran kalo saat itu ternyata sudah masuk hari ulang tahunku pun, nggak!!
Hatiku bener-bener seneng bukan main. Tadinya aku berpikir kalo ko Wiria bakal lupa sama hari ulang tahunku, soalnya dia sama sekali nggak pernah nyinggung-nyinggung tentang hari kemunculanku ini. Mau pergi makan ke mana?, mau kado apa? Atau, nanti koko beliinnya pas ulang tahun kamu aja ya?. Hmmm, boro-boro, sedikitpun nggak pernah kedengeran!!
Sebenarnya dari kemarin aku udah siapin mental kalo-kalo dia beneran lupa sama hari ulang tahunku.
Apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan.
Aku harus tetap ceria, seakan-akan aku juga nggak peduli dengan hari ultahku sendiri. Aku nggak boleh sampe nangis atau ngambek, apalagi sampe banting-banting lemari, mesin cuci, atau motor. Hehehe..., Hulk kali yeee.....
Pokoknya, aku udah bersiap-siap dengan kemungkinan ko Wiria lupa sama hari kebesaranku ini.
Tapi, ternyata, apa yang terjadi jauh dari apa yang bisa dan sempat aku bayangkan.
Bener-bener hari yang indah!!
Ini adalah pertama kalinya aku merayakan hari ulang tahun bersama suamiku.
Ingat, suami, bukan pacar lho!!
Setelah kita saling berpelukan, dan sekali lagi ko Wiria menciumku, akhirnya dia mengajakku berdoa.
Kami duduk di atas tempat tidur, saling berhadapan. Ko Wiria yang memimpin doa.
Sepanjang doa, aku hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada Tuhan, karena Dia telah memberikanku seorang suami yang sangat luar biasa. Aku sangat beruntung bisa mendapatkan ko Wiria. Hari-hariku nggak pernah terasa sepi lagi setelah ada ko Wiria di sampingku. Emang sih, kadang-kadang dia suka nyebelin, tapi kalo dihitung-hitung, lebih banyak nyenenginnya sih daripada nyebelinnya. Yah..., satu samalah..., aku juga kan suka nyebelin, kalo omong sering suka nggak dipikirin dulu, minta mulutnya disambelin. Hu-hu-hu, jontor dech!!!
Sekitar jam setengah tujuh, adikku telepon buat ngucapin selamat, nggak pernah ketinggalan tagihannya, minta ditraktir. Terus, mami & papi yang
Sudah bisa diduga kalo isi doanya pasti : „Moga cepet punya anak ya...”
Hehehe...., ternyata Rachel udah tuwir, yach!
Udah 27. Udah waktunya menghasilkan keturunan baru!!
Sesampainya di kantor, telepon berdering, dan Novi, temanku, mengucapkan selamat ulang tahun padaku, dibarengi dengan ucapan selamatku juga buat dia. Jadi, kita sama-sama ngucapin selamat ulang tahun. Kita emang dilahirkan pada tanggal, bulan dan tahun yang sama. Untung aja waktu kelas 5 SD, namaku diganti dari Novie Yanti Halim menjadi Rachel Stefanie Halim. Coba kalo belum diganti, bisa-bisa nama kita berdua juga sama. Hehehe.... bisa tuker pinjam KTP deh!!
Dan, ada satu lagi kado istimewa dari temenku, Adi, padahal sampe sekarang dia sendiri juga belum ngeh kalo hari ini adalah hari ultahku. Dia cuma SMSin dua buah ayat yang isinya bener-bener pas banget buatku yang emang terlalu banyak mikir.
Hehehe…, lagaknya kayak professor aja ya!!!
Mikir apa sih???
Hehehe..., rahasia dong!
Masa sih semuanya harus aku ceritain???
Nanti deh, kapan-kapan, mungkin bakal aku ceritain, tapi bukan sekarang ya.
Pokoknya mah hari ini aku lagi bahagia banget. Yang lain-lain biar aja dicuekin dulu, nggak usah dipikirin, nanti juga bakal lupa sendiri, atau, sengaja dilupain aja! Hihihihi...
Ketika aku berpikir: "Kakiku goyang," maka kasih setia-Mu, ya TUHAN, menyokong aku.
Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan jiwaku. (MZM 94 : 18 - 19)
Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.
(Yes 41 : 10) „
Happy Birthday To Me...!!!” :-D
Baru aja aku mau kembali tidur, ketika pipiku dicium.
„Selamat ulang tahun ya, sayang!” bisik ko Wiria ditelingaku. Terus dia peluk aku lamaaaaa... sekali.
Surprise!
Bener-bener surprise!!!
Aku nggak pernah nyangka kalo ko Wiria akan ngucapin sepagi ini. Boro-boro nyangka, kepikiran kalo saat itu ternyata sudah masuk hari ulang tahunku pun, nggak!!
Hatiku bener-bener seneng bukan main. Tadinya aku berpikir kalo ko Wiria bakal lupa sama hari ulang tahunku, soalnya dia sama sekali nggak pernah nyinggung-nyinggung tentang hari kemunculanku ini. Mau pergi makan ke mana?, mau kado apa? Atau, nanti koko beliinnya pas ulang tahun kamu aja ya?. Hmmm, boro-boro, sedikitpun nggak pernah kedengeran!!
Sebenarnya dari kemarin aku udah siapin mental kalo-kalo dia beneran lupa sama hari ulang tahunku.
Apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan.
Aku harus tetap ceria, seakan-akan aku juga nggak peduli dengan hari ultahku sendiri. Aku nggak boleh sampe nangis atau ngambek, apalagi sampe banting-banting lemari, mesin cuci, atau motor. Hehehe..., Hulk kali yeee.....
Pokoknya, aku udah bersiap-siap dengan kemungkinan ko Wiria lupa sama hari kebesaranku ini.
Tapi, ternyata, apa yang terjadi jauh dari apa yang bisa dan sempat aku bayangkan.
Bener-bener hari yang indah!!
Ini adalah pertama kalinya aku merayakan hari ulang tahun bersama suamiku.
Ingat, suami, bukan pacar lho!!
Setelah kita saling berpelukan, dan sekali lagi ko Wiria menciumku, akhirnya dia mengajakku berdoa.
Kami duduk di atas tempat tidur, saling berhadapan. Ko Wiria yang memimpin doa.
Sepanjang doa, aku hanya bisa mengucapkan terimakasih kepada Tuhan, karena Dia telah memberikanku seorang suami yang sangat luar biasa. Aku sangat beruntung bisa mendapatkan ko Wiria. Hari-hariku nggak pernah terasa sepi lagi setelah ada ko Wiria di sampingku. Emang sih, kadang-kadang dia suka nyebelin, tapi kalo dihitung-hitung, lebih banyak nyenenginnya sih daripada nyebelinnya. Yah..., satu samalah..., aku juga kan suka nyebelin, kalo omong sering suka nggak dipikirin dulu, minta mulutnya disambelin. Hu-hu-hu, jontor dech!!!
Sekitar jam setengah tujuh, adikku telepon buat ngucapin selamat, nggak pernah ketinggalan tagihannya, minta ditraktir. Terus, mami & papi yang
Sudah bisa diduga kalo isi doanya pasti : „Moga cepet punya anak ya...”
Hehehe...., ternyata Rachel udah tuwir, yach!
Udah 27. Udah waktunya menghasilkan keturunan baru!!
Sesampainya di kantor, telepon berdering, dan Novi, temanku, mengucapkan selamat ulang tahun padaku, dibarengi dengan ucapan selamatku juga buat dia. Jadi, kita sama-sama ngucapin selamat ulang tahun. Kita emang dilahirkan pada tanggal, bulan dan tahun yang sama. Untung aja waktu kelas 5 SD, namaku diganti dari Novie Yanti Halim menjadi Rachel Stefanie Halim. Coba kalo belum diganti, bisa-bisa nama kita berdua juga sama. Hehehe.... bisa tuker pinjam KTP deh!!
Dan, ada satu lagi kado istimewa dari temenku, Adi, padahal sampe sekarang dia sendiri juga belum ngeh kalo hari ini adalah hari ultahku. Dia cuma SMSin dua buah ayat yang isinya bener-bener pas banget buatku yang emang terlalu banyak mikir.
Hehehe…, lagaknya kayak professor aja ya!!!
Mikir apa sih???
Hehehe..., rahasia dong!
Masa sih semuanya harus aku ceritain???
Nanti deh, kapan-kapan, mungkin bakal aku ceritain, tapi bukan sekarang ya.
Pokoknya mah hari ini aku lagi bahagia banget. Yang lain-lain biar aja dicuekin dulu, nggak usah dipikirin, nanti juga bakal lupa sendiri, atau, sengaja dilupain aja! Hihihihi...
Ketika aku berpikir: "Kakiku goyang," maka kasih setia-Mu, ya TUHAN, menyokong aku.
Apabila bertambah banyak pikiran dalam batinku, penghiburan-Mu menyenangkan jiwaku. (MZM 94 : 18 - 19)
Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.
(Yes 41 : 10) „
Happy Birthday To Me...!!!” :-D
Novelku Yang Belom Berjudul (Lanjutan)
Bab 2
Malam itu, Rio dan kedua orang tuanya sedang menyantap makan malam mereka di rumahnya. Hawa dingin menelusup masuk membuat suasana hening dalam ruang makan
tersebut menjadi lebih terasa. Rio duduk berseberangan dengan orang tuanya yang duduk berdampingan mmenghadap meja makan persegi panjang besar yang terletak
tepat di tengah ruang makan mewah dengan lukisan bunga mawar besar terpampang indah di dinding sebelah depan, sementara setiap sudut dari ruangan tersebut
dihiasi perabot-perabot antik dari berbagai negara, membuat suasana di ruangan makan itu tampak semakin semarak. Tak satupun dari mereka berbicara, hanya
bunyi denting sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring mereka saja yang terdengar.
“Bagaimana kabar Sally sekarang,Yo?” tanya ayah Rio tiba-tiba membuat Rio tersedak saking terkejutnya.
“hmm...mm...” Rio gelagapan menanggapi pertanyaan yang tak disangkanya akan meluncur dari mulut ayahnya, karena yang Rio tahu selama ini ayahnya tak pernah
secara terang-terangan mau mencampuri urusan anak semata wayangnya, apalagi yang menyangkut urusan pribadinya.
“hmm..mm..,” lanjut Rio masih tampak gugup, “ operasi Sally... hmm.. operasinya .. gagal.”
Terdengar pekik terkejut dari ibu Rio, sementara wajah ayahnya masih tetap tampak tenang menatapnya.
“lantas,” tanya ayah Rio lagi dengan tetap menampilkan kharismanya sebagai seorang kepala rumah tangga dan pemilik salah satu perusahaan besar di jakarta,
“bagaimana keadaanya sekarang?”
“dia...,” terbersit keraguan dalam hati Rio untuk mengatakan yang sebenarnya, namun setelah Rio menghela nafas panjang, akhirnya diapun berkata: “Sally
sekarang buta.”
“Oh, Tuhan!” ibu Rio kembali terpekik kaget, tangannya terangkat menutupi mulutnya, Rio melihat mata ibunya mulai berkaca-kaca.
“Masih ada harapan untuk sembuh?” tanya ayahnya lagi. Rio mengangkat bahu. Kini terdengar ayahnya menghela nafas, “kalau begitu Rio,” lanjut ayahnya, “berusahalah
untuk melupakannya!”
“Papa!” pekik ibu Rio tak percaya, dan kini menatap tajam ke arah suaminya.
“Tak mungkin bukan ,kau akan menikahi seorang gadis buta?” sambung ayahnya lagi tanpa sedikitpun menghiraukan sikap protes yang muncul dari sang isteri.
“maksud papa,... aku harus mengakhiri hubunganku dengan Sally?” kini mata Riopun menatap lurus ke dalam mata ayahnya, mencoba mencari jawaban yang tak dapat
dimengertinya, atau mungkin dirinya memang tak mau mengerti.
“Ya!” jawab ayahnya mantap.
“Astaga, papa!” sahut ibunya yang sekarang mulai menangis.
“sekarang bukan waktunya lagi terbawa perasaan.” ujar ayahnya, tak jelas kepada siapa perkataan itu ditujukan. Tapi yang jelas bagi Rio bahwa mata ayahnya
masih menatap tajam ke arahnya, membuat Rio semakin tampak kebingungan.
“Ingat!” tambah ayahnya lagi,yang kini lebih ditujukan kepadanya, “kamu adalah satu-satunya harapan papa, apa jadinya nanti jika kamu memiliki seorang isteri
yang buta, yang tidak mampu lagi berbuat apa-apa?...jalanmu masih panjang,... cobalah untuk mencari seorang gadis yang dapat lebih diharapkan... Janganlah
mengorbankan masa depanmu hanya karena sebuah perasaan yang akan menjerumuskan dirimu sendiri... Mengerti?”
tanpa menunggu lagi jawaban dari Rio, ayahnya langsung berdiri dan meninggalkan ruang makan menuju ke kamarnya.
Sempurnalah kini perasaan bingung yang berkecamuk dalam benak Rio, di satu sisi di dalam pikirannya mengatakan bahwa apa yang baru saja disampaikan ayahnya
memang benar, tapi entah di sudut sebelah mana dihatinya juga merasakan sebuah perasaan yang membuatnya sulit untuk melepaskan gadis yang sudah selama
dua tahun ini sangat dicintainya, dan yang kini telah menjadi seorang gadis cacat. Sebenarnya perasaan apakah yang sedang dirasakanya saat itu, perasaan
sayang?... Cinta?... atau hanya...perasaan kasihan?? Entahlah, Rio tak mampu lagi berpikir.
Dipandanginya sang ibu yang saat itu masih menangis tersedu-sedu. Karena tak tahu lagi harus berbuat apa, akhirnya Riopun bangkit dari kursinya dan berlalu
menuju ke kamarnya yang terletak dilantai dua, meninggalkan ibunya meratap sendirian di ruang makan.
“Dor!” teriak Odi yang tiba-tiba melompat dari arah belakang dan langsung berdiri dihadapan Rio sambil melambai-lambaikan satu telunjuknya yang buntet ke
wajah Rio yang saat itu sedang bersandar dibatang sebuah pohon menatap kosong ke deretan mobil-mobil yang sedang terparkir sejajar dengan BMW hitamnya.
“Kemana aja sih, lu?” tanya Rio berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar teriakan Odi tadi. “nggak inget apa orang nungguin disini sampai kaki
kesemutan?”
“sorry jek,” jawab Odi sambil buru-buru menyusul Rio berjalan ke mobilnya, “abis ketemu Sandra di depan ruang dosen, dia tadi tanya tentang kabar Sally
ke gue, yah, gue ceritain aja semua,... dia juga tanya tentang lu kog.” Sambung Odi bersemangat.
Rio mengijak gas memundurkan mobilnya, dan langsung mengeremnya mendadak, Jedot! Tubuh Odi terbanting ke depan, dahinya membentur kaca depan mobil dan meninggalkan
sebuah benjolan besar segede telur bebek.
“aduuuh!!” rintih Odi kesakitan. Tangannya terus mengusap-usap benjol di dahinya.
“Sori, jek, nggak sengaja!” Rio melirik temannya itu, merasa kasihan. Tapi Rio malah langsung menancap gas lagi, melesat keluar meninggalkan area kampus.
Sudah enam hari berlalu dari sejak Rio menerima kabar tentang Sally, namun sedikitpun Rio belum juga mampu menyingkirkan perasaan kecewanya terhadap kebutaan
Sally. Perubahan sikapnya yang semakin pendiam, membuat Odi jadi ikut-ikutan linglung. Sering Odi dibiarkan mengoceh sendirian malah kadang ketawa sendiri
kayak orang sakit jiwa, sementara Rio hanya terdiam kayak patung bali.
Mobil Rio terus melaju dengan kecepatan tinggi, sementara Odi masih sibuk mengusap-usap dahinya berusah mengempeskan benjolanya. Tapi bukannya kempes, benjolnya
sekarang malah terasa semakin membesar.
“Gara-gara elo, nih, dahi gue jadi benjol gede kayak gini!” protes Odi kesal.
“Kan gue sudah bilang sori.” Sahut Rio mengingatkan.
“Sora, sori, sora, sori, benjol mana ngerti kata sori!” Rio hanya tersenyum hambar mendengar ocehan temannya.
Lama mereka saling terdiam. Setelah lelah mengusap-usap dahi, Odipun menyenderkan kepalanya ke sandaran jok. Matanya dipejamkan, merasakan hawa sejuk yang
keluar dari AC mobil.
“lu nggak telepon Sally,Yo?” tanya Odi tiba-tiba memecahkan kesunyian yang sesaat lalu telah tercipta di antara mereka. “lu masih sayang Sally, kan?”
“Sayang???” hati Rio mencelos ketika kata itu melintas kembali di benaknya. Namun perasaan itu segera lenyap, ketika handphone Rio bergetar disaku celananya.
Rio langsung mengambil handphone itu dan terkejut saat melihat nomor yang muncul dilayar handphonenya. “Sally.” Gumamnya pelan. Odi yang mendengar nama
itu disebut langsung menoleh dan menatap Rio lekat-lekat.
“Halo,” jawab Rio berusaha setenang mungkin.
“Halo!” terdengar sebuah jawaban yang membuat hati Rio kembali mencelos.
“suara itu,...” batin Rio lirih. Entah kenapa perasaan rindu yang selama ini seakan telah terkubur amat dalam di dasar hatinya, kembali meluap, membara,
membuat dadanya terasa kian mambakar. Rio menghela nafas, mencoba membuang selusin hawa panas yang menyelubungi hatinya.
“Halo!” kembali suara itu terdengar memanggilnya.
“O, halo!” jawab Rio yang kini tak dapat lagi menutupi kegugupannya, “hmm.., Sally, dimana kamu?” Astaga.., pertanyaan yang bodoh! Padahal kan Rio sudah
jelas-jelas tahu bahwa nomor yang muncul di layar handphonenya tadi adalah nomor rumah Sally di jakarta.
“kamu...,” kata Sally mengacuhkan pertanyaan Rio, “kenapa kamu nggak pernah lagi telepon aku?”
“aku... aku...”
klik. Suara telepon ditutup.
“halo,... Sally!..Sally!”
sunyi.
Tanpa pikir panjang lagi, Rio langsung mengambil arah memutar, melesat menuju jalan-jalan yang sudah sangat dikenalnya. Odi hanya diam terpana menyaksikan
tingkah temannya, membuattnya tak berani lagi mengajukan satu pertanyaanpun, ia hanya terus memandang jalan, mengira-ngira arah tujuan Rio.
Setengah jam kemudian, Rio memakirkan mobilnya di depan sebuah rumah besar berlantai dua dengan gerbang coklat memagari rumah tersebut.
“Den Rio!” terdengar seruan dari balik gerbang, dilihatnya mbok Sarmi berlari ke arah gerbang, membukanya dan mempersilakan kedua pemuda itu masuk.
“Aduh, den, kasihan non Sally, sekarang non dah nggak bisa lihat lagi.” Kata mbok Sarmi sedih sambil menyusul Rio dan Odi yang langsung bergegas menuju
ke ruang tamu yang tertata rapi dengan sofa biru tuanya yang terpajang sejajar dengan fotao keluarga berukuran cukup basar, di sana terlihat kedua orang
tua Sally sedang duduk berdampingan, sementara Sally dan kakak laki-lakinya, Sandy, berdiri tepat dibelakangnya.
“Bisa tolong panggilkan Sally, mbok?” tanya Rio sambil masih berdiri di tengah ruang tamu.
“o ya, den. Mudah-mudahan non mau keluar kalau ada den Rio, soalnya sejak pulang dari Prancis non mengurung diri terus di kamarnya.” Sementara mbok Sarmi
pergi memanggil Sally, Rio dan Odi menghampiri sofa dan duduk di atasnya, menunggu. Namun sesaat kemudian mbok Sarmi kembali, wajahnya terlihat makin sedih
dan matanya tampak berkaca-kaca .“maaf, den, non Sally nggak mau keluar juga, pintunya dikunci dari dalam.”
“biar saya saja yang ke kamarnya kalau begitu.” Kata Rio sambil berjalan menaiki tangga menuju ke kamar Sally yang terletak di lantai dua.
“Sal.., Sally.., tolong buka pintunya Sal!” seru Rio setibanya di depan pintu kamar Sally sambil terus mengetuknya, namun tak sedikitpun terdengar jawaban.
Rio mencoba membukanya, tapi pintu itu tetap terkunci rapat.
“please, Sal..., buka pintunya.., ini aku, Rio.., aku ingin bicara sama kamu...!”Rio terus berusaha membujuk Sally, namun sia-sia. Kamar itu seakan sunyi,
tak berpenghuni. “baiklah, kalau memang kamu belum mau ketemu sama aku, aku akan pergi!”kata Rio putus asa. Ditatapnya pintu itu sekali lagi, berharap
agar pintu itu bereaksi walau hanya setitik kecil getaran, tapi tetap tak terjadi apa-apa, seakan pintu itu sudah membatu. Akhirnya Riopun membalikan badannya,
dan baru hendak melangkah untuk pergi, ketika didengarnya suara kunci pintu yang diputar. Segera ia kembali membalikan badan, dan dilihatnya pintu bergerak
terbuka. Seorang gadis muncul dari balik pintu, matanya yang sembab menatap kosong ke arah jendela yang berada di seberang kamarnya. Rio yang masih berdiri
terpaku, memandang heran ke arah mata gadis itu yang kini berdiri tepat dihadapannya. Mata yang masih tampak sempurna, mata yang sama, yang pernah begitu
sangat dikaguminya, mata yang pernah membuatnya begitu tergila-gila, namun..., mata itu kini terlihat begitu hampa, kosong, seakan tak ada lagi kehidupan
di dalamnya.
“Sal!” akhirnya Riopun berkata, namun suaranya tercekat, membuatnya terdengar begitu pelan, hampir menyerupai bisikan. Mendengar itu, mata Sally langsung
bereaksi, bergerak seakan mencari arah datangnya sumber suara, dan berhenti tepat di bibir Rio yang saat itu sedang menunduk menatapnya.
“Oh, Tuhan!” batin Rio pedih melihat mata yang kini terasa begitu asing baginya. Dilambai-lambaikan tangannya mencoba melihat reaksi yang mungkin akan ditimbulkan
oleh mata itu.
“percuma, Yo.”
Rio tersentak mundur dan langsung menarik kembali tangannya, “lho, kog Sally bisa lihat tanganku, ya??”
Pikir Rio heran.namun pertanyaan itu segera teredam kembali ketika Sally melanjutkan kalimatnya, “percuma aja kamu bicara, Yo, karena aku sudah tahu apa
yang kamu ingin katakan.”
“maksud kamu apa??” tanya Rio semakin bingung.
Sally tak langsung menjawab, ia melangkah menghampiri kursi kayu yang terletak di dekat jendela. Langkahnya terlihat ragu-ragu namun pasti. Sementara tangannya
dibiarkannya tetap tergantung lemas di sisinya. Dan, ketika tubuhnya menabrak punggung kursi, barulah ia mengulurkan tangannya menyentuh kepala kursi itu,
menariknya mundur dan kemudian duduk di atasnya, menghadap jendela yang masih terbuka. Angin senja mengalir masuk membelai lembut wajah Sally yang masih
terlihat muram.
Rio yang masih berdiri waswas mengawasi gerak-gerik Sally, sekarang ikut menarik kursi dan duduk di sebelah Sally.
Sesaat mereka saling membisu, sampai akhirnya Rio memberanikan diri untuk berkata lebih dulu.
“maaf kalau aku..”
“aku ngerti, kog!” kata Sally menyela perkataan Rio yang belum sempat diselesaikannya.
Ditatapnya gadis itu lekat-lekat, mencoba memahimi apa yang sesungguhnya ada di dalam pikiran gadis yang seakan baru kali ini dikenalnya. Namun, semakin
di lihatnya, semakin ia merasakan getaran yang kian bergemuruh dalam hatinya. Sally yang begitu cantik, sally yang begitu sangat dicintainya, “ah...,
andai saja dia tidak buta.” pikirnya lirih.
“Rio,” ujar Sally memecah kebekuan yang sempat tercipta diantara mereka, “aku tahu ... pasti sulit bagi kamu buat terima keadaan aku yang sekarang ini,”
suara Sally terdengar begitu tenang, “aku juga bisa ngerasain kog, bagaimana kamu harus menghadapi semua kenyataan ini,... kamu pasti kecewa,..bingung,..
kuatir,... dan semua perasaan itu membuat kamu takut untuk mengatakan yang sejujurnya tentang perasaan kamu terhadap aku sekarang,karena itu semua mungkin
bisa membuat hatiku semakin terluka.,” Sally menarik nafas, terdiam sesaat, dan kembali melanjutkan, “kupikir sudah cukup waktu yang kupakai untuk merenung,...
dan sudah terlalu banyak Air mata yang kukeluarkan untuk meratapi kebutaanku. Sekarang saatnya buat aku untuk bangkit dan mulai menata kembali kehidupanku,
menapakinya dengan segala kemampuan yang ada dalam diriku, walaupun...., aku harus menjalaninya seorang diri,...aku nggak mau terkungkung terus-menerus
dalam perasaan mengasihani diri sendiri.”Sally menundukan kepalanya sedikit, memejamkan kedua matanya, namun dengan cepat ia telah membuka matanya kembali.
“sekarang, aku siap buat ngedengarin apa aja yang mau kamu katakan, meski itu akan terasa sangat menyakitkan bagiku.”
Mendengar semua penuturan Sally yang seakan begitu mengerti dirinya, mengerti apa yang dialaminya selama ini, yang sudah menguras habis pikirannya, membuat
sesuatu dalam hati Rio seakan terlepas, beban yang telah menindihnya begitu berat, kini seakan terangkat satu demi satu, membuatnya bisa kembali bernafas
lega. Namun, mengapa ketika perasaan dimengerti itu telah berhasil diperolehnya, malah membuatnya semakin sulit untuk meninggalkan Sally, membiarkannya
berjuang seorang diri dalam kebutaannya. Sesungguhnya perasaan apakah yang sedang dialaminya,...perasaan sayang??..cinta??..atau...hanya sekedar perasaan
kasihan??,... entahlah!!!
Kesunyian kembali menguasai ruangan itu, hanya kicau burung yang terdengar dari kejauhan, disusul dengan suara dengkur Odi yang terdengar sampai ke lanti
atas.
“kamu kesini sama Odi, Yo?”
Rio menganggukan kepalanya, tapi segera sadar bahwa Sally tidak bisa melihat anggukannya, maka ia buru-buru menjawab “iya!”
“kalau begitu, lebih baik kamu sekarang pulang, kasihan Odi menuggu terlalu lama.” Kata Sally pengertian.
“biarin aja, toh nyatanya dia menikmati tidurnya.” Jawab Rio masa bodoh.
Sally hanya tersenyum, karena sudah cukup mengenal bagaimana kelakuan dua sahabat itu.
Tiba-tiba Rio bangkit dari duduknya, dan berlutut di depan Sally, tangannya meraih kedua tangan Sally, menggenggamnya, dan kemudian menciumnya dengan sangat
hati-hati seakan kuatir bibirnya dapat melukai tangan yang lembut itu.
“Sal,” kata Rio, suaranya terdengar sangat pelan tapi mantap, sementara matanya menatap mata Sally yang masih memandang kosong ke arah jendela, “aku.., aku
nggak akan pernah meninggalkan kamu.”
“maksud kamu, kamu nggak akan meninggalkan aku, Yo,.. kamu akan tetap menyayangi aku seperti dulu???” kilatan cahaya melintas di mata Sally, membuat mata
itu seakan kembali hidup. Rio terperangah Melihat kilatan cahaya itu, tapi dirinya masih tetap menjawab “ten.., tentu!”
namun cahaya segera memudar dan mengembalikan kembali sosok mata yang kosong, hampa, seakan kilatan tadi hanyalah halusinasi Rio saja.
“tapi.., apa kamu yakin, Yo??... apa yang kamu rasain itu bukan hanya perasaan kasihan terhadap kebutaanku ini??”
Rio menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia berkata: “Sal,...memang aku akui kalau aku belum yakin dengan perasaanku sekarang, tapi aku mau belajar,..
belajar untuk terima kamu apa adanya,.. belajar lebih lagi memahami bukan saja diri kamu tapi juga semua perasaan kamu... kamu mau kan beri aku waktu
buat mempelajari semua itu?” tanya Rio penuh harap.
Sally menganggukan kepalanya. Seulas senyum menghiasi bibirnya.
“thanks ya, Sal!” Rio mengangkat tubuhnya sedikit dan menempelkan bibirnya ke kening Sally.
Angin terus berhembus melalui jendela yang terbuka. kicau burung masih terdengar dari kejauhan, mengiringi suara dengkur Odi yang masih bertahan pada volume
dan intonasi nada yang sama. Sangat harmonis!
Malam itu, Rio dan kedua orang tuanya sedang menyantap makan malam mereka di rumahnya. Hawa dingin menelusup masuk membuat suasana hening dalam ruang makan
tersebut menjadi lebih terasa. Rio duduk berseberangan dengan orang tuanya yang duduk berdampingan mmenghadap meja makan persegi panjang besar yang terletak
tepat di tengah ruang makan mewah dengan lukisan bunga mawar besar terpampang indah di dinding sebelah depan, sementara setiap sudut dari ruangan tersebut
dihiasi perabot-perabot antik dari berbagai negara, membuat suasana di ruangan makan itu tampak semakin semarak. Tak satupun dari mereka berbicara, hanya
bunyi denting sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring mereka saja yang terdengar.
“Bagaimana kabar Sally sekarang,Yo?” tanya ayah Rio tiba-tiba membuat Rio tersedak saking terkejutnya.
“hmm...mm...” Rio gelagapan menanggapi pertanyaan yang tak disangkanya akan meluncur dari mulut ayahnya, karena yang Rio tahu selama ini ayahnya tak pernah
secara terang-terangan mau mencampuri urusan anak semata wayangnya, apalagi yang menyangkut urusan pribadinya.
“hmm..mm..,” lanjut Rio masih tampak gugup, “ operasi Sally... hmm.. operasinya .. gagal.”
Terdengar pekik terkejut dari ibu Rio, sementara wajah ayahnya masih tetap tampak tenang menatapnya.
“lantas,” tanya ayah Rio lagi dengan tetap menampilkan kharismanya sebagai seorang kepala rumah tangga dan pemilik salah satu perusahaan besar di jakarta,
“bagaimana keadaanya sekarang?”
“dia...,” terbersit keraguan dalam hati Rio untuk mengatakan yang sebenarnya, namun setelah Rio menghela nafas panjang, akhirnya diapun berkata: “Sally
sekarang buta.”
“Oh, Tuhan!” ibu Rio kembali terpekik kaget, tangannya terangkat menutupi mulutnya, Rio melihat mata ibunya mulai berkaca-kaca.
“Masih ada harapan untuk sembuh?” tanya ayahnya lagi. Rio mengangkat bahu. Kini terdengar ayahnya menghela nafas, “kalau begitu Rio,” lanjut ayahnya, “berusahalah
untuk melupakannya!”
“Papa!” pekik ibu Rio tak percaya, dan kini menatap tajam ke arah suaminya.
“Tak mungkin bukan ,kau akan menikahi seorang gadis buta?” sambung ayahnya lagi tanpa sedikitpun menghiraukan sikap protes yang muncul dari sang isteri.
“maksud papa,... aku harus mengakhiri hubunganku dengan Sally?” kini mata Riopun menatap lurus ke dalam mata ayahnya, mencoba mencari jawaban yang tak dapat
dimengertinya, atau mungkin dirinya memang tak mau mengerti.
“Ya!” jawab ayahnya mantap.
“Astaga, papa!” sahut ibunya yang sekarang mulai menangis.
“sekarang bukan waktunya lagi terbawa perasaan.” ujar ayahnya, tak jelas kepada siapa perkataan itu ditujukan. Tapi yang jelas bagi Rio bahwa mata ayahnya
masih menatap tajam ke arahnya, membuat Rio semakin tampak kebingungan.
“Ingat!” tambah ayahnya lagi,yang kini lebih ditujukan kepadanya, “kamu adalah satu-satunya harapan papa, apa jadinya nanti jika kamu memiliki seorang isteri
yang buta, yang tidak mampu lagi berbuat apa-apa?...jalanmu masih panjang,... cobalah untuk mencari seorang gadis yang dapat lebih diharapkan... Janganlah
mengorbankan masa depanmu hanya karena sebuah perasaan yang akan menjerumuskan dirimu sendiri... Mengerti?”
tanpa menunggu lagi jawaban dari Rio, ayahnya langsung berdiri dan meninggalkan ruang makan menuju ke kamarnya.
Sempurnalah kini perasaan bingung yang berkecamuk dalam benak Rio, di satu sisi di dalam pikirannya mengatakan bahwa apa yang baru saja disampaikan ayahnya
memang benar, tapi entah di sudut sebelah mana dihatinya juga merasakan sebuah perasaan yang membuatnya sulit untuk melepaskan gadis yang sudah selama
dua tahun ini sangat dicintainya, dan yang kini telah menjadi seorang gadis cacat. Sebenarnya perasaan apakah yang sedang dirasakanya saat itu, perasaan
sayang?... Cinta?... atau hanya...perasaan kasihan?? Entahlah, Rio tak mampu lagi berpikir.
Dipandanginya sang ibu yang saat itu masih menangis tersedu-sedu. Karena tak tahu lagi harus berbuat apa, akhirnya Riopun bangkit dari kursinya dan berlalu
menuju ke kamarnya yang terletak dilantai dua, meninggalkan ibunya meratap sendirian di ruang makan.
“Dor!” teriak Odi yang tiba-tiba melompat dari arah belakang dan langsung berdiri dihadapan Rio sambil melambai-lambaikan satu telunjuknya yang buntet ke
wajah Rio yang saat itu sedang bersandar dibatang sebuah pohon menatap kosong ke deretan mobil-mobil yang sedang terparkir sejajar dengan BMW hitamnya.
“Kemana aja sih, lu?” tanya Rio berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya mendengar teriakan Odi tadi. “nggak inget apa orang nungguin disini sampai kaki
kesemutan?”
“sorry jek,” jawab Odi sambil buru-buru menyusul Rio berjalan ke mobilnya, “abis ketemu Sandra di depan ruang dosen, dia tadi tanya tentang kabar Sally
ke gue, yah, gue ceritain aja semua,... dia juga tanya tentang lu kog.” Sambung Odi bersemangat.
Rio mengijak gas memundurkan mobilnya, dan langsung mengeremnya mendadak, Jedot! Tubuh Odi terbanting ke depan, dahinya membentur kaca depan mobil dan meninggalkan
sebuah benjolan besar segede telur bebek.
“aduuuh!!” rintih Odi kesakitan. Tangannya terus mengusap-usap benjol di dahinya.
“Sori, jek, nggak sengaja!” Rio melirik temannya itu, merasa kasihan. Tapi Rio malah langsung menancap gas lagi, melesat keluar meninggalkan area kampus.
Sudah enam hari berlalu dari sejak Rio menerima kabar tentang Sally, namun sedikitpun Rio belum juga mampu menyingkirkan perasaan kecewanya terhadap kebutaan
Sally. Perubahan sikapnya yang semakin pendiam, membuat Odi jadi ikut-ikutan linglung. Sering Odi dibiarkan mengoceh sendirian malah kadang ketawa sendiri
kayak orang sakit jiwa, sementara Rio hanya terdiam kayak patung bali.
Mobil Rio terus melaju dengan kecepatan tinggi, sementara Odi masih sibuk mengusap-usap dahinya berusah mengempeskan benjolanya. Tapi bukannya kempes, benjolnya
sekarang malah terasa semakin membesar.
“Gara-gara elo, nih, dahi gue jadi benjol gede kayak gini!” protes Odi kesal.
“Kan gue sudah bilang sori.” Sahut Rio mengingatkan.
“Sora, sori, sora, sori, benjol mana ngerti kata sori!” Rio hanya tersenyum hambar mendengar ocehan temannya.
Lama mereka saling terdiam. Setelah lelah mengusap-usap dahi, Odipun menyenderkan kepalanya ke sandaran jok. Matanya dipejamkan, merasakan hawa sejuk yang
keluar dari AC mobil.
“lu nggak telepon Sally,Yo?” tanya Odi tiba-tiba memecahkan kesunyian yang sesaat lalu telah tercipta di antara mereka. “lu masih sayang Sally, kan?”
“Sayang???” hati Rio mencelos ketika kata itu melintas kembali di benaknya. Namun perasaan itu segera lenyap, ketika handphone Rio bergetar disaku celananya.
Rio langsung mengambil handphone itu dan terkejut saat melihat nomor yang muncul dilayar handphonenya. “Sally.” Gumamnya pelan. Odi yang mendengar nama
itu disebut langsung menoleh dan menatap Rio lekat-lekat.
“Halo,” jawab Rio berusaha setenang mungkin.
“Halo!” terdengar sebuah jawaban yang membuat hati Rio kembali mencelos.
“suara itu,...” batin Rio lirih. Entah kenapa perasaan rindu yang selama ini seakan telah terkubur amat dalam di dasar hatinya, kembali meluap, membara,
membuat dadanya terasa kian mambakar. Rio menghela nafas, mencoba membuang selusin hawa panas yang menyelubungi hatinya.
“Halo!” kembali suara itu terdengar memanggilnya.
“O, halo!” jawab Rio yang kini tak dapat lagi menutupi kegugupannya, “hmm.., Sally, dimana kamu?” Astaga.., pertanyaan yang bodoh! Padahal kan Rio sudah
jelas-jelas tahu bahwa nomor yang muncul di layar handphonenya tadi adalah nomor rumah Sally di jakarta.
“kamu...,” kata Sally mengacuhkan pertanyaan Rio, “kenapa kamu nggak pernah lagi telepon aku?”
“aku... aku...”
klik. Suara telepon ditutup.
“halo,... Sally!..Sally!”
sunyi.
Tanpa pikir panjang lagi, Rio langsung mengambil arah memutar, melesat menuju jalan-jalan yang sudah sangat dikenalnya. Odi hanya diam terpana menyaksikan
tingkah temannya, membuattnya tak berani lagi mengajukan satu pertanyaanpun, ia hanya terus memandang jalan, mengira-ngira arah tujuan Rio.
Setengah jam kemudian, Rio memakirkan mobilnya di depan sebuah rumah besar berlantai dua dengan gerbang coklat memagari rumah tersebut.
“Den Rio!” terdengar seruan dari balik gerbang, dilihatnya mbok Sarmi berlari ke arah gerbang, membukanya dan mempersilakan kedua pemuda itu masuk.
“Aduh, den, kasihan non Sally, sekarang non dah nggak bisa lihat lagi.” Kata mbok Sarmi sedih sambil menyusul Rio dan Odi yang langsung bergegas menuju
ke ruang tamu yang tertata rapi dengan sofa biru tuanya yang terpajang sejajar dengan fotao keluarga berukuran cukup basar, di sana terlihat kedua orang
tua Sally sedang duduk berdampingan, sementara Sally dan kakak laki-lakinya, Sandy, berdiri tepat dibelakangnya.
“Bisa tolong panggilkan Sally, mbok?” tanya Rio sambil masih berdiri di tengah ruang tamu.
“o ya, den. Mudah-mudahan non mau keluar kalau ada den Rio, soalnya sejak pulang dari Prancis non mengurung diri terus di kamarnya.” Sementara mbok Sarmi
pergi memanggil Sally, Rio dan Odi menghampiri sofa dan duduk di atasnya, menunggu. Namun sesaat kemudian mbok Sarmi kembali, wajahnya terlihat makin sedih
dan matanya tampak berkaca-kaca .“maaf, den, non Sally nggak mau keluar juga, pintunya dikunci dari dalam.”
“biar saya saja yang ke kamarnya kalau begitu.” Kata Rio sambil berjalan menaiki tangga menuju ke kamar Sally yang terletak di lantai dua.
“Sal.., Sally.., tolong buka pintunya Sal!” seru Rio setibanya di depan pintu kamar Sally sambil terus mengetuknya, namun tak sedikitpun terdengar jawaban.
Rio mencoba membukanya, tapi pintu itu tetap terkunci rapat.
“please, Sal..., buka pintunya.., ini aku, Rio.., aku ingin bicara sama kamu...!”Rio terus berusaha membujuk Sally, namun sia-sia. Kamar itu seakan sunyi,
tak berpenghuni. “baiklah, kalau memang kamu belum mau ketemu sama aku, aku akan pergi!”kata Rio putus asa. Ditatapnya pintu itu sekali lagi, berharap
agar pintu itu bereaksi walau hanya setitik kecil getaran, tapi tetap tak terjadi apa-apa, seakan pintu itu sudah membatu. Akhirnya Riopun membalikan badannya,
dan baru hendak melangkah untuk pergi, ketika didengarnya suara kunci pintu yang diputar. Segera ia kembali membalikan badan, dan dilihatnya pintu bergerak
terbuka. Seorang gadis muncul dari balik pintu, matanya yang sembab menatap kosong ke arah jendela yang berada di seberang kamarnya. Rio yang masih berdiri
terpaku, memandang heran ke arah mata gadis itu yang kini berdiri tepat dihadapannya. Mata yang masih tampak sempurna, mata yang sama, yang pernah begitu
sangat dikaguminya, mata yang pernah membuatnya begitu tergila-gila, namun..., mata itu kini terlihat begitu hampa, kosong, seakan tak ada lagi kehidupan
di dalamnya.
“Sal!” akhirnya Riopun berkata, namun suaranya tercekat, membuatnya terdengar begitu pelan, hampir menyerupai bisikan. Mendengar itu, mata Sally langsung
bereaksi, bergerak seakan mencari arah datangnya sumber suara, dan berhenti tepat di bibir Rio yang saat itu sedang menunduk menatapnya.
“Oh, Tuhan!” batin Rio pedih melihat mata yang kini terasa begitu asing baginya. Dilambai-lambaikan tangannya mencoba melihat reaksi yang mungkin akan ditimbulkan
oleh mata itu.
“percuma, Yo.”
Rio tersentak mundur dan langsung menarik kembali tangannya, “lho, kog Sally bisa lihat tanganku, ya??”
Pikir Rio heran.namun pertanyaan itu segera teredam kembali ketika Sally melanjutkan kalimatnya, “percuma aja kamu bicara, Yo, karena aku sudah tahu apa
yang kamu ingin katakan.”
“maksud kamu apa??” tanya Rio semakin bingung.
Sally tak langsung menjawab, ia melangkah menghampiri kursi kayu yang terletak di dekat jendela. Langkahnya terlihat ragu-ragu namun pasti. Sementara tangannya
dibiarkannya tetap tergantung lemas di sisinya. Dan, ketika tubuhnya menabrak punggung kursi, barulah ia mengulurkan tangannya menyentuh kepala kursi itu,
menariknya mundur dan kemudian duduk di atasnya, menghadap jendela yang masih terbuka. Angin senja mengalir masuk membelai lembut wajah Sally yang masih
terlihat muram.
Rio yang masih berdiri waswas mengawasi gerak-gerik Sally, sekarang ikut menarik kursi dan duduk di sebelah Sally.
Sesaat mereka saling membisu, sampai akhirnya Rio memberanikan diri untuk berkata lebih dulu.
“maaf kalau aku..”
“aku ngerti, kog!” kata Sally menyela perkataan Rio yang belum sempat diselesaikannya.
Ditatapnya gadis itu lekat-lekat, mencoba memahimi apa yang sesungguhnya ada di dalam pikiran gadis yang seakan baru kali ini dikenalnya. Namun, semakin
di lihatnya, semakin ia merasakan getaran yang kian bergemuruh dalam hatinya. Sally yang begitu cantik, sally yang begitu sangat dicintainya, “ah...,
andai saja dia tidak buta.” pikirnya lirih.
“Rio,” ujar Sally memecah kebekuan yang sempat tercipta diantara mereka, “aku tahu ... pasti sulit bagi kamu buat terima keadaan aku yang sekarang ini,”
suara Sally terdengar begitu tenang, “aku juga bisa ngerasain kog, bagaimana kamu harus menghadapi semua kenyataan ini,... kamu pasti kecewa,..bingung,..
kuatir,... dan semua perasaan itu membuat kamu takut untuk mengatakan yang sejujurnya tentang perasaan kamu terhadap aku sekarang,karena itu semua mungkin
bisa membuat hatiku semakin terluka.,” Sally menarik nafas, terdiam sesaat, dan kembali melanjutkan, “kupikir sudah cukup waktu yang kupakai untuk merenung,...
dan sudah terlalu banyak Air mata yang kukeluarkan untuk meratapi kebutaanku. Sekarang saatnya buat aku untuk bangkit dan mulai menata kembali kehidupanku,
menapakinya dengan segala kemampuan yang ada dalam diriku, walaupun...., aku harus menjalaninya seorang diri,...aku nggak mau terkungkung terus-menerus
dalam perasaan mengasihani diri sendiri.”Sally menundukan kepalanya sedikit, memejamkan kedua matanya, namun dengan cepat ia telah membuka matanya kembali.
“sekarang, aku siap buat ngedengarin apa aja yang mau kamu katakan, meski itu akan terasa sangat menyakitkan bagiku.”
Mendengar semua penuturan Sally yang seakan begitu mengerti dirinya, mengerti apa yang dialaminya selama ini, yang sudah menguras habis pikirannya, membuat
sesuatu dalam hati Rio seakan terlepas, beban yang telah menindihnya begitu berat, kini seakan terangkat satu demi satu, membuatnya bisa kembali bernafas
lega. Namun, mengapa ketika perasaan dimengerti itu telah berhasil diperolehnya, malah membuatnya semakin sulit untuk meninggalkan Sally, membiarkannya
berjuang seorang diri dalam kebutaannya. Sesungguhnya perasaan apakah yang sedang dialaminya,...perasaan sayang??..cinta??..atau...hanya sekedar perasaan
kasihan??,... entahlah!!!
Kesunyian kembali menguasai ruangan itu, hanya kicau burung yang terdengar dari kejauhan, disusul dengan suara dengkur Odi yang terdengar sampai ke lanti
atas.
“kamu kesini sama Odi, Yo?”
Rio menganggukan kepalanya, tapi segera sadar bahwa Sally tidak bisa melihat anggukannya, maka ia buru-buru menjawab “iya!”
“kalau begitu, lebih baik kamu sekarang pulang, kasihan Odi menuggu terlalu lama.” Kata Sally pengertian.
“biarin aja, toh nyatanya dia menikmati tidurnya.” Jawab Rio masa bodoh.
Sally hanya tersenyum, karena sudah cukup mengenal bagaimana kelakuan dua sahabat itu.
Tiba-tiba Rio bangkit dari duduknya, dan berlutut di depan Sally, tangannya meraih kedua tangan Sally, menggenggamnya, dan kemudian menciumnya dengan sangat
hati-hati seakan kuatir bibirnya dapat melukai tangan yang lembut itu.
“Sal,” kata Rio, suaranya terdengar sangat pelan tapi mantap, sementara matanya menatap mata Sally yang masih memandang kosong ke arah jendela, “aku.., aku
nggak akan pernah meninggalkan kamu.”
“maksud kamu, kamu nggak akan meninggalkan aku, Yo,.. kamu akan tetap menyayangi aku seperti dulu???” kilatan cahaya melintas di mata Sally, membuat mata
itu seakan kembali hidup. Rio terperangah Melihat kilatan cahaya itu, tapi dirinya masih tetap menjawab “ten.., tentu!”
namun cahaya segera memudar dan mengembalikan kembali sosok mata yang kosong, hampa, seakan kilatan tadi hanyalah halusinasi Rio saja.
“tapi.., apa kamu yakin, Yo??... apa yang kamu rasain itu bukan hanya perasaan kasihan terhadap kebutaanku ini??”
Rio menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia berkata: “Sal,...memang aku akui kalau aku belum yakin dengan perasaanku sekarang, tapi aku mau belajar,..
belajar untuk terima kamu apa adanya,.. belajar lebih lagi memahami bukan saja diri kamu tapi juga semua perasaan kamu... kamu mau kan beri aku waktu
buat mempelajari semua itu?” tanya Rio penuh harap.
Sally menganggukan kepalanya. Seulas senyum menghiasi bibirnya.
“thanks ya, Sal!” Rio mengangkat tubuhnya sedikit dan menempelkan bibirnya ke kening Sally.
Angin terus berhembus melalui jendela yang terbuka. kicau burung masih terdengar dari kejauhan, mengiringi suara dengkur Odi yang masih bertahan pada volume
dan intonasi nada yang sama. Sangat harmonis!
Rabu
Novelku Yang Belom Berjudul
Bab I
Malam kian pekat menampilkan keengganan langit untuk memamerkan berjuta koleksi bintang-bintangnya, menghantarkan keheningan yang membuat kalut dalam benak Rio seakan lebih keras berteriak.
“Kenapa ini semua harus terjadi..., kenapa.., kenapa??” jerit Rio membatin. Perasaan kecewa yang kini bermuara dalam hatinya semakin membuatnya tak mampu lagi menyelaraskan antar pikiran dan hati nuraninya.
Rio yang sejak tadi berbaring menelungkup dan membenamkan wajahnya ke atas bantal, kini membalik tubuhnya menelentang, Matanya yang sayu menatap kosong ke langit-langit kamarnya yang masih terang oleh cahaya lampu. Sesekali bibirnya menggumamkan sebuah nama yang sudah begitu akrab ditelinganya.
“Sally...,” ratapnya lirih.
Wajahnya meringis menahan sesak yang sekarang terasa makin menekan dadanya, tanganya mengepal membuat guling yang berada tepat di sebelahnya menjadi korban sasaran tinjunya.
“Kenapa Sally yang harus mengalami semua ini...? ”
Pikirannya terus bergulat melawan keharusanya untuk mempercayai kabar yang baru saja diterimanya melalui pesawat telepon yang mengabarkan bahwa Sally, cewek manis yang selama dua tahun ini telah memadati ruang hatinya dengan berjuta perasaan cinta, yang demi mendapatkanya, Rio rela mengorbankan mobil BMW hitam kesayangannya dipinjam Odi buat ngegebet cewek dari fakultas hukum yang baru dikenalnya saat mereka ngantri beli bakso di kantin kampus, lantaran Rio nggak berhasil mengajak Sally (yang saat itu masih jadi cewek incerannya) buat menemaninya berdansa di acara ulang tahun Fira, sahabat kental Sally sejak mereka masih duduk di sekolah dasar, dan yang sekerang menjadi teman sekelas Rio dan Odi di fakultas ekonomi. kini Sally yang sama, Sally yang telah menjadi miliknya, harus kehilangan penglihatannya akibat kecelakaan sialan yang dialaminya dua hari lalu.
Siang itu, Sally sedang terburu-buru menyeberang jalan besar di depan kampusnya untuk mengambil tugasnya yang tertinggal di rumah Lia, teman sekelasnya di fakultas psikologi semester 8. Kebetulan rumah Lia memang tidak terlalu jauh dari seberang kampus. Biasanya mereka menyeberangi jalan besar itu dengan melewati jembatan penyeberangan, tapi siang itu Sally sedang terburu-buru sehingga ia tidak mau buang-buang waktu lagi dengan menaiki tangga jembatan. Setelah melirik kiri kanan, dan merasa sudah cukup aman untuk menyeberang, Sally pun tancap gas berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba sebuah taksi melintas dengan kecepatan tinggi dan Sallypun tidak dapat lagi menghidarinya,ia tertabrak hingga tubuhnya terpental jauh, kepalanya membentur trotoar yang berada di sisi seberang jalan.
“Ujubile buzzeet...!” teriak Odi keesokan harinya saat dia membuka pintu kamar Rio dan dilihatnya Rio yang masih terbaring menelungkup dengan sebelah tanganya menggantung lemas di sisi tempat tidur.
“woi..., bangun pemalas..!” Odi mengguncang-guncang tubuh Rio dan sesekali memukulnya dengan guling. Rio membalik tubuhnya dan segera mengibaskan guling yang hampir mendarat lagi di wajahnya.
“Aduh..., nggak tahu apa orang lagi enak tidur.” Gerutu Rio yang sekarang menguap besar-besar sebesar bola basket.
“Ya ampun..., lihat dong ini sudah jam berapa.., mau lu dipelototin dosen killer itu lagi? Ich, gue sih ogah deh!”
Sementara Odi masih meluncurkan sejuta ocehanya yang kayak klakson mobil konslet itu, Rio melirik jam dinding yang terletak tepat di depannya dan dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat delapan belas menit. Secepat kilat Rio langsung melompat dari tempat tidurnya dan melesat masuk ke kamar mandi.
Brak!!
“Astaga!” pekik Odi kaget mendengar Rio membanting pintu kamar mandi, “untung jantung gue masih nempel ditempatnya…”
Lima menit kemudian, pintu kamar mandi dibuka dan Rio keluar dengan masih telanjang bulat dan basah kuyup.
“Aaaa.....!” teriak Odi sambil menutupi wajahnya dengan kedua belah tanganya.
“Sorry, sorry, gue lupa bawa handuk ke kamar mandi, lagian kita kan sama-sama cowok ini.” Kata Rio sambil terus menyeka air dari tubuhnya dengan handuk yang baru saja diambilnya dan bergegas mengenakan pakaianya.
“AYo, kita cabut!” katanya lagi buru-buru sambil mengambil kunci mobil dan berlari ke mobilnya. Odi yang dari tadi masih menutupi wajahnya dengan kedua tanganya, tapi lama-kelamaan jari-jarinya mulai merenggang, sehingga dia bisa mengintip Rio dari sela-sela jarinya, kini bergegas juga menyusul Rio ke mobil.
Sepanjang perjalanan menuju ke kampus, Rio hanya terdiam, wajahnya tampak murung. Sementara di sebelahnya, Odi, sedang asyik mengunyah permen karet yang berhasil di temukanya di laci dashboard tempat Rio menyimpan segala perlengkapannya, seperti kaca mata hitam, sisir, handuk kecil, jel rambut, bahkan sampai sabun, sikat gigi beserta dengan odolnya ada di situ semua, “kenapa nggak sekalian aja gayung lu masukin kesini juga?” begitu yang pernah dikatakan Odi saat pertama kali ia mencoba membuka laci dashboard Rio untuk melihat-lihat apa saja isi di dalamnya.
“Kenapa sih lu dari tadi diam aja? Memangnya sudah dapat kabar apa dari Sally?” tanya Odi memecah kesunyian, “bukannya Sally sudah ditangani oleh dokter top di Prancis sana, terus, kenapa lu masih sedih kayak gitu sih?”
Rio tak langsung menjawab, wajahnya masih tampak diam membatu. Odi terus menatapnya bingung.
“Gue baru dapat kabar semalam ,” akhirnya Rio mampu membuka mulutnya, “kalau operasi Sally...,” Rio menghela nafas dan kemudian dengan perlahan ia melanjutkan, “operasi Sally, nggak berhasil, Di.”
“Apa?” Odi tersentak kaget, permen karet dimulutnya sampai ikut melompat keluar dan mendarat tepat di atas tongkat persneleng yang saat itu sedang berada di gigi dua.
“Yakh.., jijay banget sih lu!” teriak Rio jijik
“Sorry jek, nggak sengaja, lagian lu jaga sih yang bikin gue kaget.” Sahut Odi cepat sambil merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sapu tangan lusuh yang kemudian digunakannya untuk mencomot permen karet yang menempel di tongkat persneleng itu.
“Lu bilang tadi kalau operasi Sally nggak berhasil, maksudnya apa?”, lanjut Odi penasaran bercampur cemas, “keadaan Sally bagaimana sekarang?”
Namun Rio kembali terdiam, wwajahnya tampak semakin murung, kerongkongannya tercekat, membuat dadanya terasa sesak. Odi hanya dapat menunggu dengan gelisah, matanya terus mengamati Rio . Tapi Rio malah mempercepat laju mobilnya. Pikirannya begitu kalut. Ingin rasanya dia melarikan diri saja dari semua kenyataan pahit ini.
“Ayo bilang, Yo!”, akhirnya Odi sudah tak sabar lagi menunggu jawaban Rio yang tidak juga keluar dari mulutnya, “bagaimana keadaan Sally sekarang?”
“Sally..,dia..,” jawab Rio tergagap, “Sally sekarang buta , Di.”
“Apa?” teriak Odi lagi kaget, tapi kali ini Rio langsung merapatkan tubuhnya ke pintu mobil di sebelah kanannya, takut kalau-kalau ada benda lain lagi melompat keluar dari mulut Odi. Tapi ternyata tidak ada yang terjadi, akhirnya Rio kembali membetulkan posisi duduknya sambil terus mengawasi laju mobilnya.
“Sally buta, Yo?...maksud lu nggak bisa lihat gitu?”tanya Odi mencoba meyakini apa yang baru saja didengarnya. Rio mengangguk mengiyakan.
“Oh GOD…!” ratap Odi tak percaya, sambil sebelah tangan menepuk dahinya yang lebar kayak lapangan terbang,
“Gue turut bersedih, Yo.” Lanjutnya lirih, “tapi, menurut gue, inilah saat lu menunjukkan rasa sayang lu ke Sally, sekarang ini pasti dia lagi sangat membutuhkan kehadiran lu buat memberikan semangat.”
“Itulah yang bikin gue bingung, Di,” Rio menghela nafas untuk yang sekian kalinya, “gue nggak tahu harus bagaimana...gue...”, namun Rio tidak melanjutkan perkataannya. Mereka saling terdiam, menciptakan suasana hening di dalam mobil, hanya suara mesin mobil saja yang masih giat berbicara.
Ketika akhirnya mereka sampai di halaman kampus, Rio dan Odi masih tak saling bicara. Setelah Rio memarkirkan mobilnya di bawah pohon rindang tempat biasanya dia memajang BMW hitamnya selama di kampus. Rio dan Odipun segera turun dari mobilnya dan secepat kilat melesat menuju ke kelasnya yang terletak di fakultas ekonomi lantai 5. Pintu kelas hampir saja ditutup, ketika Rio berhasil menahannya dari arah depan . Dengan masih terengah-engah merekapun masuk dan mengambil bangku dideretan paling belakang.
Rio dan Odi merupakan mahasiswa semester 8 di fakultas ekonomi. Sejak awal mereka kenalan di depan ruang pendaftaran mahasiswa baru, Rio dan Odi sudah merasa cocok satu sama lain dan mereka berjanji untuk selalu mengambil mata kuliah yang sama, itupun kalau yang satu tidak ketinggalan yang lain dalam menyelesaikan setiap mata kuliah. Tentu saja Rio cukup beruntung mendapatkan teman seperti Odi, karena walaupun tampangnya agak sedikit dongo, tapi Odi merupakan anak yang cerdas, setiap mata kuliah mampu diserapnya dengan mudah, karena itu Rio sering meminta Odi untuk mengajarinya atau kalau bisa menyelesaikan semua tugas-tugasnya, dengan imbalan Odi bakal ditraktir Rio apa saja makanan yang Odi mau. Sebenarnya Rio juga nggak kalah cerdasnya dengan Odi, hanya bedanya Rio memang tipe cowok yang super cuek, ia lebih peduli dengan hobinya tentang otomotif dibandingan dengan kuliah yang menurutnya sangat membosankan. Rio memiliki postur tubuh yang tinggi , berkulit putih dan berwajah tampan, membuat setiap mata cewek-cewek kampus selalu melirik kepadanya ketika mereka berpapasan denganya, ditambah BMW hitam yang sering digunakan Rio dengan segala modifikasinya, membuat dia semakin tenar dikalangan anak-anak kampus. Odi, yang walaupun tidak setampan Rio, malah lebih dibilang mirip dosen matakuliah filsafat karena sama-sama memiliki hidung sebesar bakpao, rambut keriting, ditambah lagi kaca mata minusnya, namun Odi banyak disukai cewek-cewek kampus karena kebaikan hatinya yang suka menolong, dan kebanyakan cewek-cewek yang sering ditolong Odi adalah cewek-cewek yang berusaha meminta keterangan tentang Rio atau yang berusaha meminta Odi untuk langsung mengenalkanya dengan Rio, sehingga tak jarang Odi mendapatkan banyak coklat, dibelikan bakso oleh cewek-cewek tersebut, atau malah ada yang sampai rela ngobrol berjam-jam dengan Odi di HP demi hanya untuk mendapat secuil informasi tentang sipemilik BMW hitam itu. Yah lumayanlah.., ada untungnya juga buat Odi . begitulah, dua sahabat yang mutualistik alias saling menguntungkan.
Selama kuliah berlangsung, Rio tak mampu berkonsentrasi, tak satupun materi kuliah yang disampaikan dosen pagi itu mampir di otaknya. Bayangan Sally yang cantik, sederhana namun sempurna dengan rambut hitamnya yang panjang tergerai indah, terus menari-nari dibenaknya, membangkitkan sejuta perasaan rindu yang terasa semakin erat mencengkram hatinya. Namun ketika kabar itu kembali terngiang-ngiang di telinga Rio, seketika itu pula bayangan tentang Sally beserta segala perasaan manis yang sejenak tadi sempat menguasainya, lenyap begitu saja, seakan ada batu hitam besar jatuh menimpa dirinya, menghancurkan segalanya, meremukan semua perasaan indah yang sesaat membawanya melambung tinggi dalam kekaguman akan kesempurnaan seorang gadis yang sangat dicintainya, kini yang terasa di dalam hatinya tinggalah kepingan-kepingan kekecewaan yang menghimpitnya semakin terpuruk dalam kesedihan yang menyakitkan.
“Masihkah sebenarnya aku mencintainya?” Rio membatin sendiri.
“Mungkinkah aku mampu mencintai seorang gadis buta?...ah..., entahlah.” pikiranya terus melayang, menerawang jauh, menenggelamkan dirinya semakin larut dalam keragu-raguan akan perasaan yang tengah berkecamuk dalam hatinya.
“Astaga Yoooo,”
Rio tersentak bangun dari lamunannya yang panjang ketika mendengar sebuah teriakan dari arah depannya. Dilihatnya Odi yang sedang berdiri dihadapanya sambil berkacak pinggang menatapnya.
“jadi lu dari tadi nggak dengerin omongan gue?” lanjut Odi sambil masih berteriak kesal.
Sejenak Rio tampak kebingungan, ditatapnya sekeliling ruang kelas yang sudah kosong.
“pada kemana yang lain?” tanya Rio polos.
“ke laut!” jawab Odi sekenanya.
“emangnya lu ngomong apa sih tadi?” tanya Rio lagi tanpa rasa bersalah.
“nggak tahu, ah!” jawab Odi ketus sambil membantu Rio memasukan alat-alat tulisnya ke dalam tas Rio , kemudian merekapun bergegas meninggalkan kelas.
berlanjut...
Malam kian pekat menampilkan keengganan langit untuk memamerkan berjuta koleksi bintang-bintangnya, menghantarkan keheningan yang membuat kalut dalam benak Rio seakan lebih keras berteriak.
“Kenapa ini semua harus terjadi..., kenapa.., kenapa??” jerit Rio membatin. Perasaan kecewa yang kini bermuara dalam hatinya semakin membuatnya tak mampu lagi menyelaraskan antar pikiran dan hati nuraninya.
Rio yang sejak tadi berbaring menelungkup dan membenamkan wajahnya ke atas bantal, kini membalik tubuhnya menelentang, Matanya yang sayu menatap kosong ke langit-langit kamarnya yang masih terang oleh cahaya lampu. Sesekali bibirnya menggumamkan sebuah nama yang sudah begitu akrab ditelinganya.
“Sally...,” ratapnya lirih.
Wajahnya meringis menahan sesak yang sekarang terasa makin menekan dadanya, tanganya mengepal membuat guling yang berada tepat di sebelahnya menjadi korban sasaran tinjunya.
“Kenapa Sally yang harus mengalami semua ini...? ”
Pikirannya terus bergulat melawan keharusanya untuk mempercayai kabar yang baru saja diterimanya melalui pesawat telepon yang mengabarkan bahwa Sally, cewek manis yang selama dua tahun ini telah memadati ruang hatinya dengan berjuta perasaan cinta, yang demi mendapatkanya, Rio rela mengorbankan mobil BMW hitam kesayangannya dipinjam Odi buat ngegebet cewek dari fakultas hukum yang baru dikenalnya saat mereka ngantri beli bakso di kantin kampus, lantaran Rio nggak berhasil mengajak Sally (yang saat itu masih jadi cewek incerannya) buat menemaninya berdansa di acara ulang tahun Fira, sahabat kental Sally sejak mereka masih duduk di sekolah dasar, dan yang sekerang menjadi teman sekelas Rio dan Odi di fakultas ekonomi. kini Sally yang sama, Sally yang telah menjadi miliknya, harus kehilangan penglihatannya akibat kecelakaan sialan yang dialaminya dua hari lalu.
Siang itu, Sally sedang terburu-buru menyeberang jalan besar di depan kampusnya untuk mengambil tugasnya yang tertinggal di rumah Lia, teman sekelasnya di fakultas psikologi semester 8. Kebetulan rumah Lia memang tidak terlalu jauh dari seberang kampus. Biasanya mereka menyeberangi jalan besar itu dengan melewati jembatan penyeberangan, tapi siang itu Sally sedang terburu-buru sehingga ia tidak mau buang-buang waktu lagi dengan menaiki tangga jembatan. Setelah melirik kiri kanan, dan merasa sudah cukup aman untuk menyeberang, Sally pun tancap gas berlari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba sebuah taksi melintas dengan kecepatan tinggi dan Sallypun tidak dapat lagi menghidarinya,ia tertabrak hingga tubuhnya terpental jauh, kepalanya membentur trotoar yang berada di sisi seberang jalan.
“Ujubile buzzeet...!” teriak Odi keesokan harinya saat dia membuka pintu kamar Rio dan dilihatnya Rio yang masih terbaring menelungkup dengan sebelah tanganya menggantung lemas di sisi tempat tidur.
“woi..., bangun pemalas..!” Odi mengguncang-guncang tubuh Rio dan sesekali memukulnya dengan guling. Rio membalik tubuhnya dan segera mengibaskan guling yang hampir mendarat lagi di wajahnya.
“Aduh..., nggak tahu apa orang lagi enak tidur.” Gerutu Rio yang sekarang menguap besar-besar sebesar bola basket.
“Ya ampun..., lihat dong ini sudah jam berapa.., mau lu dipelototin dosen killer itu lagi? Ich, gue sih ogah deh!”
Sementara Odi masih meluncurkan sejuta ocehanya yang kayak klakson mobil konslet itu, Rio melirik jam dinding yang terletak tepat di depannya dan dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat delapan belas menit. Secepat kilat Rio langsung melompat dari tempat tidurnya dan melesat masuk ke kamar mandi.
Brak!!
“Astaga!” pekik Odi kaget mendengar Rio membanting pintu kamar mandi, “untung jantung gue masih nempel ditempatnya…”
Lima menit kemudian, pintu kamar mandi dibuka dan Rio keluar dengan masih telanjang bulat dan basah kuyup.
“Aaaa.....!” teriak Odi sambil menutupi wajahnya dengan kedua belah tanganya.
“Sorry, sorry, gue lupa bawa handuk ke kamar mandi, lagian kita kan sama-sama cowok ini.” Kata Rio sambil terus menyeka air dari tubuhnya dengan handuk yang baru saja diambilnya dan bergegas mengenakan pakaianya.
“AYo, kita cabut!” katanya lagi buru-buru sambil mengambil kunci mobil dan berlari ke mobilnya. Odi yang dari tadi masih menutupi wajahnya dengan kedua tanganya, tapi lama-kelamaan jari-jarinya mulai merenggang, sehingga dia bisa mengintip Rio dari sela-sela jarinya, kini bergegas juga menyusul Rio ke mobil.
Sepanjang perjalanan menuju ke kampus, Rio hanya terdiam, wajahnya tampak murung. Sementara di sebelahnya, Odi, sedang asyik mengunyah permen karet yang berhasil di temukanya di laci dashboard tempat Rio menyimpan segala perlengkapannya, seperti kaca mata hitam, sisir, handuk kecil, jel rambut, bahkan sampai sabun, sikat gigi beserta dengan odolnya ada di situ semua, “kenapa nggak sekalian aja gayung lu masukin kesini juga?” begitu yang pernah dikatakan Odi saat pertama kali ia mencoba membuka laci dashboard Rio untuk melihat-lihat apa saja isi di dalamnya.
“Kenapa sih lu dari tadi diam aja? Memangnya sudah dapat kabar apa dari Sally?” tanya Odi memecah kesunyian, “bukannya Sally sudah ditangani oleh dokter top di Prancis sana, terus, kenapa lu masih sedih kayak gitu sih?”
Rio tak langsung menjawab, wajahnya masih tampak diam membatu. Odi terus menatapnya bingung.
“Gue baru dapat kabar semalam ,” akhirnya Rio mampu membuka mulutnya, “kalau operasi Sally...,” Rio menghela nafas dan kemudian dengan perlahan ia melanjutkan, “operasi Sally, nggak berhasil, Di.”
“Apa?” Odi tersentak kaget, permen karet dimulutnya sampai ikut melompat keluar dan mendarat tepat di atas tongkat persneleng yang saat itu sedang berada di gigi dua.
“Yakh.., jijay banget sih lu!” teriak Rio jijik
“Sorry jek, nggak sengaja, lagian lu jaga sih yang bikin gue kaget.” Sahut Odi cepat sambil merogoh kantong celananya dan mengeluarkan sapu tangan lusuh yang kemudian digunakannya untuk mencomot permen karet yang menempel di tongkat persneleng itu.
“Lu bilang tadi kalau operasi Sally nggak berhasil, maksudnya apa?”, lanjut Odi penasaran bercampur cemas, “keadaan Sally bagaimana sekarang?”
Namun Rio kembali terdiam, wwajahnya tampak semakin murung, kerongkongannya tercekat, membuat dadanya terasa sesak. Odi hanya dapat menunggu dengan gelisah, matanya terus mengamati Rio . Tapi Rio malah mempercepat laju mobilnya. Pikirannya begitu kalut. Ingin rasanya dia melarikan diri saja dari semua kenyataan pahit ini.
“Ayo bilang, Yo!”, akhirnya Odi sudah tak sabar lagi menunggu jawaban Rio yang tidak juga keluar dari mulutnya, “bagaimana keadaan Sally sekarang?”
“Sally..,dia..,” jawab Rio tergagap, “Sally sekarang buta , Di.”
“Apa?” teriak Odi lagi kaget, tapi kali ini Rio langsung merapatkan tubuhnya ke pintu mobil di sebelah kanannya, takut kalau-kalau ada benda lain lagi melompat keluar dari mulut Odi. Tapi ternyata tidak ada yang terjadi, akhirnya Rio kembali membetulkan posisi duduknya sambil terus mengawasi laju mobilnya.
“Sally buta, Yo?...maksud lu nggak bisa lihat gitu?”tanya Odi mencoba meyakini apa yang baru saja didengarnya. Rio mengangguk mengiyakan.
“Oh GOD…!” ratap Odi tak percaya, sambil sebelah tangan menepuk dahinya yang lebar kayak lapangan terbang,
“Gue turut bersedih, Yo.” Lanjutnya lirih, “tapi, menurut gue, inilah saat lu menunjukkan rasa sayang lu ke Sally, sekarang ini pasti dia lagi sangat membutuhkan kehadiran lu buat memberikan semangat.”
“Itulah yang bikin gue bingung, Di,” Rio menghela nafas untuk yang sekian kalinya, “gue nggak tahu harus bagaimana...gue...”, namun Rio tidak melanjutkan perkataannya. Mereka saling terdiam, menciptakan suasana hening di dalam mobil, hanya suara mesin mobil saja yang masih giat berbicara.
Ketika akhirnya mereka sampai di halaman kampus, Rio dan Odi masih tak saling bicara. Setelah Rio memarkirkan mobilnya di bawah pohon rindang tempat biasanya dia memajang BMW hitamnya selama di kampus. Rio dan Odipun segera turun dari mobilnya dan secepat kilat melesat menuju ke kelasnya yang terletak di fakultas ekonomi lantai 5. Pintu kelas hampir saja ditutup, ketika Rio berhasil menahannya dari arah depan . Dengan masih terengah-engah merekapun masuk dan mengambil bangku dideretan paling belakang.
Rio dan Odi merupakan mahasiswa semester 8 di fakultas ekonomi. Sejak awal mereka kenalan di depan ruang pendaftaran mahasiswa baru, Rio dan Odi sudah merasa cocok satu sama lain dan mereka berjanji untuk selalu mengambil mata kuliah yang sama, itupun kalau yang satu tidak ketinggalan yang lain dalam menyelesaikan setiap mata kuliah. Tentu saja Rio cukup beruntung mendapatkan teman seperti Odi, karena walaupun tampangnya agak sedikit dongo, tapi Odi merupakan anak yang cerdas, setiap mata kuliah mampu diserapnya dengan mudah, karena itu Rio sering meminta Odi untuk mengajarinya atau kalau bisa menyelesaikan semua tugas-tugasnya, dengan imbalan Odi bakal ditraktir Rio apa saja makanan yang Odi mau. Sebenarnya Rio juga nggak kalah cerdasnya dengan Odi, hanya bedanya Rio memang tipe cowok yang super cuek, ia lebih peduli dengan hobinya tentang otomotif dibandingan dengan kuliah yang menurutnya sangat membosankan. Rio memiliki postur tubuh yang tinggi , berkulit putih dan berwajah tampan, membuat setiap mata cewek-cewek kampus selalu melirik kepadanya ketika mereka berpapasan denganya, ditambah BMW hitam yang sering digunakan Rio dengan segala modifikasinya, membuat dia semakin tenar dikalangan anak-anak kampus. Odi, yang walaupun tidak setampan Rio, malah lebih dibilang mirip dosen matakuliah filsafat karena sama-sama memiliki hidung sebesar bakpao, rambut keriting, ditambah lagi kaca mata minusnya, namun Odi banyak disukai cewek-cewek kampus karena kebaikan hatinya yang suka menolong, dan kebanyakan cewek-cewek yang sering ditolong Odi adalah cewek-cewek yang berusaha meminta keterangan tentang Rio atau yang berusaha meminta Odi untuk langsung mengenalkanya dengan Rio, sehingga tak jarang Odi mendapatkan banyak coklat, dibelikan bakso oleh cewek-cewek tersebut, atau malah ada yang sampai rela ngobrol berjam-jam dengan Odi di HP demi hanya untuk mendapat secuil informasi tentang sipemilik BMW hitam itu. Yah lumayanlah.., ada untungnya juga buat Odi . begitulah, dua sahabat yang mutualistik alias saling menguntungkan.
Selama kuliah berlangsung, Rio tak mampu berkonsentrasi, tak satupun materi kuliah yang disampaikan dosen pagi itu mampir di otaknya. Bayangan Sally yang cantik, sederhana namun sempurna dengan rambut hitamnya yang panjang tergerai indah, terus menari-nari dibenaknya, membangkitkan sejuta perasaan rindu yang terasa semakin erat mencengkram hatinya. Namun ketika kabar itu kembali terngiang-ngiang di telinga Rio, seketika itu pula bayangan tentang Sally beserta segala perasaan manis yang sejenak tadi sempat menguasainya, lenyap begitu saja, seakan ada batu hitam besar jatuh menimpa dirinya, menghancurkan segalanya, meremukan semua perasaan indah yang sesaat membawanya melambung tinggi dalam kekaguman akan kesempurnaan seorang gadis yang sangat dicintainya, kini yang terasa di dalam hatinya tinggalah kepingan-kepingan kekecewaan yang menghimpitnya semakin terpuruk dalam kesedihan yang menyakitkan.
“Masihkah sebenarnya aku mencintainya?” Rio membatin sendiri.
“Mungkinkah aku mampu mencintai seorang gadis buta?...ah..., entahlah.” pikiranya terus melayang, menerawang jauh, menenggelamkan dirinya semakin larut dalam keragu-raguan akan perasaan yang tengah berkecamuk dalam hatinya.
“Astaga Yoooo,”
Rio tersentak bangun dari lamunannya yang panjang ketika mendengar sebuah teriakan dari arah depannya. Dilihatnya Odi yang sedang berdiri dihadapanya sambil berkacak pinggang menatapnya.
“jadi lu dari tadi nggak dengerin omongan gue?” lanjut Odi sambil masih berteriak kesal.
Sejenak Rio tampak kebingungan, ditatapnya sekeliling ruang kelas yang sudah kosong.
“pada kemana yang lain?” tanya Rio polos.
“ke laut!” jawab Odi sekenanya.
“emangnya lu ngomong apa sih tadi?” tanya Rio lagi tanpa rasa bersalah.
“nggak tahu, ah!” jawab Odi ketus sambil membantu Rio memasukan alat-alat tulisnya ke dalam tas Rio , kemudian merekapun bergegas meninggalkan kelas.
berlanjut...
Senin
Hilangnya Mata Pencaharian Para Tunanetra Di Korea
Ini berita dari AsiaCalling tentang profesi pijat tunanetra di Korea.
Ternyata profesi ini sudah lama diprotect untuk tunanetra di Korea
sejak lama. Namun, sayang, akan segera dihapus. Padahal,
seharusnya, jangan, dan kita di sini pun bisa mengikuti kebijakan ini.
Tapi, siapa yang mau bantu advokasinya ke instansi terkait, yah?
Banyak warga tunanetra Korea Selatan yang terancam kehilangan mata
pencaharian mereka.
Padahal selama hampir 100 tahun belakangan ini, sejak 1913, hanya
merekalah yang secara sah berhak menjadi tukang pijat.
Tapi kini, ada kemungkinan bahwa aturan itu bakal berubah.
Simak laporan Jason Strother dari Seoul yang dibawakan Artha Senna.
Yan Chu Suk menyeret tongkatnya di atas trotoar. Dia telah menjadi
terapis pijat resmi, sejak lulus dari sekolah khusus tunanetra sekitar
36 tahun lalu.
Katanya, para tunanetra punya cara unik memijat para pelanggannya.
"Kami tidak bisa melihat, jadi kami bisa konsentrasi lebih baik. Itu
sebabnya kami sangat mahir memijat."
Sang pelanggan menyapa Yang dan menyuruh dia masuk ke dalam apartemen.
Yang terlihat rapih mengenakan jas dan dasi.
Seperti Yang, ribuan tunanetra di Korea Selatan, menjadi tukang pijat.
Bahkan sejak 85 tahun lalu, hak itu hanya diberikan kepada mereka.
Menurut Yang,
tanpa pelatihan pijat, ia tak bakal bisa mendapatkan pekerjaan lain.
"Pada 1972 ketika saya lulus SMU, ekonomi Korea Selatan sangat buruk.
Jadi kehidupan saya saat itu kelihatannya bakal sangat susah."
Namun, hukum yang selama ini melindungi para pemijat tunanetra Korea
dari kemiskinan, kemungkinan tak akan berlaku lagi. Pengadilan negeri
kini berupaya
memutuskan, apakah peraturan ini diskriminatif terhadap mereka yang
punya penglihatan normal.
Sejak September, para tunanetra menggelar unjuk rasa di Seoul setiap
hari. Mereka mengatakan akibat kurangnya program kesejahteraan sosial
dan juga prasangka
buruk terhadap orang cacat, mereka hanya bisa menghasilkan uang lewat pemijatan.
Chae Ho Jin, 24 tahun, buta sejak lahir dan sudah menjadi tukang pijat
selama dua setengah tahun. Dia kuatir bila warga dengan penglihatan
normal menjadi
tukang pijat, akan mengancam pekerjaan mereka.
"Sebagian penata rambut juga bisa masuk industri pemijatan. Kalau ini
terjadi, bakal berdampak buruk bagi kami. Itu sebabnya saya ikut unjuk
rasa ini."
Ribuan ahli pijat yang tidak buta sudah bekerja di Korea. Meski harus
membayar denda, hukum tak benar-benar ditegakkan.
Lee Gyu Seong sekretaris jenderal Asosial Tukang Pijat Korea.
Kelompoknya mewakili tujuh ribu terapis pijat tunanetra.
"Siapapun yang bukan tunanetra dan bekerja sebagai tukang pijat,
melanggar hukum. Mereka tidak boleh mendapatkan sertifikat pijat.
Bahkan pemijatan untuk
mereka yang berolahraga, dilarang."
Salah satu kelompok warga dengan penglihatan normal yang berupaya
mendobrak industri pemijat tunanetra, adalah para pekerja seks
kormersil (PSK). Meski
Korea Selatan telah melarang perdagangan seks sejak empat tahun lalu,
rumah bordil masih ada dan tersembunyi di tempat tertentu.
Di daerah Jangandong Seoul, para PSK bertebaran di bar Karaoke, salon,
dan panti pijat.
Bahkan setelah saya jalan kaki selama lima menit di sini, beberapa
lelaki yang mengendarai mobil dan sepeda, serta perempuan yang
menggendong kucing putih,
mendatangi saya beberapa kali. Mereka semua mengajak saya ke panti pijat.
Menurut Lee Gyu Seong dari Asosiasi Tukang Pijat Korea, sejak para PSK
menjadi tukang pijat, mereka tak hanya merebut lahan para tunanetra
tapi juga menodai
reputasi pemijat resmi.
"Ini masalah yang rumit. Sebagian orang tidak tahu bahwa hanya para
tunanetra saja yang boleh menjadi ahli pijat yang sah. Memang dampak
buruknya secara
ekonomi dan reputasi para ahli pijat yang handal menjadi buruk."
Lee lebih nyaman menggunakan kata Ahn-ma atau tukang pijat dalam
bahasa Korea. Menurut dia istilah Masseur yang berarti tukang pijat
dalam bahasa inggris
sebaiknya digunakan untuk para PSK atau pemijat lainnya.
Para pendidik kaum tunanetra menuturkan, banyak pelajar yang tidak
berhasil di bidang lain dan enggan mengambil pelatihan lainnya.
Seperti dikatakan, Kim
Ho Shik instruktur Sekolah Nasional Tunanetra di Seoul.
"Itu karena di universitas tidak ada kursus pemijatan. Dan banyak
pelajar tunanetra merasa jika tidak belajar memijat, maka mereka tidak
bisa menghasilkan
uang."
Pada tahun ini, pengadilan Konstitusional akan memutuskan
ke-ekslusifan hak memijat oleh tunanetra. Baik parlemen maupun komisi
hak azasi manusia memang
mendukung para tunanetra. Tapi menurut para pembelanya, pengadilan
akan melindungi masyarakat mayoritas ketimbang minoritas.
Tukang pijat Chae Ho Jin mengeluh, tak tahu apa yang bakal dia lakukan
bila para tunanetra kehilangan hak mereka.
"Saya tidak punya pilihan lain kecuali menjadi tukang pijat. Kalau
pemerintah mengizinkan orang lain nengambil pekerjaan ini, para atasan
harus memutuskan
siapa yang mereka bakal terima. Menurut saya, mereka pasti akan
memilih orang yang penglihatannya normal ketimbang para tunanetra."
Ternyata profesi ini sudah lama diprotect untuk tunanetra di Korea
sejak lama. Namun, sayang, akan segera dihapus. Padahal,
seharusnya, jangan, dan kita di sini pun bisa mengikuti kebijakan ini.
Tapi, siapa yang mau bantu advokasinya ke instansi terkait, yah?
Banyak warga tunanetra Korea Selatan yang terancam kehilangan mata
pencaharian mereka.
Padahal selama hampir 100 tahun belakangan ini, sejak 1913, hanya
merekalah yang secara sah berhak menjadi tukang pijat.
Tapi kini, ada kemungkinan bahwa aturan itu bakal berubah.
Simak laporan Jason Strother dari Seoul yang dibawakan Artha Senna.
Yan Chu Suk menyeret tongkatnya di atas trotoar. Dia telah menjadi
terapis pijat resmi, sejak lulus dari sekolah khusus tunanetra sekitar
36 tahun lalu.
Katanya, para tunanetra punya cara unik memijat para pelanggannya.
"Kami tidak bisa melihat, jadi kami bisa konsentrasi lebih baik. Itu
sebabnya kami sangat mahir memijat."
Sang pelanggan menyapa Yang dan menyuruh dia masuk ke dalam apartemen.
Yang terlihat rapih mengenakan jas dan dasi.
Seperti Yang, ribuan tunanetra di Korea Selatan, menjadi tukang pijat.
Bahkan sejak 85 tahun lalu, hak itu hanya diberikan kepada mereka.
Menurut Yang,
tanpa pelatihan pijat, ia tak bakal bisa mendapatkan pekerjaan lain.
"Pada 1972 ketika saya lulus SMU, ekonomi Korea Selatan sangat buruk.
Jadi kehidupan saya saat itu kelihatannya bakal sangat susah."
Namun, hukum yang selama ini melindungi para pemijat tunanetra Korea
dari kemiskinan, kemungkinan tak akan berlaku lagi. Pengadilan negeri
kini berupaya
memutuskan, apakah peraturan ini diskriminatif terhadap mereka yang
punya penglihatan normal.
Sejak September, para tunanetra menggelar unjuk rasa di Seoul setiap
hari. Mereka mengatakan akibat kurangnya program kesejahteraan sosial
dan juga prasangka
buruk terhadap orang cacat, mereka hanya bisa menghasilkan uang lewat pemijatan.
Chae Ho Jin, 24 tahun, buta sejak lahir dan sudah menjadi tukang pijat
selama dua setengah tahun. Dia kuatir bila warga dengan penglihatan
normal menjadi
tukang pijat, akan mengancam pekerjaan mereka.
"Sebagian penata rambut juga bisa masuk industri pemijatan. Kalau ini
terjadi, bakal berdampak buruk bagi kami. Itu sebabnya saya ikut unjuk
rasa ini."
Ribuan ahli pijat yang tidak buta sudah bekerja di Korea. Meski harus
membayar denda, hukum tak benar-benar ditegakkan.
Lee Gyu Seong sekretaris jenderal Asosial Tukang Pijat Korea.
Kelompoknya mewakili tujuh ribu terapis pijat tunanetra.
"Siapapun yang bukan tunanetra dan bekerja sebagai tukang pijat,
melanggar hukum. Mereka tidak boleh mendapatkan sertifikat pijat.
Bahkan pemijatan untuk
mereka yang berolahraga, dilarang."
Salah satu kelompok warga dengan penglihatan normal yang berupaya
mendobrak industri pemijat tunanetra, adalah para pekerja seks
kormersil (PSK). Meski
Korea Selatan telah melarang perdagangan seks sejak empat tahun lalu,
rumah bordil masih ada dan tersembunyi di tempat tertentu.
Di daerah Jangandong Seoul, para PSK bertebaran di bar Karaoke, salon,
dan panti pijat.
Bahkan setelah saya jalan kaki selama lima menit di sini, beberapa
lelaki yang mengendarai mobil dan sepeda, serta perempuan yang
menggendong kucing putih,
mendatangi saya beberapa kali. Mereka semua mengajak saya ke panti pijat.
Menurut Lee Gyu Seong dari Asosiasi Tukang Pijat Korea, sejak para PSK
menjadi tukang pijat, mereka tak hanya merebut lahan para tunanetra
tapi juga menodai
reputasi pemijat resmi.
"Ini masalah yang rumit. Sebagian orang tidak tahu bahwa hanya para
tunanetra saja yang boleh menjadi ahli pijat yang sah. Memang dampak
buruknya secara
ekonomi dan reputasi para ahli pijat yang handal menjadi buruk."
Lee lebih nyaman menggunakan kata Ahn-ma atau tukang pijat dalam
bahasa Korea. Menurut dia istilah Masseur yang berarti tukang pijat
dalam bahasa inggris
sebaiknya digunakan untuk para PSK atau pemijat lainnya.
Para pendidik kaum tunanetra menuturkan, banyak pelajar yang tidak
berhasil di bidang lain dan enggan mengambil pelatihan lainnya.
Seperti dikatakan, Kim
Ho Shik instruktur Sekolah Nasional Tunanetra di Seoul.
"Itu karena di universitas tidak ada kursus pemijatan. Dan banyak
pelajar tunanetra merasa jika tidak belajar memijat, maka mereka tidak
bisa menghasilkan
uang."
Pada tahun ini, pengadilan Konstitusional akan memutuskan
ke-ekslusifan hak memijat oleh tunanetra. Baik parlemen maupun komisi
hak azasi manusia memang
mendukung para tunanetra. Tapi menurut para pembelanya, pengadilan
akan melindungi masyarakat mayoritas ketimbang minoritas.
Tukang pijat Chae Ho Jin mengeluh, tak tahu apa yang bakal dia lakukan
bila para tunanetra kehilangan hak mereka.
"Saya tidak punya pilihan lain kecuali menjadi tukang pijat. Kalau
pemerintah mengizinkan orang lain nengambil pekerjaan ini, para atasan
harus memutuskan
siapa yang mereka bakal terima. Menurut saya, mereka pasti akan
memilih orang yang penglihatannya normal ketimbang para tunanetra."
Minggu
Yah, Ketauan Deh...
Kurang lebih 3 Minggu yang lalu, waktu lagi bongkar kamarku di Sunrise, ko Wiria menemukan sepucuk surat yang merupakan tugas kuliahku. Jadi waktu itu, dosenku menugaskan kami untuk membuat contoh surat yang berisi curahan hati, semacam konseling yang dilakukan lewat surat.
Nah, karena pas itu aku lagi pacaran sama cowok tunanetra, dan orang tuaku, plus popo juga, nggak menyetujui hubungan kami, karena katanya tunanetra dilarang kawin sama tunanetra, nanti bisa tubrukan. benjol deh!! hehehe..., itu mah cuma versi aku aja lho...
Makanya tanpa pikir panjang lagi, langsung aja kutulis surat dengan nama penerima : "Mami".
Tanpa permisi sama yang empunya surat, ko Wiria maen langsung aja nyodorin surat itu ke mami, sambil ngomong :
"Mi, coba baca deh, pasti bisa buat mami nangis tuh!"
Saat denger perkataan ko Wiria, aku sempet bengong sesaat, berpikir-pikir benda macam apakah yang bisa bikin mami nangis?
"Ayo Mi, bacain si Rachel juga!" kata ko Wiria lagi sambil mesem-mesem kayak anak kucing abis cukuran.
Mami membuka surat itu dan mulai membacanya dengan suara lantang.
Semakin aku dengerin kata-kata yang tertulis di surat itu, semakin keningku berkerut. otakku berputar-putar makin cepat, mencari-cari alasan kenapa, di mana, dan kapan aku pernah menulis surat semacam itu.
Isinya bener-bener bikin aku dan ko Wiria, mungkin juga termasuk papi yang lagi baringan di atas tempat tidur, ikut ngakak-ngikik kayak anak kecil ngetawain temennya yang ketahuan ngompol dicelana.
Tapi lama-kelamaan, kata-katanya makin menjurus pada persoalan pribadiku. bener-bener danger!
harus segera dihentikan!
mukaku mulai memerah, mungkin hampir menyerupai pantat monyet. Sementara otakku belum juga menemukan jawaban atas hari dan tanggal tercetusnya surat konyol macam ini.
Tadinya aku berpikir kalau itu mungkin buku diariku yang sudah lama sekali terbengkalai, sudah lumutan, berbau apek, dan sangat kekanak-kanakan. Soalnya sejak kuliah aku udah nggak pernah lagi tulis-tulis buku diari, bukan karena males nulis lho..., tapi..., ya ada juga sih malesnya, hehehe...
Tapi buat hal ini, khususnya, lebih dikarenakan mataku yang nggak memungkinkan lagi dipergunakan untuk menulis dalam huruf awas, meski nulisnya menggunakan monitor CCTV yang memang dirancang khusus bagi penderita lowvision kayak kasusku ini.
CCTV ini udah kumiliki sejak aku SMP. Dulu aku masih bisa membaca atau menulis huruf awas dengan menggunakan alat ini.
CCTV ini bentuknya seperti monitor komputer, tapi di bawahnya di tambahkan semacam alat proyeksi yang bisa memperbesar tulisan sampai seukuran jengkol.
Tahu jengkol kan? :-)
Itu lho, yang katanya bau. yang suka bikin orang jadi keleyeran, terus pingsan deh, kayak abis kopi darat sama hantu gentayangan. hehehe...
Pokoknya kurang lebih sebesar itulah huruf yang muncul di layar CCTV.
Jadi, kalo aku mau baca atau menulis, tinggal aku taruh aja bukunya di bawah layar monitor CCTV tersebut.
Kebayang nggak sih??
Bingung ya??
hehehe..., ya udahlah, jangan terlalu dipikirin, dari pada nanti migren, mendingan kita dengerin cerita Rachel selanjutnya!
Jadi, isi surat itu kurang lebih seperti ini :
"Mami tersayang, aku tahu kalau mami sayang sama aku. Mami selalu memberikan yang terbaik buatku. banyak sekali pengorbanan mami yang sudah mami lakukan demi aku, demi masa depanku. Bagaimana mami dengan gigih terus memperjuangkan pendidikanku sampai aku bisa kuliah seperti sekarang ini. bagaimana mami tetap menyayangiku meski aku adalah seorang anak cacat.
Mami menghibur aku waktu aku putus cinta untuk yang pertama kalinya. Mami selalu ada kapanpun aku membutuhkan sandaran untuk mengembalikan kekuatan yang sejenak meluntur dari diriku.
Aku juga tahu kalau mami mengharapkan agar aku mendapatkan pasangan hidup yang terbaik.
Tapi mam, apakah mami tahu tentang perasaanku?
Tentang ketakutanku menghadapi cowok normal, dan bagaimana menghadapi sikap keluarganya yang mungkin menolak kehadiranku?
Aku nggak mau lagi disakiti untuk yang kedua kalinya!
Aku mengerti mengapa mami tidak mengijinkanku untuk berpacaran dengan cowok tunanetra.
Aku juga tahu mengapa mami sangat mengharapkan aku mendapatkan cowok awas. Itu supaya ada yang menjaga dan menolongku.
Tapi mam, tolonglah untuk mengerti perasaanku menyangkut hal yang satu ini.
Aku sama sekali nggak pernah bermaksud menyakiti atau mengecewakan mami. aku sangat menyayangi mami.
buatku mami bagaikan mentari yang bersinar di tengah kegelapan.
bagaikan percikan air hujan di tengah musim kemarau yang berkepanjangan. Begitu menyejukan, menyegarkan, dan selalu mampu untuk mengembalikan senyumanku yang telah memudar karena kepedihan yang kurasakan.
Mami juga bagaikan sebatang tongkat yang kuat dan kokoh, yang senantiasa menopang tubuhku, sehingga aku bisa tetap berdiri tegak, tidak membungkuk dan jatuh, apalagi sampai terjerembab.
..........."
Yah, kurang lebih seperti itulah isi suratnya. Tentunya surat aslinya lebih panjang dan lebih terperinci. Sayang surat aslinya sekarang udah nggak tahu di mana.
entah terbuang, atau malah disimpan sama mami, aku nggak mau tanya-tanya lagi deh. malu booo!
Dan dipaling bawah dari surat itu, ada tulisan tangan yang berkata:
"Bagus Rachel, segera kirimkan surat ini!"
Ternyata, oh ternyata, itu adalah tulisan dari dosenku. Akhirnya aku ingat juga kenapa dan kapan tepatnya aku menulis surat itu.
Bukannya terkirim ke alamat yang tepat, malahan surat itu nyangkut dan mungkin akan segera membusuk, kalau saja ko Wiria nggak segera menemukannya di antara tumpukan kertas-kertas dan barang-barang yang beraneka warna, bentuk dan, tentu saja, baunya!!!
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, dan kalau dipandang dari kaca mata kehidupanku saat ini, kekuatiran dan ketakutanku dulu itu benar-benar lucu dan membuang-buang waktu saja.
Nyatanya sekarang, harapan mami, papi, dan popo, sudah menjadi sebuah kenyataan.
Andai saja popo masih hidup untuk menyaksikan pernikahanku, pasti dia akan sangat bahagia dan nggak lagi kuatir akan masa depanku.
Masa depan cucu satu-satunya yang tunanetra ini!!
Hehehe...
Yah..., inilah hidup.
Yesterday is a history.
Tomorrow is a mystery.
Today is a gift.
:-D
Nah, karena pas itu aku lagi pacaran sama cowok tunanetra, dan orang tuaku, plus popo juga, nggak menyetujui hubungan kami, karena katanya tunanetra dilarang kawin sama tunanetra, nanti bisa tubrukan. benjol deh!! hehehe..., itu mah cuma versi aku aja lho...
Makanya tanpa pikir panjang lagi, langsung aja kutulis surat dengan nama penerima : "Mami".
Tanpa permisi sama yang empunya surat, ko Wiria maen langsung aja nyodorin surat itu ke mami, sambil ngomong :
"Mi, coba baca deh, pasti bisa buat mami nangis tuh!"
Saat denger perkataan ko Wiria, aku sempet bengong sesaat, berpikir-pikir benda macam apakah yang bisa bikin mami nangis?
"Ayo Mi, bacain si Rachel juga!" kata ko Wiria lagi sambil mesem-mesem kayak anak kucing abis cukuran.
Mami membuka surat itu dan mulai membacanya dengan suara lantang.
Semakin aku dengerin kata-kata yang tertulis di surat itu, semakin keningku berkerut. otakku berputar-putar makin cepat, mencari-cari alasan kenapa, di mana, dan kapan aku pernah menulis surat semacam itu.
Isinya bener-bener bikin aku dan ko Wiria, mungkin juga termasuk papi yang lagi baringan di atas tempat tidur, ikut ngakak-ngikik kayak anak kecil ngetawain temennya yang ketahuan ngompol dicelana.
Tapi lama-kelamaan, kata-katanya makin menjurus pada persoalan pribadiku. bener-bener danger!
harus segera dihentikan!
mukaku mulai memerah, mungkin hampir menyerupai pantat monyet. Sementara otakku belum juga menemukan jawaban atas hari dan tanggal tercetusnya surat konyol macam ini.
Tadinya aku berpikir kalau itu mungkin buku diariku yang sudah lama sekali terbengkalai, sudah lumutan, berbau apek, dan sangat kekanak-kanakan. Soalnya sejak kuliah aku udah nggak pernah lagi tulis-tulis buku diari, bukan karena males nulis lho..., tapi..., ya ada juga sih malesnya, hehehe...
Tapi buat hal ini, khususnya, lebih dikarenakan mataku yang nggak memungkinkan lagi dipergunakan untuk menulis dalam huruf awas, meski nulisnya menggunakan monitor CCTV yang memang dirancang khusus bagi penderita lowvision kayak kasusku ini.
CCTV ini udah kumiliki sejak aku SMP. Dulu aku masih bisa membaca atau menulis huruf awas dengan menggunakan alat ini.
CCTV ini bentuknya seperti monitor komputer, tapi di bawahnya di tambahkan semacam alat proyeksi yang bisa memperbesar tulisan sampai seukuran jengkol.
Tahu jengkol kan? :-)
Itu lho, yang katanya bau. yang suka bikin orang jadi keleyeran, terus pingsan deh, kayak abis kopi darat sama hantu gentayangan. hehehe...
Pokoknya kurang lebih sebesar itulah huruf yang muncul di layar CCTV.
Jadi, kalo aku mau baca atau menulis, tinggal aku taruh aja bukunya di bawah layar monitor CCTV tersebut.
Kebayang nggak sih??
Bingung ya??
hehehe..., ya udahlah, jangan terlalu dipikirin, dari pada nanti migren, mendingan kita dengerin cerita Rachel selanjutnya!
Jadi, isi surat itu kurang lebih seperti ini :
"Mami tersayang, aku tahu kalau mami sayang sama aku. Mami selalu memberikan yang terbaik buatku. banyak sekali pengorbanan mami yang sudah mami lakukan demi aku, demi masa depanku. Bagaimana mami dengan gigih terus memperjuangkan pendidikanku sampai aku bisa kuliah seperti sekarang ini. bagaimana mami tetap menyayangiku meski aku adalah seorang anak cacat.
Mami menghibur aku waktu aku putus cinta untuk yang pertama kalinya. Mami selalu ada kapanpun aku membutuhkan sandaran untuk mengembalikan kekuatan yang sejenak meluntur dari diriku.
Aku juga tahu kalau mami mengharapkan agar aku mendapatkan pasangan hidup yang terbaik.
Tapi mam, apakah mami tahu tentang perasaanku?
Tentang ketakutanku menghadapi cowok normal, dan bagaimana menghadapi sikap keluarganya yang mungkin menolak kehadiranku?
Aku nggak mau lagi disakiti untuk yang kedua kalinya!
Aku mengerti mengapa mami tidak mengijinkanku untuk berpacaran dengan cowok tunanetra.
Aku juga tahu mengapa mami sangat mengharapkan aku mendapatkan cowok awas. Itu supaya ada yang menjaga dan menolongku.
Tapi mam, tolonglah untuk mengerti perasaanku menyangkut hal yang satu ini.
Aku sama sekali nggak pernah bermaksud menyakiti atau mengecewakan mami. aku sangat menyayangi mami.
buatku mami bagaikan mentari yang bersinar di tengah kegelapan.
bagaikan percikan air hujan di tengah musim kemarau yang berkepanjangan. Begitu menyejukan, menyegarkan, dan selalu mampu untuk mengembalikan senyumanku yang telah memudar karena kepedihan yang kurasakan.
Mami juga bagaikan sebatang tongkat yang kuat dan kokoh, yang senantiasa menopang tubuhku, sehingga aku bisa tetap berdiri tegak, tidak membungkuk dan jatuh, apalagi sampai terjerembab.
..........."
Yah, kurang lebih seperti itulah isi suratnya. Tentunya surat aslinya lebih panjang dan lebih terperinci. Sayang surat aslinya sekarang udah nggak tahu di mana.
entah terbuang, atau malah disimpan sama mami, aku nggak mau tanya-tanya lagi deh. malu booo!
Dan dipaling bawah dari surat itu, ada tulisan tangan yang berkata:
"Bagus Rachel, segera kirimkan surat ini!"
Ternyata, oh ternyata, itu adalah tulisan dari dosenku. Akhirnya aku ingat juga kenapa dan kapan tepatnya aku menulis surat itu.
Bukannya terkirim ke alamat yang tepat, malahan surat itu nyangkut dan mungkin akan segera membusuk, kalau saja ko Wiria nggak segera menemukannya di antara tumpukan kertas-kertas dan barang-barang yang beraneka warna, bentuk dan, tentu saja, baunya!!!
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, dan kalau dipandang dari kaca mata kehidupanku saat ini, kekuatiran dan ketakutanku dulu itu benar-benar lucu dan membuang-buang waktu saja.
Nyatanya sekarang, harapan mami, papi, dan popo, sudah menjadi sebuah kenyataan.
Andai saja popo masih hidup untuk menyaksikan pernikahanku, pasti dia akan sangat bahagia dan nggak lagi kuatir akan masa depanku.
Masa depan cucu satu-satunya yang tunanetra ini!!
Hehehe...
Yah..., inilah hidup.
Yesterday is a history.
Tomorrow is a mystery.
Today is a gift.
:-D
Langganan:
Postingan (Atom)